Krisis Rukun Tetangga di Masa Pandemi

Mamak-mamak punya “New Normal”-nya sendiri. Peraturannya: silakan nyinyir, gibah, tapi jaga jarak dan pakai masker.

Krisis Rukun Tetangga di Masa Pandemi

~ Masih sempat bahas pinggul rupanya, ya

Pertengahan September ini, salah satu desa di pinggir pusat Kota Banda Aceh mengonfirmasi kasus positif Covid-19 pertamanya. Warga geger. Yang tetap tenang cuma beberapa.

Salah satunya imam masjid. Agar semakin ramai yang waspada, beliau mengumumkannya ke jemaah setiap usai salat—lengkap dengan imbauan pakai maskara masker, jaga jarak, cuci tangan.

Orang yang terjangkit itu adalah sosok baik di lingkungan. Beliau banyak bergaul, suka olahraga, sederhana meski kaya, dan sangat rajin ke masjid.

Setiap sore keluarganya suka bercengkerama dengan para tetangga. Ada saja yang dibicarakan. Apalagi kalau kerumunan tersebut didominasi ibu-ibu, aduh, kacau sekali pokoknya.

Tapi setelah kabar positif Covid-19 itu beredar, warga desa, lebih-lebih tetangga, cukup waswas. Orang-orang agak takut duduk-duduk di luar. Bahkan cuma untuk melerai kucing berantam di depan rumah pun harus pakai APD.

Karenanya, sekarang tidak ada lagi forum gibah kala senja. Alhamdulillah. Kini sore telah menjadi sejuk dan sehat.

Rupanya, jaga jarak atau pembubaran sementara kegiatan rumpi tersebut membuat beberapa anggota keluarga tadi tersinggung.

Baca Juga: Gara-gara Si Corona, Mudik Tak Seasyik Dulu Lagi

Mereka sakit hati melihat para tetangga takut tertular. Mereka merasa penyebar penyakit. Saat melihat orang masuk ke rumah, kecewa karena merasa dihindari.

Padahal tetangga tak ada maksud begitu. Masuk ke rumah karena sudah selesai dengan urusan di luar rumah, seperti menyiram bunga keladi janda bolong.

Bahkan, tetangga pun tidak tahu sedang dilihat oleh anggota keluarga tersebut yang melintas di depan rumahnya.

Protes karena merasa dikucilkan akhirnya ditumpahkan di media sosial. Kata-kata sinis, sindiran, bahkan agak menghina para tetangga dipublikasikan.

Ungkapan-ungkapan yang tidak enak dibaca itu lantas jadi topik pembicaraan mamak-mamak di warung sayur saat pagi hari (sungguh pagi yang tercela). Sindiran-sindiran balik disuarakan.

Mamak-mamak seringnya memang menyikapi gibah dengan asas lex talionis. Meniru kaidah “mata diganti mata, gigi diganti gigi”, mamak-mamak menerapkan “gibah diganti gibah”. Cara kerjanya: “Kalok klen gibah kami, kami gibah balek”.

Gibah di masa pra dan saat pandemi beda. Setidaknya, di era pandemi gibah bercampur dengan sosialisasi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Misalnya: “Itu tu si Ratna sekarang kalok ke pasar selalu pakek masker. Ku piker karena takot Korona. Padahal biar gak bisa ditandai mukaknya sama Kak Mala. Takot dia sama si Mala gegara ketauan videokol suaminya pas malam Minggu kemaren”.

Artinya, mamak-mamak punya “New Normal”-nya sendiri. Peraturannya: silakan nyinyir, gibah, tapi jaga jarak dan pakai masker.

Balas-balasan berkomentar pedas seperti itu menciptakan ketegangan di lingkungan. Utamanya di tingkat Rukun Tetangga. Krisis makin terbentuk manakala berlangsung perselisihan antara keluarga yang anggotanya meninggal akibat Covid-19 dengan warga.

Pihak keluarga mau jenazah kerabatnya dipulangkan ke rumah terlebih dahulu, sementara warga menuntut harus langsung dibawa ke pemakaman. Ketika akhirnya jenazah langsung dikebumikan, sebagian anggota keluarga yang kemalangan menaruh dendam atas sikap keras kepala warga dan aparatur desa.

Mereka merasa harusnya keinginannya didukung, bukan malah membela petugas rumah sakit dengan sokongan aparat (polisi dan tentara) yang hendak menjaga penerapan protokol pemakaman jenazah dalam masa pandemi.

Baca Juga: Corona Membuat Kita Lebih Takut Sama Bersin Ketimbang Singa

Sakit hati terhadap tetangga juga terjadi dalam kasus sedikitnya pelayat. Keluarga merasa sedih bahkan sakit hati karena melihat hanya tetangga yang mau datang, lalu berencana melakukan hal sama terhadap mereka yang tidak melayat: “Kalau nanti dia yang mati, semoga enggak ada orang yang datang ke rumahnya!”

Krisis Rukun di tingkat Tetangga ini tidak terlalu menjadi perhatian banyak pihak, bahkan dari otoritas desa sendiri. Kalau ada yang mengatakan pandemi ini memengaruhi semua bagian dalam kehidupan manusia, Anda harus menyimak baik-baik orang tersebut. Karena yang disampaikannya fakta.

Pandemi ini kenyataannya telah memengaruhi kohesi sosial pula. Dalam sejumlah kasus hubungan sosial semakin kokoh, dalam kasus lain justru merapuh.

Dalam kasus di mana kohesi sosial makin jadi baik dalam pandemi, yang kita bicarakan adalah aksi-aksi mulia warga yang mengatasi kesusahan ekonomi tetangganya akibat penutupan tempat usaha ataupun pemecatan. Bantuan dilakukan seperti memberi makanan atau pekerjaan baru.

Setiap bencana selalu menyisakan bekas. Mungkin nanti saat bencana pandemi ini sudah berakhir, salah satu bekas yang bisa kita lihat adalah rusaknya kerukunan dalam Rukun Tetangga.

Kita mungkin akan melihat orang-orang yang dahulunya kompak membahas ukuran pinggul tetangga menjadi tak lagi saling bicara. Orang-orang mungkin tidak lagi baik pada sesama seperti sediakala.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *