Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Sembilan Belas

Separuh jiwanya terbakar keinginan membalas, tak sudi membiarkan sahabatnya terus menerus jadi korban.

Dinda gadis grafiti

Nana terdiam menatap lantai. Sepertinya ia sudah selesai menuturkan cerita hidupnya. Cerita yang luar biasa. Nyaris tak dapat dipercaya.

Untuk sesaat, Dinda masih menatapnya. Pikirannya bekerja keras berusaha mencerna semua yang diceritakan Nana. Semua yang sudah ditanggung sahabatnya itu, selama ini. Lalu dirasakannya suatu rasa tak enak naik. Mual mencekik.

Keduanya tengah berada di kamar Nana. Kamar itu memiliki kamar mandi, ruang belajar dan audio visual sendiri. Juga sebuah ceruk dengan ambalan marmer yang tepi-tepinya dihiasi gipsum ukir keemasan, tempat Nana menyimpan seluruh koleksi boneka plushie-nya. Ranjangnya yang besar, dengan model kelambu seperti ranjang putri dalam dongeng, didominasi warna ungu dan putih. Warna kesukaan Nana. Nana menempati kamar luas itu sendirian.

Dinda melirik kelambu itu. Dan lampu tidur berbentuk bunga tulip di dinding dekat kepala ranjang. Lantas rasa mual yang sedari tadi sudah mencekik, semakin nekat mendera. Sesuatu dalam badan Dinda memaksa hendak keluar.

Dinda bangkit. Setengah lari, menyerbu kamar mandi. Membuka tutup toilet. Membungkuk di atasnya. Perutnya bergolak, spontan mendorong seluruh isi lambungnya tumpah ruah. Dua kali batuk, diujungi bunyi tersedak yang meriah, dan lagi-lagi lambungnya terkuras.

Akhirnya Dinda dapat menghela napas panjang. Menutup toilet dan menekan tombol bilas. Lalu terduduk lemas di keset tebal dekat bak pancuran mandi. Nana yang tadi menyusulnya ke kamar mandi, menatapnya dari dingklik, bangku kecil dari kayu, di samping lemari kecil tempat handuk.

“Sudah baikan?” tanyanya pelan. Dinda menjangkau ke atas, ke wastafel, mencabut sehelai kertas tisu dari tempatnya. Mengusap bagian atas bibirnya yang berkeringat dengan kertas itu. Lalu diambilnya lagi selembar. Mengeringkan kening, dagu dan hidungnya yang juga basah.

“Yeah,” gumam Dinda. “That shit wasn’t good for my health.”

You bet that wasn’t,” Nana tertawa getir. “Kebayang nggak, kualami itu dari umur sebelas…?”

Damn, Na, you have to tell someone about this!” sialan, Na, kamu harus lapor pada seseorang soal ini, seru Dinda agak tersengal. Menahan perasaan.

I did. I tell you, didn’t I?” sudah, kan? Aku kasih tahu kau, sahut Nana.

Dinda memandang sahabatnya.

“Maksudku kamu harus bilang pada ibumu,” ujar Dinda.

Nana mengangkat bahu.

“Kurasa Mama tahu,” sahutnya. Gayanya yang acuh tak acuh membuat Dinda kembali merasakan serangan pedih di ulu hatinya.

“Apa maksudmu, ibumu tahu??”

“Ya gitulah,” Nana memandang Dinda sekejap. Lalu membuang muka, melihat ke arah koleksi bonekanya. “Setiap kali Papi masuk ke kamarku, besoknya Mama pasti membelikan boneka. Yang ada di rak itu cuma yang kukumpulkan sejak aku SMP. Yang lain-lain, yang kudapat di Jakarta, sudah kubuang. Aku nggak sanggup lagi melihat mereka. Mereka bikin aku mimpi buruk.”

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Tujuh Belas

Dinda kehilangan kata. Tak heran kamu jadi aneh begini, teman, pikirnya pedih. Begitu lama kamu pendam sendiri hal busuk itu. Dinda ingat betapa Bunda mengajarinya sebuah lagu. Lagu berirama polos itu memberitahu Dinda, juga Dedek, dan barangkali Bang Tareq sebelumnya juga, tentang sentuhan yang baik dan sentuhan yang buruk. Karena lagu itu, perlahan-lahan Dinda paham bahwa dia berhak menolak untuk ‘disayang-sayang’ oleh sembarang orang.

“Kamu nggak bilang ayahmu soal ini?” Dinda masih berharap ada sedikit harapan dalam masalah segelap lumpur ini.

Nana menggeleng pelan.

“Aku nggak mau sekali lagi menghancurkan hati Ayah,” katanya. Suaranya yang tadi datar kini mulai bergetar. “Ayah sudah terlalu banyak menderita. Aku nggak mau menambahnya.”

“Tapi kamu nggak boleh menyimpan ini sendirian, Na,” tukas Dinda. “Ini harus dihentikan. Penjahat itu harus dihukum.”

“Sudahlah,” Nana mengerutkan dahi. “Din, kumohon, jangan ceritakan pada siapa-siapa tentang ini. Janji, ya?”

“Hah?” Dinda tercengang. “Apa? Aku kan nggak mungkin tutup mulut dan membiarkan kamu tetap disiksa, Na??”

“Biar saja. Sudah lima tahun lebih. Awalnya aku pasti demam dan mimpi buruk—aku ngompol sampai SMP, Din. Tapi lama-lama, kalau itu terjadi, aku belajar untuk berpikir bahwa yang tersiksa itu bukan aku, tapi orang lain. Aku jadi terbiasa. Seperti pohon yang selalu kena angin kencang, aku belajar untuk membengkok searah tiupan badai.”

“Tuhan….,” gumam Dinda. Biasanya aku cuma membaca urusan beginian di media massa. Sekarang dijejalkan langsung di bawah hidungku.

“Kalau begitu biar aku yang bilang,” ujar Dinda setelah beberapa saat. Ia tak bermaksud bicara pada Ayah. Apalagi Bang Tareq. Ia akan menunggu sampai ada di sekolah kembali, lalu minta pertimbangan salah satu guru. Yang membayang di kepalanya adalah Pak Affif. Dinda punya perasaan bahwa Pak Guru satu itu pasti tahu tindakan apa yang harus diambil. Detik berikutnya Dinda terlonjak kaget, karena Nana mendadak memekik:

“Jangan berani-berani, Din!”

Gadis itu melompat menghampiri, mencengkeram kedua bahu Dinda dan mengguncangkannya.

“Jangan!” suaranya serak, tak lampias. “Nanti aku yang celaka. Mama juga. Kamu nggak tahu apa yang bisa dilakukan oleh…olehnya. Kalau marah, dia bisa kejam sekali. Lagian… Lagian aku mau lanjut sekolah. Rencanaku, aku akan berangkat ke luar negeri untuk kuliah. Aku ingin ambil jurusan fotografi. Bennington College, Vermont, Amerika, mungkin. Sekolahnya nggak besar, tapi aku pernah baca bahwa musim gugur di negara bagian Vermont itu indah sekali. Aku ingin lihat daun-daun jadi merah, dan gugur bertimbun-timbun. Atau mungkin aku akan ke Sydney… nggak tahulah, pokoknya keluar dari sini. Dan aku akan minta biayanya pada…. pada setan itu. Pokoknya, kalau aku diterima di sana, setelah lulus, aku nggak akan pulang lagi ke Indonesia.”

Dinda terperangah. Apa betul yang didengarnya tadi? Nana hendak menukar penderitaannya dengan biaya kuliah beberapa tahun di negeri orang??

“Na, kamu waras?” gagap Dinda. “Serius kamu mau biarkan saja…ugh…orang itu terus menerus melakukan itu padamu??”

“Aku sudah lama rencanakan ini, Din,” pipi Nana memerah, suara bergetar menekan rasa takut campur harap-harap cemas. “Please, jangan rusakkan rencanaku. Kau lihat nanti, aku akan memotret untuk the National Geographic.” Nana mengucapkan nama majalah terkenal itu dengan mata berbinar. Dinda tergugu. Tekadnya yang sudah bulat untuk menemui Pak Affif, jadi melempem lagi.

Nana menarik tangan Dinda. Menggenggamnya.

“Janji ya Din, jangan bilang siapa-siapa,” Nana memelas. “Kita bisa kuliah sama-sama di Bennington. Di sana ada jurusan Desain. Kamu pasti suka Bennington. Lihat, lihat….” Nana tergesa merogoh saku. Sekali lagi membuka galeri teleponnya. Memperlihatkan serangkaian foto sebuah gedung besar bergaya kolonial yang dikepung pohon-pohon poplar berdaun kuning.

Cantik sih, pikir Dinda. Tapi ini edan.

“Kamu….” Dinda menelan ludah. “Na, waktu–aduh–waktu kamu kelas dua SMP itu… waktu kamu terlambat…. apa yang terjadi?”

“Nggak ada. Dia kasih aku satu sloki minuman entah apa. Pahit asin nggak karuan. Setelah minum itu aku datang bulan, banyak sekali,” kata Nana datar. “Aku dirawat di Rumah Sakit, dapat transfusi dua labu gegara banyak kehilangan darah.”

Dinda menelan ludah lagi.

“Ibumu bilang apa?”

“Mama bilang ke semua orang bahwa aku punya kista di ovarium. Menurut Mama, itu yang bikin menstruasiku abnormal banyak,” suara Nana yang tenang dan datar itu mengerikan. Dinda merasa bulu romanya meremang. Dia komat-kamit berusaha mengatakan sesuatu. Tapi gagal. Dinda hanya bersandar putus asa ke lemari di bawah wastafel.

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Delapan Belas

“Aku nggak tahu harus ngomong apa,” akhirnya keluar dari celah bibirnya. Nana menyeringai. Mendorong kaca matanya kembali ke puncak hidung.

“Kamu memang nggak usah ngomong apa-apa,” katanya. Seringainya perlahan berubah menjadi sebuah senyuman tulus. “Terima kasih ya, Din. Aku lega sekarang, bisa bercerita sama kamu kayak gini.”

Dinda menarik napas.

“Oke.”

Sunyi sesaat. Ratusan pikiran berkecamuk dalam benak Dinda. Separuh jiwanya terbakar keinginan membalas, tak sudi membiarkan sahabatnya terus menerus jadi korban. Separuh lagi terkulai, ingin ikhlas, ingin membiarkan Nana meraih impian kuliah di benua lain. Tapi bagaimana mungkin Dinda diam saja? Membiarkan sebuah kejahatan terjadi, artinya sama saja dosanya dengan melakukan kejahatan itu sendiri, bukan?

(Bersambung ke Bagian Dua Puluh)

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *