~ Lailatur qadar from home
Dalam 12 bulan tahun Hijriah ada satu bulan teristimewa yaitu Ramadan yang sedang berjalan ini.
Dalam satu bulan suci sepanjang tiga puluh hari ini, ada satu malam paling berkah yaitu malam lailatul qadar atau malam seribu bulan.
Kapan malam itu tiba? Tidak ada satu pun hamba yang tahu, kecuali Allah dan Rasulnya.
Allah sengaja menyembunyikan malam lailatul qadar, dan pasti menurunkan malam mulia ini pada tiap-tiap Ramadan secara random.
Seandainya malam lailatul qadar ditetapkan secara pasti seperti nuzulul quran pada 17 Ramadan, pasti hanya pada malam itu saja orang-orang fokus beribadah, tobat, dan berdoa sungguh-sungguh.
Siapa saja yang beribadah pada malam lailatul qadar, balasan amalnya dilipatgandakan sebanyak seribu bulan.
Namun, balasan pahala seribu bulan bukan hadiah sembarangan yang diberikan cuma-cuma begitu saja tanpa ada niat dan usaha yang keras.
Dikasih giveaway iPhone KW saja syaratnya banyak. Wajib follow akun ini itu, jangan lupa hashtag, tag beberapa akun cadangan, yang setelah semua syarat dilewati, kesempatan menang ditentukan lewat jalur undian.
Itu urusan duniawi, apalagi yang berkaitan dengan malam lailatul qadar.
Ada hadis nabi menyebutkan, “Kencangkan ikat pinggang, jauhkan tempat tidur, jauhkan berbagai godaan dunia untuk menyambut lailatul qadar”.
Sudah jelas bukan? Malam lailatul qadar tidak diperuntukkan bagi kaum rebahan yang perutnya kepenuhan sehabis berbuka puasa.
Karena terlampau kenyang, terkadang salat tarawih terlewat begitu saja. Alasannya PSBB, mesti jaga jarak.
Padahal, tarawih bisa dilakukan sendiri di rumah, tidak wajib berjamaah ke masjid. Tapi, ini pun terlewat karena cuma ingin menghabiskan malam dengan pansos dan rebutan giveaway di media sosial.
Terlepas dari itu, kalau lailatul qadar ditetapkan khusus pada malam tertentu, pasti banyak beredar meme-meme di grup wasap.
“Malam ini malam seribu bulan, yuk, beb kita jamaah qiyamul lail bareng via Zoom.”
Hah … Kita???
Itulah kenapa Allah merahasiakan malam lailatul qadar, semata-mata untuk memilih siapa saja hambanya yang mau bersungguh-sungguh.
Balasannya sangat luar biasa banyak dan lengkap. Mendapatkan pahala, diampunkan dosa, dan makbul doa sebanyak seribu bulan.
Berburu Malam Seribu Bulan
Allah yang maha pengasih dan penyayang, memerintahkan umatnya untuk tidak melewati begitu saja malam lailatul qadar.
Siapa saja yang memanjatkan doa pada malam itu akan dikabulkan. Di sinilah kita sama-sama berdoa agar wabah corona segera menjadi virus flu biasa.
Saya rasa, banyak yang ingin berdoa seperti itu, tapi … ada tapinya lho, pada sepuluh malam Ramadan yang terakhir godaan memang makin berat. Saf tarawih saja makin susut, apalagi mendirikan salat malam.
Para lelaki mungkin lebih mudah mengencangkan sarung dan menghidupkan malam dengan qiyamul lail di masjid atau di rumah. Godaan terberatnya paling ngantuk.
Yang tidak mudah adalah para perempuan terutama kaum ibu. Mereka mesti membagi waktu kapan fokus beribadah, mengurus anak, dan mengencangkan ikatan celemek memanggang nastar.
Belum lagi saat menyiapkan makanan berbuka, energinya telah lebih dulu terkuras. Terkadang, upaya menjemput malam lailatul qadar terlewatkan karena lebih dulu terkapar setelah kecapean mengaduk adonan kue.
Namun, banyak juga mak-mak perkasa yang tulangnya seperti tak pernah letih. Sudahlah penat dengan segala urusan duniawi, ibadah malam tetap berlangsung tanpa terganggu hal-hal receh macam begitu.
Sesibuk apapun hambanya pada akhir zaman ini, Allah telah memberikan berbagai macam clue agar tidak melewatkan begitu saja malam seribu bulan itu.
Apa saja clue dan tandanya? Berikut saya rangkum lima poin saja di antara banyak petunjuk tentang malam lailatul qadar:
- Clue pertama, petunjuk waktu turunnya malam lailatul qadar. Sesuai dengan hadis, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadan), beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya”. — Sayyidah Aisyah.
- Clue kedua, masih soal waktu, tapi lebih spesifik, “Carilah malam lailatul qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan”. — Sayyidah Aisyah.
- Clue ketiga penekanan soal waktu malam lailatul qadar, “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya”. — Hadis riwayat dari Ibnu Umar.
- Clue keempat, dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Malam) lailatul qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan hari cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan”.
- Clue kelima, dari Ubay Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, “Pagi hari malam lailatul qadar, matahari terbit tidak menyilaukan seperti bejana hingga meninggi”.
Kelima petunjuk tadi dapat dijadikan road map untuk berburu malam lailatul qadar bagi kaum rebahan.
Siapa tahu, dengan bersungguh-sungguh berburu malam lailatul qadar, doa pun dikabulkan dan mendapat hidayah.
Lalu, selepas Idul Fitri, memutuskan hijrah untuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik. Mengharukan sekali bukan?
Baca Juga:Hologram Corona
Bagaimana road map-nya? Dari 10 malam terakhir, dikurangi malam genap, probabilitas malam lailatul qadar akan datang pada malam 21, 23, 25, 27, dan 29.
Jika masih berat mengencangkan ikat pinggang lebih baik fokus beribadah malam pada lima malam ganjil tersebut.
Timeline malam ganjil boleh ditandai lagi dengan tanda-tanda alam seperti clue nomor empat dan lima.
Mulai malam ganjil ke-21, sebelum beranjak ke masjid salat tarawih, jangan lupa pantau cuacanya seperti clue nomor empat.
Apakah malam tersebut cerah, termasuk malam yang indah—biasanya kita dapat merasakan keindahan suatu malam—tidak panas dan tidak juga dingin apalagi hujan?
Kebetulan sekali, di Aceh, Ramadan tahun ini banyak turun hujan. Bahkan beberapa daerah banjir bandang.
Bila pada salah satu malam ganjil di 10 malam terakhir tidak turun hujan dan cuacanya indah, kemungkinan itu malam lailatul qadar.
Maka dari itu wahai bapak-bapak dan abang-abang sekalian sudah bisa kencangkan ikat pinggang, berdirikan salat malam.
Sementara untuk mak-mak dan akak-akak bisa menunda dulu ‘lailatul bakar’ kue di malam ganjil. Lakukan hal itu di malam genap besoknya.
Jangan takut lebaran tahun ini nggak ada nastar.
Untuk memastikan apakah betul semalam malam lailatul qadar, sehabis sahur pada hari ganjil jangan langsung tidur. Pantau matahari terbit dan lihat apakah seperti clue nomor lima.
Membaca tanda-tanda alam tidak mesti secara tersurat tapi juga secara tersirat—sesuai hadis pada clue nomor empat—seperti menikmati sinaran cahaya matahari pagi hari sambil meresapi makna hadis tersebut.
Bila malam ganjil 21, 23, dan 25 cuacanya gerimis, hujan disertai badai, atau ada bencana alam, tentu mager ke masjid untuk tarawih kan? Bisa jadi malam tersebut belum masuk malam lailatul qadar.
Jika Bree tidak mau menghidupkan ibadah malam, sebaiknya jangan terus-terusan rebahan. Gantilah dengan ibadah wajib lainnya, seperti yang dituturkan ibu-ibu dalam video meme berikut ini.
Yang masih belum menikah piye? Lanjut bikin kue sajalah.
Bukankah Ramadan bulan penuh berkah? Berdoa tidak mesti menunggu malam lailatul qadar, malam-malam lain di bulan puasa ini juga makbul doa.
Maka, berdoalah pada sepertiga malam dengan sungguh-sungguh. Siapa tahu Syawal nanti sudah bisa menjabat tangan bapak mertua.
Kurang apalagi kemudahan yang Allah berikan untuk kaum rebahan dan mak-mak yang sibuk bikin kue lebaran agar dapat menyiasati waktu untuk menjemput malam seribu bulan.
Selain kemudahan tersebut, ada satu lagi yang mungkin luput kita sadari. Penentuan awal puasa dan lebaran tahun ini tidak dilewati dengan perdebatan.
Jika penentuan puasa dan lebaran berbeda seperti tahun lalu, pasti lebih sulit lagi menentukan kapan lailatul qadar karena berbeda hitungan malam ganjil dan genap.
Yang start puasa lebih awal sehari, sudah pasti malam genapnya adalah malam ganjil bagi yang telat puasa sehari. Terus menerus seperti itu hingga akhir Ramadan, maka keyakinan akan turunnya malam lailatul qadar sudah pasti berbeda.
Jadi, probabilitas 10 malam terakhir jadi lebih kompleks. Akan jadi tanda tanya, turunnya malam lailatul qadar nanti berdasarkan perhitungan Ramadan golongan rukyat, hilal, atau seperti hitungan jamaah Naqsabandiyah?
Saya pernah mendengar ceramah Ramadan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Teungku penceramah mengatakan malam lailatul qadar jatuh pada malam 17 Ramadan.
Patokan beliau sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Qadr kalau Alquran mulai diturunkan pada Lailatul Qadr. Meskipun tiada kata Alquran dalam keseluruhan surah ini.
Nah lho … sudah kelewatan kan malam 17 Ramadan.
Baca Juga: Lamek, Juned, dan Brahim, Sebuah Bacot Unfaedah di Tengah Krisis Corona
Sejatinya, untuk mendapatkan malam seribu bulan, wajib beribadah dengan sungguh sungguh mulai dari 1-30 Ramadan tanpa hitung-hitungan.
Lalu, mengencangkan ikat pinggang pada 10 malam terakhir tanpa peduli malam ganjil atau genap, hujan atau senyap.
Seperti kata tengku di masjid kampung Rembele pada puasa tahun lalu—tahun ini ceramah ditiadakan—sesungguhnya orang yang mendapatkan malam lailatul qadar, keimanannya lebih kuat.
“Kalau dulu salatnya di rumah saja, setelah melewati malam lailatul qadar, sering salat jamaah lima waktu ke masjid”.
Seperti kata teungku tersebut, fokuslah beribadah. Anggap saja Ramadan di tengah pandemi ini adalah puasa dan malam lailatul qadar yang terakhir.
Wabah corona grafiknya penularannya makin tinggi, sebuah sinyal ajal pun lebih dekat. Apalagi ada wacana memberlakukan herd immunity. Belum tentu kita mendapatkan Ramadan lagi di tahun depan.
Akhir kata, wallahualam, jangan lupa, kita masih diwajibkan jaga jarak, dilarang mudik, diam diri rumah saja, dan bermaaf-maafan lebaran secara virtual.
Lalu, kue nastar yang sudah capek-capek dibakar itu untuk siapa?
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )