Aku menemukanmu sehari setelah kunjunganku ke makam Eva Peron. Kau terduduk di pedestrian sebuah persimpangan tak jauh dari La Recoleta dalam balutan blus dan fedora lebar warna hitam.
Ada sesuatu yang mendorongku untuk menghampirimu.
“Kenapa kau menangis?”
Itu sapaan paling aneh yang pernah kuucapkan untuk seseorang yang belum kukenal. Kenapa tiba-tiba aku mengeluarkan pertanyaan konyol tersebut?
“Sepertinya, aku telah mengenalmu jauh sebelum pertemuan serta pertanyaan konyol itu kau lontarkan,” celetukmu tiba-tiba sambil tersenyum. Cih, aneh, aku juga sempat berpikir demikian.
Hanya berselang menit, kita telah berjalan sambil bergandengan tangan, menunggu kereta pukul satu siang, berdesakan bersama para demonstran yang sedang bergerak menuju gedung Casa de Gubierno.
Kita batal menuju Tilcara, dan tiba-tiba ada antara gedung-gedung yang terbakar, lemparan molotov dan pekik peluru, tenggelam dalam kor serta lirik-lirik Bella Ciao bersama para partisan.
Pekan pertama sejak pertemuan itu, kita sering mengadakan janji bertemu di sebuah pub hingga larut malam ditemani anggur Torrontes, dan kau mulai sering membacakan kisah-kisah dari Cossack kepadaku.
Kau punya rasa ingin tahu yang berlebihan kepada cerita di balik nyanyian dari masa perang, terutama Katyusha dan Lili Marleen.
Terkadang, kau membaca dengan jahar surat cinta antara Elaine dan Elias, dan, semua orang di pub lagi-lagi menunjukkan reaksi terkagum, sesekali menitikkan air mata—sebuah dramaturgi dari reaksi biologis yang sangat menjijikkan, menurutku.
Ketika suasana pub dan pengunjung mulai sepi, kita akan keluar berjalan-jalan di taman yang lengang di sudut Kota Avenida Santa Fe. Berdua saja, larut dalam diam, hingga mafela yang membaluti lehermu terbasahi oleh embun.
Pada saat-saat seperti itu, kita akan saling bertatapan, menunggu isyarat masing-masing. Semua yang akan terjadi setelahnya, berjalan menuruti gazirah, lazimnya manusia yang sedang dimabuk cinta dan alkohol.
Baca Juga: Cerpen: Makeup
“Maukah kau membacakan aku sebuah puisi?” kau bertanya, sementara, kedua tanganmu merangkulku.
Dalam keremangan, aku masih dapat melihat bola mata yang kecoklatan serta bagian bawah lehermu yang terbuka menantang.
“Tentang apa?”
“Terserah.”
“Aku tidak punya bahan untuk berpuisi. Mari kita lanjutkan saja pergumulan ini di tempat yang lebih baik. Bagaimana jika di apartemenmu?” Aku mencoba merayumu sambil memperlihatkan gerakan alis dan kedipan mata yang nakal.
“Tentu saja, tapi, bacakan dulu sebuah puisi untukku. Ramos yang mengatakan, kau kerap membacakan puisi untuk anak-anak di panti asuhan, bukan?” Kau membalas kedipan mataku.
“Aku tidak pernah membaca puisi untuk anak-anak itu, aku hanya mengutip dan memelintir potongan-potongan kalimat dari kisah-kisah yang pernah kudapat dari catatan para pendosa.”
“Terkadang, aku mencurinya dari para penyair yang tengah dimabuk asmara. Cih, aku membenci para penyair itu. Bisa kukatakan, aku hanya meracau, mencampurnya dengan sedikit hal yang menurutku hanya estetika dari susunan kata dan frasa belaka. Tapi, kau tahu, aku bukan tipe lelaki seperti mereka, para penyair salon yang hipokrit. Aku hanya pemberontak, abdi ketenangan,” sambungku.
“Baiklah, bacakan aku salah satu puisi dari kisah yang kau kutip dari masa lalu. Setidaknya, cobalah meracau, pelintirkan sesuatu untukku atau aku akan memelintir sesuatu yang paling berharga dari milikmu yang ada dalam genggamanku ini, sekarang!”
Kau menatapku dengan mata yang mengancam, wanita sialan.
“Baiklah, baiklah, kau yang memaksa, dan ingat, ini bukan puisi.”
Bagaimana dengan: pada anjangsana terakhir, kau dan aku kala itu masih berupa dua jiwa yang dialektis.
Kita saling memburu rindu dan cemburu, berpeluh, di bawah terang bulan tujuh warna, di antara dua waktu kaladurga.
Lalu, kau, aku, dan jiwa-jiwa kita yang kalap mulai memistikasi sunyi gelora.
Dalam diam, dalam tatap-tatap kita, dalam perasaan yang begitu purba, sedepah, sedekat, selekat itu.
Jiwa kita yang abstrak singgah di setiap altar para pecinta: Romi dan Juli, Lancelot dan Guinevere, Odysseus dan Penelope.
Kita bahkan ada di antara kebun bunga Keukenhof kala Mark Antony bertempur melawan Octavianus, sehari sebelum Cleopatra dikabarkan mati dan pejuang itu pun memutuskan menghunus Gladius untuk dirinya sendiri—bukankah hati yang patah telah lebih dulu membunuh Antony?
Pernah kuajak kau menyusuri garis pantai. Tapak kaki kita menancap jelas, meninggalkan bekas di sepanjang bentangan pasir.
Sementara, purnama tepat di antara garis-garis langit selatan, dan laut memerak diterpa kirana. Aku telah mengecup kening dan melumat bibirmu pada hitungan ombak keseratus.
Inilah gebu.
Setiap gerah yang menderu redam menafikan pisuh gelombang, menghalaunya jauh-jauh, agar tak menganggu perasaan-perasaan yang sedang bulat purna—selama kita adalah sukma, nyawa dan daging, manusia dan bangkai, maka, sedepah, sedekat, selekat itu.
Kau paling suka bunga, apalagi krisan, dan, aku berencana mengajakmu ke Babilonia suatu hari untuk menemui Amyitis dan taman gantungnya.
Itu akan sangat menyenangkan: kau dapat berkeliling di taman sampai puas, sehingga, aku bisa melihat wajahmu yang pucat kesi malih rupa—aku hanya ingin kau melupakan perkabungan.
Sekali lagi, sebelum kau kembali ke tetirah, ke tempat para pecinta akan beristirahat kelak.
Biarkan aku mengajakmu menaiki kapal uap, menyusuri sungai Volga dan Lena, melihat puncak-puncak kubah katedral dari atas geladak, lalu, apabila musim salju tiba, kita akan ke Yakutia, melihat kuda-kuda Siberia dari dekat serta menikmati aurora di Kola Peninsula.
Baca Juga: Cerpen: Anomali dari Langit
Setidaknya, sebelum kau terlelap, aku ada di sini, melihatmu dari jauh, dari balik pertapaan, di antara makam-makam sunyi dan dua nisan syuhada tanpa nama di Jabal Uhud.
Bukankah ini hanya kesepian yang kesekian, hitungan dasawarsa kesepuluh dari sebuah kematian. Selamat malam, kekasih.
Setelah malam di sudut taman Kota Avenida Santa Fe itu, kita tidak pernah bertemu lagi. Kupikir, kita hanyalah salah satu dari sekian yang akan hilang bersama titimangsa, seperti kisah itu.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )