Sahur Terakhir Bersama Smartphone Cina

Aku sengaja harus memuji smartphone Cina ini walaupun dia memang kalah kelas dibandingkan smartphone-smartphone warisan Bang Steve Jobs.

Breedie sahur stories: Smartphone Cina

~ Apa yang terjadi bila alarm itu disambungkan ke toa meunasah?

“Kriiiiiiing!” Alarm smartphone buatan Cina yang kusetel sebulan sebelumnya dengan label pengingat “Sahuuuurr” yang berbunyi seperti suara jam weker klasik, menggetarkan seisi rumah pada dini hari.

Ini sahur terakhir Ramadan. Selama 29 sahur sebelumnya, HP Cina itu setia membangunkanku untuk menyantap sahur.

Bukan tak beralasan aku memilih suara jam jadul sebagai alarm. Aku menyukai bunyinya yang lantang. Bunyi yang mampu membangunkanku seketika itu juga.

Suaranya memanglah berisik dengan level gangguan yang bisa dikatakan mencapai 98 persen. Namun, karena persentase kebisingan itulah, aku sangat mengandalkan alarm smartphone ini.

Aku sengaja harus memuji smartphone Cina ini karena dia telah berjasa banyak dalam hidupku. Oke, dia memang kalah kelas dibandingkan smartphone-smartphone warisan Bang Steve Jobs.

Akan tetapi yang kurasakan smartphone ini sangat powerfull dengan berbagai fitur maksimum. Sedikit banyak hampir sama dengan telepon-telepon cerdas dari jenama berlogo apel digigit itu.

Aku bahkan yakin hampir semua masyarakat kelas menengah ke bawah umumnya menggunakan smartphone yang kugunakan.

Kecuali mereka-mereka yang bercita-cita menjadi seorang sultan. Aku nggak bilang mereka halu tapi setidaknya mereka harus menerima kenyataan bukan menolaknya.

Baca Juga: Apa yang Harus Disiapkan Menyambut Puasa?

Sahur terakhirku bersama keluarga tidaklah istimewa. Masih seperti biasa, berbekal lauk pauk sisa bukaan tadi magrib dengan kondisi apa adanya.

Ikan asin kering masih tersisa beberapa. Telur bulat sambal lado kiriman mertua masih tersimpan rapi dalam kotak rantang makanan.

Alhamdulillah, dengan antusias kami menyantapnya sebagai pengganjal perut menyongsong puasa yang tinggal sehari lagi.

Sebelum berlanjut ke paragraf selanjutnya, izinkan kuucap terima kasih tak terhingga untuk ibu mertua yang telah sangat memahami keadaan ekonomi saat ini.

Telur sambal lado kiriman beliau menjadi berkah tersendiri dalam mengisi relung-relung hati kami.

Tiga bulan sudah kondisi ekonomi global dunia drop. Pandemi corona membanting semua kurva perdagangan menuju garis sumbu horizontal.

Ekonomi-ekonomi tidak jadi meroket karena roketnya mesti diistirahatkan dulu di gudang penyimpanan. Begitu juga kondisi keuangan yang sempat lepas landas, kini semuanya telah landing dan kembali ke hanggar.

Namun, berkah Ramadan Karim ini tetap sangat terasa. Di sisi lain, ada perasaan duka yang bercampur suka.

Duka yang kurasakan karena Ramadan segera meninggalkan kita. Aku teringat kata ibuku, “Maksimalkan setiap Ramadan yang kau temui, karena belum tentu ke depan masih bisa bertemu dengan Ramadan.”

Hal ini juga yang kutanamkan kepada anak-anakku untuk dapat memaksimalkan Ramadan dengan berpuasa full sebulan lamanya.

Mereka pun kerap kutanamkan motto bahwa lebaran adalah hari kemenangan bagi yang berpuasa sebulan penuh. Ini menjadikan mereka termotivasi untuk menjadi pemenang.

Perasaan suka yang kurasakan karena anak-anakku berpuasa sebulan penuh. Padahal ketika aku seumuran mereka masih berpuasa not-not, cot uroe buka kanoet.

Baca Juga: Sahur Stories: Takjil

Alarm smartphone Cina tadi hanya membangunkanku dan istri. Tidak ketiga anakku.

Ketika aku membisikkan sahur di telinga mereka yang keluar adalah tangisan yang memekakkan telinga dari si bungsu.

Hampir sama lantangnya seperti suara alarm smartphone Cina. Tapi setelah itu dia tertidur lagi. Abang dan kakaknya juga belum bangun.

Kesabaranku sirna. Sempat terbesit di pikiranku untuk membiarkan mereka berpuasa kosong.

Tapi aku yakin, si bungsu yang umurnya lima tahun pasti tak mampu bertahan. Pastinya menjelang siang ia akan mencari segala sesuatu yang dapat diminum dan dimakan.

Akhirnya kuputuskan untuk membangunkan mereka lagi. “Last call, last call, last call … sahur sekarang, lusa lebaran.”

Teriakanku ini mampu membangunkan si bungsu tanpa mewek. Setengah sempoyongan ia pun berinisiatif membangunkan kakak dan abangnya.

“Laskal, laskal, laskal, Kak … Bang … sahul sekalang, lusa lebalan,” ujarnya dengan cadel yang sempurna.

Meskipun sempoyongan dan rasa kantuk yang luar biasa akhirnya mereka bangun dan menyantap sahur dengan lauk kiriman sang nenek. Sungguh sahur terakhir yang penuh berkah.

Terima kasih smartphone Cina yang setia membangunkanku selama sebulan ini. Sampai jumpa puasa tahun depan.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *