I’m Still Here — Chapter 10

Perlahan, perlahan sekali, sosok itu mendongak, menatap Nada, dengan ceruk mata yang sangat cekung hingga nampak gelap belaka.

Novela Misteri I'm Still Here Breedie

Nah. Eri mendadak pindah ke ranjangnya semalam. Apakah dia ketakutan karena melihat atau mendengar sesuatu? Rasa ingin tahu Nada timbul. Ia mendehem.

“Itu bagus. Boleh saja, Er. Nanti aku obrolkan dengan si Abang,” kata Nada. Lalu dilanjutkannya, “Tadi malam dingin ya, sepi banget lagi,” ujarnya. “Biasanya nggak begitu lho. Suara teve dari rumah belakang bisa kedengaran sampai jauh malam.”

Eri berhenti mengunyah. Memandang Nada. Kelihatan seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak jadi, ia kembali mengunyah. Dari ekspresinya, nampak seolah gadis itu tengah berpikir-pikir. Setelah nasinya habis baru Eri angkat bicara lagi.

“Eh Nad,” katanya. “Cucu-cucu Tante Hanum lagi datang berkunjung ya?”

“Cucu Tante Hanum??”

“Semalam kudengar ada yang lari-lari di atap datar tempat duduk-duduk itu,” ujar Eri. “Padahal sudah larut. Jam dua belas atau jam satu. Waktu aku mau—“ Eri terhenti. Matanya menangkap tatapan Nada. Sepi sedetik. Lalu tiba-tiba Eri membuang pandang. Mendadak mulai membahas kebakaran hutan Sumatera, orangutan masuk kampung, dan hal-hal lain yang tak ada hubungannya. Dia juga mendadak sibuk menanyakan keadaan orangtua serta saudara-saudara Nada. Tak ada penjelasan, apa yang hendak diceritakan Eri ketika ia mengatakan “waktu aku mau” itu.

Sambil makan bubur dan menyahuti Eri, Nada tak berhenti memikirkan kejadian-kejadian yang sudah dialaminya. Jadi, Eri juga mengalami sesuatu yang aneh semalam, pikir Nada. Ia sudah akan menceritakannya tadi, ketika tiba-tiba berubah pikiran.

“Nad,” Eri membawa piringnya yang sudah kosong ke bak cuci, “Aku ajak Dini menginap di sini ya.”

“Dini?” Dini dan Nada sama-sama aktif di Unit Kesenian Aceh di Kampus. Gadis berkaca mata asal Meulaboh itu satu jurusan dengan Eri di Teknik Lingkungan, dan juga satu tempat kos. “Boleh aja sih….”

“Soalnya besok aku harus kuliah Nad. Dini nggak ngambil kuliah itu, jadi bisa nemenin kamu. Kasihan kamu kalau sendirian di sini…. kamu masih sakit,” tanpa ditanya Eri nyerocos. “Kalau ada Dini, kami bisa bergantian menjagamu.”

“Oh,” Nada menyuapkan sesendok bubur, menelan, lalu mengisap-isap sendok dalam mulutnya. “Aku oke aja sih. Terima kasih.”

“Ya udah, aku telepon Dini ya,” tanpa menunggu jawaban Nada lagi, Eri beranjak mengambil teleponnya. Ditinggalkan sendirian di dapur, Nada langsung merasa kurang nyaman. Ia tak mampu membuang perasaan bahwa ada seseorang atau sesuatu tengah mengawasinya. Untunglah Eri tak lama. Gadis itu segera muncul, tersenyum lebar.

“Kata Dini nanti sore ia kemari,” beritanya.

“Wah, alhamdulillah.” Nada jadi ikut bersemangat. Hadirnya Dini akan memperkuat baik Eri mau pun dirinya sendiri.

Eri dan Dini tinggal di paviliun selama sepekan, memastikan bahwa Nada makan semua bubur yang disediakan dan minum obat-obatannya. Kebetulan, selama seminggu itu pula Ronggur harus mengambil data pelengkap terakhir di Sukabumi, sehingga tidak dapat sepenuhnya memperhatikan Nada. Tapi karena ada Eri dan Dini, Nada bisa tidur nyenyak, yang sangat dibutuhkannya. Cepat saja kondisinya membaik, apalagi dibantu kesukaan Dini memasak. Ada saja yang dimasaknya—soto, capcay, bahan seadanya tapi rasanya juara. Maka pada hari terakhir, Nada merasa cukup kuat untuk melepas kedua kawannya itu kembali ke kosan mereka.

“Kalau kau perlu apa-apa, telepon kami yaa!” ujar Dini sebelum pamit pulang. Dari boncengan motor Dini, Eri mengiyakan: “Biar malam, hapeku nggak akan kumatikan Nad. Oh iya—“ telunjuknya teracung, “jangan lupa minum obat. Masih ada jatah untuk dua hari lagi. Antibiotiknya mesti habis lho!”

“Iya iyaaa!” Nada ketawa. “Makasih ya guys!” Nada merentangkan lengan, memeluk Eri dan Dini sekaligus di atas jok motor. Dipandanginya kedua kawannya itu hingga mereka lenyap di ujung gang. Barulah Nada menutup gerbang, langkahnya agak diseret saat kembali ke paviliun.

Selama Eri dan Dini menginap, Nada merasa sangat tenang dan nyaman. Paviliun itu pun terasa begitu menyenangkan. Tapi sekarang setelah Eri dan Dini pulang, entahlah. Nada malas memikirkan apa yang akan terjadi.

Tadi siang Dini membuat sup wonton. Masih bersisa semangkuk. Perlahan-lahan Nada masuk dapur, melirik ke kanan dan ke kiri sebelum menyalakan kompor. Setelah itu mundur, menempelkan punggungnya ke pintu kulkas. Api kompor menyala riang, bau sup mulai menggoda. Dalam hatinya Nada tak sabar menyuruh sup itu cepat mendidih, agar ia bisa segera keluar dari dapur.

Akhirnya menggelegak juga. Nada menuangkan ke mangkuk, mengambil sendok, segera masuk kamar. Mangkuk sup diletakkannya di lantai. Bersila di sebelahnya, dikliknya nomor telepon Ronggur.

Ronggur sedang mengerjakan outline disertasinya. Suaranya terdengar letih. Meski begitu, ia dan Nada mengobrol hingga satu jam lamanya. Saat akhirnya dengan enggan Nada menutup telepon, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Disingkirkannya mangkuk sup. Mematikan lampu, lalu membungkus diri dengan selimut. Dalam hati yakin bahwa takkan bisa tidur sekejap pun.

Tapi badannya berkata lain. Atau mungkin juga obat yang masih dikonsumsinya. Pokoknya, setelah beberapa saat membaringkan diri, Nada tertidur. Alarm untuk sembahyang Subuh yang membangunkannya.

Nada terkejap-kejap. Alarm teleponnya masih berbunyi. Nada meraih, mematikannya. Lalu melirik jendela. Di luar masih gelap. Tapi bagian kaki langit sebelah Timur sudah mulai menyemburatkan hijau kilat pertama fajar.

Dingin. Nada menyelubungkan salah satu pashmina tenun troso miliknya ke bahu, tersaruk-saruk membuka kunci dan selot pintu kamar. Engsel menciut sedikit saat Nada membuka pintu. Baru saja ia hendak melangkah keluar, Nada tertegun. Dalam keremangan ruang tengah dilihatnya sesosok ceking pucat, berjongkok di bawah bayangan meja gambarnya. Sosok itu jangkung, dengan lengan panjang kurus, berakhir pada jari-jari berkuku panjang yang tengah mengutik-utik lantai. Kepalanya lonjong, licin tak berambut. Kulitnya begitu putih pias hingga hampir-hampir nampak berpendar dalam kegelapan. Nada menyadari kehadiran bau aneh, seperti campuran antara antiseptik, sayuran basi dan cairan kimia, yang meruap tajam menusuk hidung.

Perlahan, perlahan sekali, sosok itu mendongak, menatap Nada, dengan ceruk mata yang sangat cekung hingga nampak gelap belaka.

Nada menjerit. Sekuat-kuatnya.

Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 9

Nada menutup spidol raksasa yang digunakannya untuk menulis. Lalu mundur sedikit, menaksir pekerjaannya.

“CARI KAWAN UNTUK SHARE KONTRAKAN” ditulis dengan huruf-huruf besar tebal. Di bawahnya Nada menambahkan keterangan, “Satu kamar kosong 5×5, ruang tamu, ruang duduk, kamar mandi dan dapur bersama”. Penutup adalah nomor teleponnya.

Ukuran kertasnya A3, tepi-tepinya dihiasi pola tribal. Nada mengangguk sendiri. Posternya pasti akan menarik perhatian.

Ide untuk menawarkan kamar yang selama ini kosong, muncul sehari setelah Nada melihat makhluk pucat di ruang tengah. Selama Eri dan Dini menginap di paviliun, jangankan melihat, mendengar sesuatu yang aneh pun Nada tak pernah. Barang-barang juga tak ada yang berpindah letak, atau hilang. Kemudian Nada ingat bahwa Tante Hanum pernah menyatakan harapannya, bahwa nanti Nada akan berhasil mengajak kawan-kawannya sama-sama tinggal di paviliun itu.

Seolah ada bola lampu menyala di kepala Nada. Yang pertama kali dibujuknya untuk berbagi kontrakan, tentu saja, Eri. Muka Eri ketika Nada membicarakan itu, awalnya seperti orang yang diminta terjun tanpa parasut dari ketinggian sepuluh ribu meter.

“Ayolah Er,” kata Nada. “Selama aku tinggal di sana, aku belum pernah melihat apa-apa,” kecuali makhluk plontos yang sedang mengutil-ngutil lantai itu, pikir Nada. “Aku rasa apa pun cerita orang tentang paviliun itu, ternyata bullshit besar saja. Ayolah Er. Pasti asik kalau kita sama-sama.”

Tapi cukup jelas, Eri tidak langsung menyukai ide itu. Lama sekali dipandangnya Nada, empat jemari kanannya menungkrup bibir. Berkali-kali ekspresinya berubah. Seperti ingin bicara tapi kemudian berkali-kali dibatalkannya lagi. Akhirnya dia bergumam pelan, “Kamar-kamar di paviliun itu terlalu besar. Ruang tengahnya juga terlalu besar. Berlebihan kalau hanya kita saja yang pakai.” Eri menggigit-gigit buku jarinya. Kebiasaannya bila tengah gelisah.

“Okelah Nad, aku mau. Tapiiii—“ Eri buru-buru mengacungkan telunjuk, sebelum jeritan girang Nada sempat keluar, “Cari dua orang kawan lagi, ya. Biar kita sekamar, kawan kita yang dua lagi sekamar juga, di kamar satunya.”

“Boleh. Gampang tu!”

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *