Setelah terpergok tadi, papi Nana sempat menyapa Dinda. Walau agak gugup, laki-laki itu berhasil membentuk sebuah senyum, ditambah anjuran kelewat ramah, agar kedua anak gadis itu mengobrol di kamar Nana saja.
“Supaya lebih nyaman,” alasannya.
Dinda, di satu sisi, sebenarnya lebih ingin kabur saja dari rumah itu. Namun setelah papinya bicara itu, tanpa menjawab apa pun Nana sudah bergegas melangkah menuju lorong di kiri, sehingga Dinda mau tak mau harus mengekor. Hanya selang tiga-empat menit setelah keduanya masuk kamar Nana, terdengar pintu kamar orangtua Nana dibuka lantas dibanting menutup kembali. Suara orang menuruni tangga, lalu pintu ke garasi dibentangkan. Tak lama menyusul deram SUV keemasan di garasi keluar ke pekarangan. Agaknya, papi Nana pergi.
Dinda tak ingin bertanya pada Nana, ke mana Mama dan kedua adiknya, Sarah dan Iqbal. Lebih mudah menganggap bahwa ketiga orang itu tak ada di rumah karena sesuatu keperluan. Dan bukannya sengaja meninggalkan Nana untuk dimangsa.
Nana bangkit.
“Kau sudah oke, kan, Din? Yuk, keluar,” katanya. Dinda melompat, ikut.
“Ayo, ke kafeku,”katanya, menarik tangan Nana. “Berenang. Lalu minum kelapa muda!”
“Ayo!” Nana tersenyum berseri. “Aku mau pakai sirup merah.”
“Aku jeruk nipis saja. Segaaar!”
Keduanya bergegas menuruni tangga. Saat masuk garasi, Dinda bertanya sepintas, “Kau tak mengunci rumah?”
Nana menggeleng kecil.
“Nggak perlu. Ada Kak Nanik, Kak Ida dan Kak Sur di belakang,” katanya. “Asisten Mama. Mereka kos di sini. Kak Sur yang bantu pekerjaan rumah. Tapi Kak Nanik dan Kak Ida juga sering membantu. Dan kurasa sebentar lagi Mama juga sudah pulang.”
Dinda terdiam. Ditatapnya wajah Nana, sesaat sebelum si kawan mengenakan helm. Mata Nana coklat, alisnya tebal. Dengan kulit seputih susu, pipi kemerahan bila kena sinar matahari, Nana bisa dikira berdarah asing.
“Kazak,” kata Dinda sendiri.
“Apa?” Nana keheranan. Dinda tersenyum.
“Kazakhstan. Aku tetiba ingat negara itu,” sahutnya.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Delapan Belas
Nana ketawa. “Pikiran kamu suka lompat-lompat begitu. Kayak kodok kena hujan,” ujarnya geli. “Tapi, aku senang kamu konyol begitu. Tetap jadi temanku, ya?” Nana menyodorkan tinju. Dinda menumbuknya dengan tinjunya yang juga dikepalkan. Lalu naik ke boncengan.
Keduanya kembali ke Zach’s Place, menghabiskan satu jam berenang di jernih ombak Teluk Sigupai. Jam berikutnya dilewatkan di bawah pohon. Bang Mulkan membuatkan kentang goreng. Bang Sadri mengupaskan kelapa muda. Dinda membawanya, dilengkapi sirup untuk Nana, sedikit gula pasir dan irisan jeruk nipis untuk dirinya sendiri.
“Nyaman sekali di sini,” kata Nana, menyandarkan diri ke kursi santai yang didudukinya. “Kamu beruntung sekali punya tempat ini, Din.”
“Kafe ini bukan punya kami. Ayah hanya menyewanya,” Dinda mengoreksi.
“Sama aja. Yang penting sekarang kalian punya hak di sini, kan begitu,” kata Nana. Ia menyurukkan jari-jari kakinya ke pasir. “Kurasa aku akan sangat betah di sini. Coba kalian punya bungalow… aku mau beli satu. Supaya tak usah tinggal di sarang hantu itu lagi,” Nana tertawa kecil.
“Katamu rumahmu di Jakarta juga berhantu?” sahut Dinda, iseng mengangkat hal yang diingatnya dari percakapan mereka dulu. Nana mengerling.
“Rumah kami selalu berhantu. Sebab ada setan itu,” katanya. Dinda langsung menyesali komentarnya tadi. Dia sudah mendengar terlalu banyak tentang apa yang terjadi pada Nana sejak ia berumur sebelas. Dan Dinda tak mau mendengar apa pun lagi soal itu.
Tapi Nana, baru saja mendapat jalan untuk melepaskan beban, beberapa kali mengulang betapa ia tak sabar untuk segera lulus dan segera berangkat ke Bennington.
“Nanti kita berdua bisa sekamar di Asrama,” kata Nana. “Atau mungkin kita bisa sewa apartemen. Aku ingin punya peliharaan. Kau suka binatang? Aku suka sekali. Tapi Mama tak pernah membolehkan aku memelihara. Lihat saja, kalau aku sudah di Bennington nanti, aku akan adopsi dua anjing sekaligus,” Nana terus berceloteh. “Aku akan jalan-jalan dengan mereka tiap sore. Kamu harus ikut, Din. Kita bisa belanja bahan makanan, lalu pulangnya masak makan malam.”
Makin lama Nana makin bersemangat. Ia mulai menyebutkan hal-hal yang membuat Dinda bingung.
“Nanti kita suruh setan itu kirim paket untuk kita tiap bulan. Kita juga bisa jual paket itu sedikit-sedikit. Aku rasa di private college kayak Bennington akan banyak yang membutuhkan. Kita bikin aja bisnis sampingan, jualan, supaya uang kita banyak,” Nana cekikikan. “Atau nggak usah minta dikirim paket khusus. Yang biasa dia kasih padaku tiap minggu juga bisa aja kita jual.”
Dinda mengerutkan kening.
“Apaan sih, Na? Kamu ngomong apa? Jualan apa?”
Nana menempelkan telunjuk ke bibir. Matanya berbinar-binar saat merogoh saku mengeluarkan bungkusan kecil.
“Ini jatahku minggu ini. Dia selalu kasih aku, kalau aku pulang dari Asrama. Nih, nih. Aku kasih kau ya. Tapi hus hus,” Nana membuka bungkusan kertas itu, mencabut sesuatu yang terlihat seperti sigaret. Hanya jauh lebih kecil. “Nih. Ambil saja. Aku punya banyak….,” dijejalkannya satu ke tangan Dinda.
Dinda memandangi benda di tangannya.
“What the…? Untuk apa ini?”
Nana terkikih.
“Untuk mimpi,” katanya. “Coba aja. Nanti bisa kamu lihat, warna apa aja di sekitar kamu bakal kelihatan lebih jelas. Mood kamu juga bakal naik…. Kalau tidur, tidurnya enak sekali.”
“Ini ganja?” tanya Dinda. Dia sudah sering mendengar Abie dan kawan-kawannya membicarakan benda itu. Nyatanya, bahkan ada salah satu kawannya di sekolah lama yang mengatakan bahwa Dinda beruntung karena akan pindah ke Aceh, “karena di sana ada banyak“. Tapi Dinda belum pernah melihat wujud herba legendaris itu. Sampai sekarang.
Dinda mendekatkan benda itu ke hidungnya.
“Baunya aneh kok,” komentarnya. “Kayak kencing tikus. Manis-manis jijik.”
Nana tertawa.
“Masa’ sih?” katanya. “Kalau dibakar baunya enak kok. Lagian efeknya bagus lho, nahan lapar. Kamu bisa diet dengan gampang.”
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Sembilan Belas
“Hmm,” kerut kening Dinda makin dalam. Benaknya melayang pada Bunda. Dulu Bunda selalu lari kalau Ayah mulai meraih kotak rokoknya. Bunda tak pernah secara keras melarang Ayah merokok. Paling-paling tersenyum dengan mulut dimiringkan, mengangkat dan menggoyang telunjuknya ke arah Ayah, lalu pergi menjauh. Tapi setelah Bunda didiagnosa menderita gangguan jantung, Ayah langsung menghentikan kebiasaannya merokok.
Melihat benda mirip rokok di tangannya, Dinda teringat wajah pucat Bunda dihari terakhirnya di planet bumi. Tidak. Sampai kapan pun, Dinda tidak akan menyentuh rokok. Apalagi benda di tangannya ini.
“Nggak ah, Na. Ini, ambil lagi,” kata Dinda, balik menggenggamkan lintingan kecil tadi ke tangan Nana. “Almarhumah Bunda asma. Aku nggak mau ngerokok. Ingat Bunda.”
“Ih, ini bukan rokok….” kata Nana. Namun tak urung dimasukkannya lintingan itu kembali ke bungkusan. “Aku isap ini dari jaman kelas dua SMP. Sampai sekarang kayaknya aku baik-baik aja. Batuk aja jarang,” Nana menghela nafas, menyedot air kelapanya. “Kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa. Aku hargai keputusan kamu.”
“Yeah,” Dinda masih berpikir sejenak. Lalu bersandar ke kursinya. “Kamu dapat itu dari papimu?”
“Yep,” Nana menyahut ringan. “Dia nggak pernah lupa memberi. Biasanya dua puluh-dua puluh lima linting. Nggak semua habis kupakai, sih. Jadi sebagian kukasih orang, atau kujual. Aku suka, sebab benda ini membantu aku supaya nggak mimpi buruk setiap malam. Kalau aku isap ini, ngompolku juga nggak terlalu parah.”
“Oh,” Dinda berpikir-pikir. Ia tak tahu harga benda itu. Tapi kalau mengingat berita-berita yang banyak beredar, mestinya harganya cukup mahal. Berapa kira-kira? Berapa banyak yang harus, misalnya, dijualnya, agar bisa membeli tiket pesawat kembali ke Jakarta?
(Bersambung ke Bagian Dua Puluh Satu)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )