Journey to Burni Telong (Bagian Pertama): Dikejar Anjing di Jalan Kampung

Garis puncak gunung Burni Telong terlihat jelas dengan latar langit biru. Foto di potret dari Kampung Rembele, Bener Meriah pada Rabu, 13 Februari 2019. (Foto Breedie/Fauzan)

~ Ah, sama anjing aja pun takut

Matahari sudah lewat sepenggalah. Keringat mulai mengucur. Padahal, beberapa jam sebelumnya, tubuh masih menggigil dalam selimut di sebuah rumah di tepi Danau Laut Tawar, Takengon, Aceh Tengah.

“Ini pos pertama ke Burni,” ujar Iwan saat kami mengaso di sebuah bangunan tua. Sepintas, bangunan tersebut mirip musala. Letaknya di tepi kebun kopi, di kaki Burni Telong, gunung yang akan kami daki.

Namun, tak ada sajadah di musala itu. Beberapa bilah papan di dinding dan lantainya sudah keropos. Saya tak tahu apakah musala itu masih ada sekarang karena pendakian tersebut sudah lama terjadi. Tepatnya pada Februari 2008, di malam valentine.

Di sekeliling musala, terlihat ladang tebu dan kopi. Sejauh mata memandang, gundukan bukit terhampar hingga ke kaki langit. Pemandangan itu kian melenakan ketika angin semilir menerpa ke balik punggung baju yang basah keringat.

Kecuali Iwan, ini kali pertama bagi kami bertiga mendaki ke Burni Telong. Dua sahabat saya yang juga ikut mendaki adalah Iwan Nasai alias Awenk dan Mike alias Munawar.

Sebelumnya, Iwan pernah beberapa kali mendaki ke gunung itu. Maklumlah, ia asli anak Gayo. Rumahnya di Kampung Dedalu, Takengon. Di rumah Iwanlah, kami menginap sebelum naik ke Burni.

Burni Telong salah satu gunung stratovolcano di Indonesia. Gunung yang berada di Kabupaten Bener Meriah ini salah satu spot terbaik untuk didaki. Lerengnya menyimpan hamparan edelwise, sang bunga abadi.

Teman saya, Arsadi Laksamana, dalam tulisannya di Lintas Gayo, menyebutkan Burni Telong berada pada ketinggian sekitar 2.600 meter di atas permukaan laut.

Orang Gayo juga menyebut gunung itu dengan nama Burni Cempege yang artinya gunung penuh belerang.

Baca Juga: Dermaga Teluk Suyen yang Viral Tanpa Label di Tepi Danau Laut Tawar

Mencari jalur ke Burni Telong tak susah. Cukup turun di persimpangan Lampahan, Bener Meriah. Simpang tersebut berada di pinggir jalan lintas Bireuen-Takengon.

Dari situ, menanjaklah melewati jalan kampung yang beraspal. Tak usah takut bakal bosan. Di kiri kanan jalan yang terlewati akan terlibat kebun-kebun nan asri.

Pagi itu, dari rumah Iwan kami berjalan kaki menuju terminal bus Takengon. Di situ, kami menumpang bus BE (Bireuen Express) dan turun di Lampahan.

Rencana awal, kami ingin menumpang mobil kerabat Iwan agar diantar hingga ke musala tadi. Entah kenapa, rencana itu batal. Tak apa pikir saya, hitung-hitung menikmati udara segar perkampungan.

Pikiran ini kemudian saya sesali hanya gara-gara satu perkara: anjing.

Begitu turun dari BE, yang terpampang di depan mata di luar dugaan. Sebuah jalan aspal kecil yang tanjakannya sungguh panjang menanti untuk didaki.

Iseng saya bertanya, “Ada jalan yang landai, nggak Wan?”

Iwan hanya meringis saja.

Sebagai pendaki yang tak berpengalaman, saya cuma ingin tiba secepatnya ke pintu rimba Burni. Melihat edelweis dan merebus mi di dalam nesting sepertinya itu sudah cukup buat saya.

Beberapa meter menanjak, jalur itu aman dari gangguan. Saya mengeluarkan kamera, menjepret apa saja, termasuk bunga-bunga yang bertengger di pagar kebun. Dari situ, puncak Burni terkadang bagus untuk dipotret.

5 Januari 2019 — Pemandangan gunung Burni Telong dengan latar langit biru.
5 Januari 2019 — Pemandangan gunung Burni Telong dengan latar langit biru. (Foto Breedie/Fauzan)

Dari sebuah rumah, ada seorang ibu melihat ke arah kami. Yang tampak mukanya saja. Saya mengangguk dan tersenyum ke arahnya, mencoba ramah, tapi si ibu langsung beranjak.

Seketika mukanya hilang di antara rimbun dedaunan. Untung pagi, coba malam ada pemandangan seperti itu, bulu ketiak saya pasti merinding.

Selang beberapa menit, gangguan pun datang. Dari celah pagar kebun, seekor anjing tiba-tiba keluar. Saat itu, saya berada paling depan.

Melihat kami, anjing itu mengambil posisi duduk. Ia mengamati tanpa suara.

Saya membidiknya lewat lensa. Iseng saja, niatnya sebagai kenang-kenangan.

Tiba-tiba, tanpa dikomando, dari celah yang sama, keluar lagi beberapa anjing lain. Jumlahnya sekitar enam atau tujuh. Mereka kini bergerombol.

Jakun saya turun naik. Ingatan masa kecil saat dikejar anjing sepulang mengaji tiba-tiba berdenting di kepala bagai bandul jam.

Dulu, saat umur sekitar delapan tahun saya pernah hampir digigit anjing yang ukurannya cuma selutut. Insiden itu menyisakan trauma yang tak pernah terobati, duh.

Gerombolan anjing itu menatap tajam ke arah saya. Tanpa sadar, ketiga teman saya telah menyusul dan berada di belakang.

“Jalan saja, nggak apa-apa,” kata Iwan.

Ia menyarankan, jika kawanan anjing itu mendekat, jangan lari. Jika lari tentu akan digigit. Soalnya, anjing-anjing itu memang akan menguji nyali para pendatang baru seperti kami.

Saran itu saya iyakan tapi praktiknya jauh dari harapan.

Memang betul kata Iwan, ketika kami melewati kerumunan, anjing-anjing tersebut mendekat. Saya langsung gugup dan melipir ke pinggir jalan.

Dari terkaan saya, ada tiga anjing yang mencoba menyasar saya. Mereka mulai menggonggong, yang lain menyambutnya.

Sungguh teror yang luar biasa karena hanya saya yang panik. Ketiga teman saya itu terlihat tenang.

Saya tidak tahu apakah mereka mencoba tenang atau memang tenang. Yang pasti, posisi kami kini berada dalam satu barisan, mirip boyband yang sedang mencoba koreografi baru.

Baca Juga: Kepada Yth: Seorang Kawan yang Pernah Dibully karena ngefans JKT48

Di tengah kepanikan itu, saya mengambil sikap. Jika diserang, alat untuk membela diri hanya kamera dan ransel. Saya cengkeram lensa kamera erat-erat seperti memegang tongkat.

Sementara langkah kaki mulai cepat dengan mata yang tak terlepas dari gerombolan anjing. Ada dorongan dalam diri untuk berlari saja. Ah, persetan anjing-anjing ini, pikir saya.

Saat keinginan berlari dari kenyataan itu begitu kuat, dari atas terlihat sebuah sepeda motor sedang menuruni tanjakan.

Suara knalpotnya meledak-ledak tapi pengendaranya terlihat anteng saja. Ia melaju agak kencang.

Entah apa sebabnya, melihat sepeda motor itu, kawanan anjing itu bubar secepat kilat dalam gerakan mendadak. Mereka menghilang masuk ke dalam kebun.

Saya lega dan terduduk sembari ngos-ngosan. Sebuah interogasi telah terlewati.

Dewa penolongnya adalah si pengendara motor yang sempat melongo sejenak melihat air muka saya yang kecut.

“Ah cemen, sama anjing saja takut,” begitu mungkin pikirnya.

(Bersambung)

Tulisan ini berisi kisah pendakian ke Gunung Burni Telong di Bener Meriah. Dipecah dalam beberapa tulisan supaya tidak kepanjangan__Breedie

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

One thought on “Journey to Burni Telong (Bagian Pertama): Dikejar Anjing di Jalan Kampung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *