~ Tipe goweser ngerujak bareng lalu pulangnya mencret bareng, nggak ada, Bwang?
Sepeda menjadi tren akhir-akhir ini. Entah kapan berakhir. Banyak orang mendadak jadi goweser. Tua muda turun ke jalan di akhir pekan, mengayuh pedal.
Sebuah hal yang positif sebenarnya karena makin banyak orang bersepeda, polusi jadi berkurang. Dan ini berarti bumi bakal makin sehat walafiat.
Semoga saja tren ini masih lama berakhir—kalau bisa jangan berakhir. Ya, walaupun yang bersepeda rata-rata untuk ajojing demi instastory, nggak pa-pa, yang penting (sekali lagi) polusi berkurang.
Jadi, selama tren bersepeda ini berlangsung, LSB alias Lembaga Studi Breedie melakukan survei tersembunyi yang seperti biasanya, tidak terencana, tidak layak dipercaya, dan tidak didanai oleh donatur mana pun.
Survei LSB ini menyigi tipe-tipe kelompok pesepeda atau goweser. Kami lebih fokus kepada kelompok atau kawanan karena tipe-tipe pesepeda sudah banyak diulas orang.
Hasilnya gimana? Ya, seperti yang sudah kamu duga sejak awal, tak terlalu mengejutkanlah. Kami yakin kamu sudah pada tau hasilnya.
Walaupun begitu, hasilnya harus dipampang di sini, supaya tak ada dusta di antara buya dan meuruwa.
Tanpa berbelit-belit lagi, berikut ini tipe-tipe kelompok pesepeda berdasarkan survei yang cuma terlaksana kurang dari sepekan:
Goweser Kantoran
Biasanya ini orang-orang masih satu kantor. Nyepedaan cuma akhir pekan. Kalau bukan Sabtu, ya, Minggu, karena liburnya mereka tok cuma dua hari itu doang.
Setelah “digembok” selama lima hari di kantor, mereka jenuh dan pelariannya—salah satunya—dengan bersepeda.
Tak ayal, ketika berada di jalan mereka pun riang gembira. Bagai anak musang mencari buruan.
Sering berhenti hanya untuk sekadar selfie massal. Lokasinya random, bahkan di depan pajak ikan pun jadilah.
Kelompok ini biasanya “dikomandoi” seorang tetua yang sudah senior dalam urusan gowes. Biasanya jabatan di kantor bagian personalia.
Tapi—maaf—yang namanya orang tua pegang komando, kadang tak peduli kalau ada anggota kawanan yang tertinggal. Lebih-lebih lagi anggota itu masih muda.
Saat komandan sudah tiba di Simpang Mesra, seorang anggota—kebetulan ibu-ibu yang baru pertama gowes—masih megap-megap di Lampu Merah Lamprit.
Tak hanya seorang, seringkali banyak anggota kawanan yang tertinggal. Makanya rombongan ini banyak berhenti demi kemesraan kebersamaan.
Baca Juga: Bersepeda Tanpa Alasan, Sebuah Langkah Progresif Menikmati Hidup
Komandan pun terpaksa mengalah, sambil berdeham, dan mengirim senyum simpul penuh kuasa.
Speed rata-rata kelompok ini bervariasi karena kebanyakan berhenti. Padahal, komandan telah memilih rute jarak dekat berujung ke destinasi yang beraroma instastory alias yang ada pemandangannya.
Emang siapa juga yang mau gowes ke tempat sampah, yakan?
Anti Tipis-tipis
Ini kebalikan dari kelompok pertama. Seperti Neptunus dan Uranus. Jika yang satu lebih menitikberatkan kekompakan dan keimanan, klub anti tipis-tipis memuliakan prestasi dan hedonisme.
Bagi mereka, jarak gowes mesti di atas 100 kilometer. Di bawah itu, lemah. Sebagian besar dari mereka memang sangat berpengalaman bersepeda. Beberapa malah atlet.
Jadi bayangkan sendiri bagaimana ganasnya kelompok goweser ini. Di klub ada aturan tak tertulis: jangan jadi pecundang.
Kalau tak sanggup gowes cepat jarak jauh, lebih baik pulang kasih makan lele.
Meminjam istilah Pak Ndul, mereka ini lebih sepeda daripada sepeda itu sendiri.
Karena tergolong pro, sepeda yang dipakai dan semua aksesoris yang melekat di tubuh mereka, mahal dan ori. Termasuk jersey. Tak berlaku istilah KW di sini. Gengsi, bos.
Kalau suatu hari kamu ketemu rombongan ini di jalan, buka lubang hidungmu lebar-lebar dan coba hidu. Pasti yang tercium bukan amis keringat melainkan bau uang.
Layaknya peserta Tour de France, klub ini mempunyai tim porter yang tugasnya berbeda-beda. Ada seksi konsumsi, mekanik, pubdok, dan seksi sekali. Kalau ada anggota yang cidera tinggal di-loading atau diangkut dengan mobil.
Klub Bersejarah
Ini kelompok pesepeda yang berkumpul dalam sebuah klub yang sengaja dibuat. Bisa jadi awalnya cuma beberapa orang, lambat laun bertambah jadi banyak.
Makanya, dari segi histori, klub ini kaya sejarah. Di logonya tercantum tahun berdiri, since tahun xxxx. Bahkan ada AD/ART segala.
Mereka juga kerap melakukan aksi lintas daerah. Jika ada event di daerah yang jauh, klub akan mengirim perwakilan untuk berpartisipasi.
Tugas utama partisipan adalah mengenalkan klub sedangkan tambahannya menjaring prestasi.
Lazimnya klub tentu ada aturan, dan aturan ini dibuat tergantung selera para senior. Tentu tujuannya untuk kekompakan bersama.
Satu hal mencolok dari klub ini adalah koleksi jersey-nya. Sejak berdiri tak terhitung berapa sudah jersey yang dibuat. Tiap tahun ganti. Bahkan kadang-kadang ada logo sponsor.
Sepintas, klub ini dikelola secara profesional. Ada iuran anggota, ada medsos, bahkan tempat nongkrong resmi.
Masuk klub tak bisa sembarangan. Bukan diospek, sih, tapi klub ini punya tradisi terhadap anak baru.
Sekalinya gowes, rute yang dipilih sangat menantang plus menyerempet bahahahayya. Tujuannya supaya anak-anak (baca: anggota klub) mendapatkan pengalaman paling mengesankan selama bersepeda seumur hidupnya.
Tapi kalau kamu masuk klub ini, Bree, sebenarnya kurang asyik. Ketemunya sama orang-orang yang sudah uzur.
Pengalaman mereka jelas banyak, tapi kamu kan ingin bersenang-senang dengan sepeda. Bukan mendengar cerita orang-orang tua yang telah mengayuh sepeda ke mana-mana.
Pengayuh Kagetan
Ini pesepeda-pesepeda yang baru suka bersepeda selama corona ini. Daripada bengong di rumah, goweslah mereka.
Biasanya, jumlah awal paling banyak lima orang. Isi kelompoknya berasal dari lingkaran pertemanan satu komplek, satu lorong, atau satu sekolah.
Pokoknya lingkaran-lingkaran sempitlah.
Entah karena corona mereka menganggur atau aseulinya memang menganggur, gowes dilakukan saban hari. Semua rute dicoba lewati sampai bosan.
Sampai memory smartphone full sama foto jari-jari sepeda.
Bagi mereka, bersepeda tak perlu menghitung teknis. Pokoknya kayuh saja. Tak perlu mengecek ban, rantai, dan sebangsanya.
Kalau kaki kebas dan jantung mau copot, paling menepi di pinggir jalan, ambil napas sebentar, dan kayuh lagi. Sesimpel itu.
Tak jarang, kelompok ini hanya bertahan beberapa bulan. Karena setelah mereka hitung-hitung, ternyata lebih seru main futsal ketimbang bersepeda.
Bonus (pesepeda tunggal)
Ini sebenarnya tak masuk hitungan karena ia tak tergolong ke dalam kelompok mana pun.
Ini goweser yang entah betul-betul menerapkan aturan jaga jarak atau memang tak diterima di klub mana pun.
Bagai jomblo bertahun-tahun, gowesnya selalu sendiri. Di rute-rute yang kadang-kadang sama karena kalau kejauhan bocor ban di tengah gunung nggak ada yang tolong.
Goweser tipe ini sepertinya tidak pernah tertarik masuk gerombolan sepeda.
Paling kalau bergerombol, kawannya tak lebih dari dua. Dan ini terjadi setahun sekali menjelang hari raya.
Baginya, sepeda cukup dinikmati sendiri tak perlu mengajak orang lain. Bergembira dengan sepeda sendiri di jalur sepi—yang cuma diisi suara burung dan ranting pohon—adalah kenikmatan yang tiada taranya.
Baca Juga: Bau Konspirasi di Balik Meme Pesepeda yang Memborong Jalan
Lagipula, dengan bersepeda sendiri, dia bebas menentukan ritme. Tak perlu berdiskusi dengan orang lain soal rute.
Berhenti di mana suka, pergi ketika ingin, dan pulang ketika tubuh keletihan karena tulang-tulang telah ngilu.
Inilah beberapa tipe kelompok goweser yang terpantau oleh tim LSB dari jarak jauh dan dekat selama musim semi corona. Kami ingatkan lagi bahwa survei ini tidak dipungut bayaran dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Bagi kamu yang tidak termasuk ke dalam kelompok pesepeda dalam list di atas, jangan bersedih, Bree. Mungkin ini saatnya kamu berdiskusi dengan sepedamu, kalian akan masuk ke kelompok mana?
Silakan sebar hasil survei ini, mana tau ada sodara-sodarimu yang membutuhkan informasinya, ya kan?
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )