~ Nggak papa panjang asal delapan
Malam pertama Ramadan, saya dan istri memantapkan “resolusi” bahwa kami akan salat Tarawih di Masjid Istiqamah. Ini masjid besar yang berada dalam kompleks PT Arun. Alasan pertama memilih masjid itu karena rakaat Tarawihnya cuma delapan.
Ini kali pertama saya menyambangi masjid dalam kompleks yang dimiliki swasta tapi terbuka untuk umum itu. Tahun lalu, ustaz kondang Abdul Somad pernah ceramah di situ.
Saya pun menyiapkan diri dengan sarung, peci, dan singlet yang dipadu baju koko tentunya.
Masjid Istiqamah tak jauh dari rumah kami di bilangan Batuphat, Lhokseumawe. Ada yang tau Lhokseumawe, eh maksudnya Batuphat? Kalau berjalan kaki paling cuma 15 menit. Tapi malam itu kami memilih naik jet darat, cuma dua detik langsung nyampe.
Pelataran masjid masih sepi. Lampu-lampu di beranda masjid memendarkan cahayanya hingga ke halaman. Pohon-pohon di sekitar menambah kesyahduan first night Ramadan.
Kami termasuk yang paling cepat datang. Di parkiran telah menunggu para satpam perusahaan yang bertugas mengatur parkir agar rapi. Setiap kendaraan diparkir sesuai kasta. Motor sesama motor, mobil dengan sebangsanya. Karena jet yang kami tumpangi ukurannya tak muat tempat parkir, terpaksa saya lipat masukkan kantong.
Baca Juga: Berburu Malam Lailatur Qadar atau ‘Lailatul Bakar’?
Dari parkiran kami berpisah menuju kran tempat wudu masing-masing. Karena ini baru pertama kali ke situ, saya mencoba kran wudu di luar, dekat beranda kanan masjid. Pengen tau air di Masjid Arun ini apa beda dengan masjid-masjid di luar sana. Awalnya saya berharap air di masjid ini ada manis-manisnya kayak Le Mineral. Ternyata sama. Saya kecewa.
Di beranda masjid, ada petugas yang menanti; memperingatkan setiap jamaah untuk memakai masker. Untung saya membawa masker berlogo ‘B’ hasil orderan dari Cek Nas tahun lalu.
Beberapa bocah yang tidak bawa masker dicegat tak boleh masuk dulu. Petugas masjid kemudian membagikan masker bedah sekali pakai. “Besok jangan lupa pakai masker, kalau tidak salatnya silakan di luar saja,” ujar pak petugas dan para bocah itu cuma cengengesan aja. Untung tak ada yang nyeletuk, “Corona udah pulang ke China, Pak.” Bisa berabe.
Masjid Arun ini termasuk besar. Ada satu menara di sisi kiri. Tingginya bersanding dengan beberapa pohon palem. Kalau siang, masjid ini memang terlihat asri.
Di setiap dinding masjid terbingkai kaca tembus pandang. Tanda pengatur saf terlihat hingga ke beranda. Sepintas, masjid ini bersih. Tak tampak sampah berceceran di luarnya.
Begitu membuka pintu, hawa dingin langsung menyergap…Brrr! Ternyata, hawa ini berasal dari beberapa AC floor standing yang berdiri tegak di kedua ujung saf. Ditambah AC Milan di dinding depan dan kipas angin di setiap tiang (tapi malam itu agaknya dimatikan). Semuanya menyalurkan hawa yang menusuk kalbu. Adem sekali rasanya.
Area tengah masjid agak lapang karena tak memiliki tiang. Kesan luas kian terasa. Apalagi jika mendongakkan kepala ke lengkung kubah, rasanya tubuh makin kecil saja.
Masjid itu juga memiliki lantai dua di sisi kiri dan kanan. Tapi saya yakin malam itu tak ada jamaah yang bakal naik ke sana. Walaupun malam pertama tak mungkin rasanya jamaah bakal membludak.
Hingga beberapa menit menjelang azan Isya, belum banyak jamaah yang datang. Selesai salat Tahiyatul masjid, saya berganti posisi agak tengah. Tujuannya, berlindung dari godaan terpaan hawa pendingin ruangan yang terkutuk menyebarkan suhu 24 derajat Celcius. Berdiri di dekatnya saya tak kuat. Ketika semburan itu menyentuh kepala seperti diguyur segumpal gletser (macam pernah aja diguyur gletser).
Bila mengambil posisi agak di tengah, jangkauan AC agak jauh. Namun, dinginnya tetap menyengat karena lantai-lantai keramik masjid telah menyerap semua hawa. Beruntung bagi yang membawa sajadah karena saat menjejakkan pantat, urat-urat di area bawah itu seperti kena setrum.
Ah, sungguh raga ini sangat kampungan sekali.
Baca Juga: Mati Lampu dan Harga Daging Meugang Pertanda Puasa di Aceh Telah Tiba
Setelah iqamah barulah jamaah beramai-ramai masuk. Kompak sekali, datang berbarengan. Saf penuh hingga ke kain pembatas jamaah perempuan. Saf tetap rapat tanpa jarak.
Usai isya, pengurus masjid menggelar seremoni singkat malam pertama ramadan. Ada sambutan dari petinggi perusahaan, pesan mengikuti protokol kesehatan dan imbauan tatacara salat Lail. Mulanya, saya kaget ketika jamaah Lail yang disebut bukan Tarawih. Apa jangan-jangan salah masjid ni? Ternyata Qiyamul Lail maksudnya salat malam, dan tarawih adalah salat malam yang dikerjakan khusus di bulan Ramadan.
Seorang pejabat tinggi perusahaan jadi penceramah malam perdana sebelum salat Tarawih ditegakkan. Sebelum berpidato, si bapak itu menyemprotkan hand sanitizer ke mikrofon masjid. Si bapak berceramah tentang keutamaan Ramadan. Beliau juga menyinggung jamaah agar menaati prokes.
Setelah ceramah, salat tarawih pun dimulai. Sejak rakaat pertama, imam membacakan ayat yang lumayan panjang, dimulai dari juz pertama Alquran. Rakaat pertama dan kedua berjalan lancar tapi rakaat-rakaat selanjutnya posisi berdiri mulai sulit. Ternyata, berdiri agak lama di ruangan ber-AC menimbulkan sedikit masalah. Saya mencoba sekuat tenaga tak memedulikan dingin yang menerjang dan mencoba fokus ke bacaan ayat Teungku Imam.
Namun, ada hal menggelitik di setiap rakaat saban kali imam mulai kepanjangan membacakan ayat. Terdengar suara-suara batuk dan dehaman yang seperti disengaja dari beberapa sudut. Ritme itu berulang hingga masuk Witir. Agaknya, beberapa jamaah memberikan kode supaya imam segera menyudahi bacaan ayat.
Teungku Imam sepertinya paham kode itu. Begitu batuk-batuk mulai terdengar, beliau langsung menyudahi ayat dan Allahu Akbar memimpin jamaah mengambil posisi rukuk. Sungguh sebuah kolaborasi yang ciamik. Coba kalau beliau membalas batuk itu dengan batuk?
Salat Witir digelar tiga rakaat sekali salam. Selesai Witir jamaah berdoa masing-masing dengan suara sirr atau dipelankan. Setelah itu jamaah dianjurkan pulang karena diimbau tidak berkumpul lagi setelah salat.
Sungguh lega rasanya, Tarawih malam pertama berlangsung mulus, tanpa diselingi kentut, kebas, keinginan untuk berak, kram, dan berbagai gangguan kecil mendadak lainnya. Dua detik setelah keluar dari masjid, saya dan istri pun tiba di rumah. Ternyata, tarawih di masjid ber-AC itu enak. Apalagi kalau pulangnya naik jet.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )