Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Delapan Belas

Wajah Nana berubah kecut saat menempelkan telepon ke telinganya. Ia mendengarkan, bicara sebentar, mendengarkan lagi, lalu menutup telepon.

Dinda gadis grafiti

Nana terdiam. Ia masih membisu ketika memarkir motornya di depan deretan kedai penjual mie bakso dan es buah. Kedai-kedai itu ada di jalan menanjak menuju Gunung Kaila, di tepi bendungan besar Sungai Sigupai. Dinda selalu menyukai gemuruh air yang terjun bergegas-gegas dari ketinggian sepuluh meter, berbusa-busa mengalir deras sepanjang badan sungai. Kabut air naik tipis, menyejukkan udara. Nana memilih duduk di sebuah pondok kecil, dekat dengan kolam hijau segar bendungan. Air di situ dalam dan tenang. Dua perahu terjangkar di tengah. Pemiliknya tampak tekun memandangi kailnya, yang tercelup ke dalam air.

Nana memesan es durian. Alias daging buah durian segar yang ditimbun es serut dan santan. Dinda yang masih kenyang, hanya minta kopi.

“Kamu kayak bapak-bapak aja,” Nana ketawa melihat Dinda menghirup kopi hitam panas. Disebut begitu, Dinda tidak terhina. Malah agak bangga.

“Kata Bunda aku memang persis Ayah,” sahutnya, meringis lebar. “Ayah suka kopi, aku juga. Ayah suka jalan-jalan, aku juga. Bedanya cuma aku ini nggak brewokan aja,” Dinda ketawa.

“Ayahmu sepertinya baik hati,” komentar Nana. Mulutnya bicara begitu, tapi suara Nana tidak lepas. Seperti takut-takut. Dinda nyengir memandangnya.

“Kamu bilang ayahku baik, tapi kamu kok kayaknya takut sama ayahku, Na,” ujarnya. Langsung ketawa melihat wajah kawannya. Nana tersenyum kecil, tampak tidak enak hati.

“Bukan begitu,” katanya. “Aku kan belum begitu kenal ayahmu.”

“Ayahku biasa aja sih. Kayak ayah-ayah lain juga. Sering konyol. Becanda nggak penting,” kata Dinda. Langsung agak sedih karena teringat zaman dulu, ketika Ayah sering melucu. Ketika Bunda masih ada. Lalu ingat lagi kejadian tadi pagi, dengan Tante itu. Kata-kata Bang Tareq terngiang kembali. Dinda mual. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin Ayah kembali seperti dulu, riang dan kocak. Tapi ia tak mau membiarkan Tante itu…. Dinda buru-buru menyeruput kopinya. Berusaha membuang pikiran itu.

“Nggak juga. Nggak semua ayah kayak ayah kamu,” kata Nana.

“Ah, sok tahu,” Dinda ketawa kecil, merasa mendapat jalan untuk melupakan urusan Ayah dan Tante Dian. “Ayahmu juga pasti begitu, kan?”

“Kalau ayahku sih memang hebat,” Nana tersenyum hangat. “Nih. Ini hasil karya Ayah,” Nana membuka galeri foto telepon genggamnya. Memperlihatkan. Dinda melihat satu seri jepretan digital bertemakan serangga. Ada belalang sembah, kepik bintik, ngengat mini. Semua tampil dengan detil yang sangat mengagumkan.

“Wuah. Ini keren sekali!” komentar Dinda.

“Karena Ayah nggak bisa bergerak cepat, sekarang-sekarang ini objek fotonya seringkali hal-hal di sekitar rumahnya,” kata Nana. “Ini, yang ini diambil dari jendela rumahnya,” Nana memperlihatkan foto layung mentari terbenam di kubah sebuah masjid. Kubah itu menyala tembaga oleh cahaya matahari senja yang menyiramnya.

“Woah…. bagusnya….” Dinda mendesis.

“Ayahku jago motret,” suara Nana bangga. “Mama pernah bilang, Ayah membiayai kuliahnya dengan menerima tugas memotret. Ayah sempat memotret untuk majalah luar negeri, lho.”

“Keren,” Dinda melanjutkan melihat-lihat foto-foto dalam galeri ponsel Nana. Dan kaget setengah mati saat telepon itu mendadak berbunyi. Buru-buru diulurkannya kembali pada Nana. Masih sempat dilihatnya sekilas nama penelepon: Setan. Hah??

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Enam Belas

Wajah Nana berubah kecut saat menempelkan telepon ke telinganya. Ia mendengarkan, bicara sebentar, mendengarkan lagi, lalu menutup telepon. Air mukanya suram saat ia menatap Dinda.

“Aku harus pulang,” katanya enggan. “Itu tadi Papi.”

“Lho. Tapi rencana kita habis ini kan mau berenang di atas?” yang dimaksud Dinda adalah semacam kolam alam di mana Sungai Sigupai melebar. Letaknya menyusuri bendungan ke atas, ke arah puncak gunung Kaila.

“Nggak bisa. Kata Papi, Mama manggil. Besok saja, ya, Din,” Nana lesu. Dia bangkit, meninggalkan hampir setengah es duriannya belum dinikmati. Dinda tercengang.

“Kalau begitu, nanti aku main ke rumahmu, ya? Kita bisa berenang di laut dekat kafe kami saja. Aku jemput kau, ya?” katanya. Tak rela rencana bagus mereka hancur begitu saja.

“Oh…hm–” Nana berhenti. Air mukanya seperti berpikir. Lantas seolah mendapat ide bagus, mendadak ia menyambar tangan Dinda. Dinda kaget. Nana tidak memberinya waktu untuk terus kaget, gadis itu langsung memberondong Dinda dengan serangkaian kalimat.

“Kau ikut aku saja sekarang pulang ke rumah, ya? Rumahku nggak jauh. Nggak lama kok. Paling dua puluh menit. Nanti aku antar kau pulang ke kafe. Jadi kita bisa langsung berenang di sana.” kata Nana cepat. Nyaris tanpa titik koma.

“Eh…oke. Boleh,” Dinda agak heran mendengar nada bicara Nana. Kawannya itu terdengar rusuh. Bahkan tegang. Masa pulang ke rumah saja harus tegang? Dinda tak mengerti.

“Kalau begitu ayo,” Nana menyeret Dinda berdiri, pergi ke kasir. Nana membayar harga minuman mereka dengan selembar uang merah. Dinda takjub melihat begitu banyak lembaran uang itu dalam dompet Nana.  Uang sebanyak itu paling-paling setahun sekali diterima Dinda, saat Lebaran. Atau ulang tahun.

Dinda naik ke boncengan motor Nana. Gadis itu dengan cekatan memutar motor, memacunya kembali ke arah kota. Dinda hanya tahu bahwa rumah Nana ada di daerah elit Kota, tak berapa jauh dari pusat perdagangan Kabupaten. Di situ penuh rumah-rumah besar dan indah, dibangun oleh pemiliknya yang rata-rata pebisnis sukses, memiliki jaringan hingga ke Thailand dan Malaysia. Namun, saat tiba di depan rumah Nana, mau tak mau mulut Dinda otomatis membuka.

Rumah Nana seperti istana. Halamannya luas, dipenuhi semak bugenvil dan palem aneka warna. Bangunan rumahnya bertingkat dua, dengan tiang-tiang raksasa bergaya korintian dan tiga atap bagaikan kubah yang dicat keemasan. Dari gerbang pagar yang berukir rumit terbentang jalan beton yang rapi, meliuk sampai ke tangga teras menuju pintu utama. Teras itu sendiri dipenuhi tanaman gelombang cinta dan anggrek, yang setahu Dinda tidak gampang memeliharanya, juga tidak murah harganya.

Nana menujukan motor langsung ke samping, masuk ke sebuah garasi yang terbuka. Garasi itu menampung dua SUV mewah, dan sebuah motor besar. Nana mematikan mesin motornya. Lalu dengan gaya nyaris seperti mengendap, turun dan membuka helm.

“Ayo,” ajaknya pada Dinda. Ia menuntun Dinda memasuki pintu yang ada di bagian samping garasi. Ternyata pintu itu membuka ke semacam ruang tengah. Tirai-tirai merah tua dengan bunga keemasan tergantung melengkung di jendela. Lantainya granit, langit-langitnya yang tinggi berhias gipsum berukir. Dinda selalu agak ngeri melihat langit-langit macam itu. Sebab tampaknya seperti terlalu berat, setiap saat bisa saja jatuh menimpa kepala orang di bawah. Apalagi dikombinasikan dengan lampu kandela sebesar yang ada di ruang tengah rumah Nana ini. Yah, sah-sah aja sih, selera orang berbeda-beda, pikir Dinda.

Dia mengekor Nana melintasi set sofa kulit dan pesawat televisi sebesar dinding, naik ke tangga berukir yang menghubungkan ruang itu dengan lantai dua.

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Tujuh Belas

Dinda naik dengan perasaan heran. Rumah itu sepi. Tak ada suara apa pun kecuali gaung detak jam, yang entah ada di mana. Pada ke mana penghuni rumah selebihnya? Suara jam itu membuat suasana terasa agak menyeramkan. Apalagi ruang tengah rumah Nana ini agak gelap.

Mereka sampai di lantai dua. Tampak ruang terbuka yang cukup luas, dan sekali lagi selingkar sofa kulit dan sebuah pesawat televisi layar lebar. Lukisan Nana dan keluarganya, mengenakan setelan resmi, terpajang di dinding di atas televisi itu. Ruang itu juga agak remang-remang. Di dinding sebelah kanan ada pintu, dan sebuah lemari jati berisi berbagai guci dan hiasan keramik. Di kiri, sebuah lorong membuka, panjang. Dinda dapat melihat dua lagi pintu di dinding kiri lorong, dua juga di sebelah kanannya. Langkah Nana hendak membawa mereka ke lorong itu, ketika mendadak pintu pertama di kanan terbuka dan papinya Nana keluar.

Dinda tercengang melihatnya mengenakan jas kamar mandi yang terbuka bagian depannya. Laki-laki itu kelihatan kaget setengah mati saat matanya menangkap sosok Dinda. Wajahnya yang semula tampak santai dan yakin diri sontak berubah, memucat. Secepat kilat tangannya menyambar kerah jas mandinya, mengatupkan dan mengikatnya.

(Bersambung ke Bagian Sembilan Belas)

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *