~ Yth. Kanda Aktivih. Ciee … kanda dan dinda ni yee :))
Angin berhembus pelan membawa udara segar untuk dihirup. Ranting-ranting pohon seakan menari mengikuti arahan angin. Berayun-ayun ke kiri, lalu ke kanan, terkadang ayunannya pun tidak beraturan.
Tarian indahnya menyambut pagi diiringi senyuman matahari pagi. Di bawah cahaya keramaian pagi, tampak beberapa kesibukan di sudut-sudut ibu kota Antah Berantah.
Terlihat beberapa orang lalu lalang di jalan yang lebarnya hanya sekitar tiga setengah meter. Mereka hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Hanyut dalam perjuangan mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Tak jauh dari tepi jalan yang masih telanjang dengan tanah berwarna coklat itu, tumbuh kokoh sebatang pohon yang cukup rimbun.
Dan, di bawah pohon itu, duduklah saya sembari memandang dari kejauhan taman leluhur negeri Antah Berantah. Saya hanya diam dan memikirkan sesuatu.
Hari ini, saya menerima sebuah surat beramplop merah jambu yang dikirim oleh seorang kurir. Tertulis di amplop, pengirimnya bernama aktivih cinta taman.
Setelah saya buka, seperti surat-surat pada umumnya, di pendahuluan surat, kanda aktivih menanyakan kabar saya. Alhamdulillah, kabar saya baik.
Sedangkan isi surat, ada beberapa poin yang disampaikan oleh kanda aktivih berkaitan dengan taman leluhur. Intinya, ini berkaitan dengan tulisan saya di Breedie.
Baca Juga: Untuk Cupa IN, Dari Aktivih Cinta Taman
Tanpa berpanjang-panjang lagi, izinkan saya yang pendek ilmu ini untuk menjawab surat kanda aktivih. Untuk beberapa jawaban, saya merujuk kepada hasil penelitian yang dipresentasikan di negeri Antah Berantah.
Saya cukup mengerti saya bukan siapa-siapa. Saya bukan seorang aktivih yang tahu segalanya tentang taman leluhur. Saya tidak punya ilmu yang mumpuni tentang taman leluhur. Siapalah saya.
Pertama-tama, saya setuju dengan kanda aktivih ketika mengatakan bahwa taman merupakan tempat kita bisa sejenak bersantai dari hiruk-pikuk dunia.
Tak bisa dipungkiri, menikmati hijaunya pepohonan dipercaya bisa mengobati kelelahan mental setelah menjalani hari-hari yang sibuk.
Melihat manfaat positif dari taman, tentunya saya tidak ingin taman rusak. Apalagi, jika yang rusak itu taman leluhur, taman peninggalan nenek moyang rakyat Antah Berantah, saya lebih tidak ingin lagi.
Sayangnya, itu terjadi sekarang. Ada kerusakan-kerusakan di taman leluhur.
Jika kemudian kanda aktivih mau memprotes atau mengkritik kerusakannya di Pehbuk, apakah hal itu salah? Saya menjawabnya: tidak salah.
Tapi, merujuk kepada hasil penelitian, yang ditekankan di sini adalah, proteslah atau kritiklah dengan diiringi berpikir kritis.
Maksudnya, ketika kanda aktivih mengkritik, diharapkan ada suatu cara berpikir yang bertujuan untuk memecahkan masalah. Ada keinginan untuk mengindentifikasi, menganalisa, dan mengevaluasi masalah.
Lalu, berusaha berkontribusi untuk solusinya. Ambil satu langkah mundur ke belakang dan memikirkan masalahnya sedikit lebih lama secara kritis. Rasa-rasanya, itu akan membuat kanda aktivih terlihat lebih elegan.
Saya ulangi lagi. Seandainya kanda aktivih mau mengambil satu langkah mundur ke belakang dan memikirkan masalahnya sedikit lebih lama secara kritis, saya yakin, kanda aktivih akan memberikan kontribusi yang positif ke sheriff taman.
Inilah yang disebut dengan kecepatan otak untuk berpikir mengalahkan kecepatan jari-jari tangan.
Kalau kemarin, yang tampak cuma kritik tanpa embel-embel berpikir kritis. Lebih kepada suatu cara berpikir yang dilakukan untuk menemukan kelemahan, kesalahan, dan kekurangan orang lain.
Semangat yang diusung adalah semangat untuk menjatuhkan orang lain.
Hasilnya apa? Keributan antara kanda aktivih dan sheriff taman. Terus, apa untungnya ribut-ribut begini? Tidak ada. Ini kerugian besar.
Mari kita selayang pandang kembali ke suasana keributan.
Aktivis cinta taman: “Jeh haii..ka reuloh lom taman leluhur. Kiban sheriff taman? Ho awak kah mandum? Pajoh gaji buta tok. Hana jeuilahh (Itu lihat, udah rusak lagi taman leluhur. Gimana sheriff taman? Mana kalian? Makan gaji buta saja. Nggak jelas).”
Sheriff taman: “Eee haiii..kah pike mangaat. Cukop luah taman leluhur nyan. Anggota kamoe tok padum droe. Hana mungkin sagai ta cover mandum. Ka jak keuno, ka rasa keudroe (Kau pikir gampang, cukup luas taman leluhur ini. Anggota kami cuma beberapa orang. Tidak mungkin mampu meng-cover semua. Ke sini aja, rasakan sendiri).”
Baca Juga: Demi Indonesia, Perseteruan Jerinx SID dan Ahmad Dhani Harus Terus Berlanjut
Coba kanda aktivih liat di atas. Ada ruang kosong atau gap antara kanda aktivih dan sheriff taman. Tepat di situlah saya berdiri. Saya melihat pada kanda aktivih dan sheriff taman.
Apa yang saya lihat? Ego. Iya, benar. Ego atau keakuan. Seandainya ego tersebut bisa diredam dari awal, mungkin hasilnya akan lain.
Terus, apa yang dibutuhkan di ruang kosong itu? Tentu saja sebuah jembatan. Jembatan yang menjembatani antara kanda aktivih dan sheriff taman.
Fungsinya? Tak lebih tak kurang, untuk membawa kanda aktivih dan sheriff taman bisa bertemu dan berusaha bersama-sama mencapai tujuan besar kelestarian taman leluhur.
Singkatnya, saling bekerja sama.
Menurut saya, sekarang ini bukan zamannya lagi mencari-cari siapa yang salah atau siapa yang benar. Sekarang adalah zamannya saling bekerja sama.
Ya, apa gunanya kanda aktivih mencari siapa yang salah atau siapa yang benar. Yang ada malah membuat fokus kanda aktivih hanya terjebak di “masalah kerusakan taman leluhur”.
Padahal, kalau dipikir-pikir, yang menjadi fokus dan prioritas utamanya kan “solusi kerusakan taman leluhur”. Atau, dengan kata lain, kanda aktivih jadi terlalu sibuk membahas “masalah”, sehingga lupa membahas “solusi”.
Berhubungan dengan bukti-bukti yang kanda aktivih tunjukkan di Pehbuk, saya tidak meragukan kesahihannya. Yang serunya, saat ini, imajinasi saya membayangkan suatu keadaan di mana kanda aktivih sedang bekerja sama dengan sheriff taman.
Wow! Bukti-bukti itu menjadi informasi yang sangat penting. Tampak jelas di imajinasi saya bagaimana kanda aktivih dan sheriff taman bahu-membahu mencari solusi dan penyebab kerusakan taman leluhur.
Apakah kanda aktivih tidak menginginkan itu?
Sayangnya, itu belum terjadi sekarang. Yang ada hanyalah keributan. Tidak perlu menjadi seorang pemimpin negeri, saya saja yang orang awam gelisah.
Bagaimana bisa mencapai tujuan besar melestarikan taman leluhur, jika aktivih cinta taman dan sheriff tamannya saja ribut-ribut tidak jelas?
Bagaimana bisa maksimal memperbaiki dan mencegah kerusakan di taman leluhur, jika aktivih cinta taman dan sheriff tamannya saja ribut-ribut tak jelas?
Baca Juga: Tiga Bulan Bersamamu dalam Sebuah Cinta Tak Bersyarat
Oh iya, saya hampir lupa. Kanda aktivih mengatakan sudah pernah melaporkan kerusakan taman lewat hotline atau instansi berwenang, tapi laporannya cuma masuk tong sampah.
Terus, kanda aktivih juga bilang, buat apa melakukan hal itu lagi, kan buang-buang waktu.
Lho? Sekarang kok malah kanda aktivih yang mengeluh? Seharusnya, kanda aktivih memecahkan masalah ini. Bagaimana caranya supaya laporan kanda aktivih didengar.
Sependek yang saya tau, yang namanya aktivih itu adalah seorang problem solver. Ada semacam problem-solving mindset di kepalanya. Ya, saya yakin, kanda aktivih pasti bisa memecahkan masalah ini.
Kanda aktivih kan orangnya kreatif.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )