Suatu masa karet gelang menjadi benda yang pernah saya idamkan memilikinya dalam jumlah banyak.
Anak 90-an tentu paham akan kegunaan benda tersebut selain untuk mengikat sesuatu pada tempatnya. Yap, bermain karet.
Penyebab saya kesengsem bukan maen ingin memiliki banyak gelang karet gara-gara seorang anak tetangga yang meditnya juga bukan maen.
Sore itu, di bawah pohon keulayu milik tetangga tempat biasa kami bermain galah, digelarlah permainan karet.
Anak-anak kampung saya di biasa menyebut karet gelang itu ‘geutah’ karena kontruksinya yang kenyal mirip getah. Terdengar kurang nyambung tapi biarlah.
Di dalam kosakata Melayu, kata getah juga berarti sama: karet gelang.
Cara main geutah ini gampang dan banyak versi. Yang sering digelar adalah menembak tumpukan karet dari jarak beberapa meter.
Masing-masing pemain menyumbang karet dalam jumlah tertentu yang disepakati. Karet yang terkumpul ditumpuk di tengah lingkaran kecil.
Lalu, satu per satu pemain bergiliran menembak tumpukan dengan karet gelang yang berukuran lebih besar. Namanya kacok atau gacok (joki).
Bila tembakanmu terukur sudah pasti tumpukan karet bakal terburai. Nah, karet-karet yang terpental keluar dari lingkaranlah yang menjadi milik si penembak.
Kalau banyak sudah pasti ia untung, begitu juga sebaliknya.
Sepintas urusan menembak ini gampang. Iya kalau jaraknya cuma dua meter. Karena anak-anak mudah bosan dan suka tantangan, seringkali jarak yang disepakati mencapai 10 meter.
Sore itu saya ingin sekali main. Tapi jumlah karet gelang masih kurang. Setelah “mengemis” ke yang lain, terkumpullah beberapa. Tapi masih kurang juga. Kurang satu, hadeuhh, tanggung benar.
Mata saya tertuju pada anak tetangga. Saya awalnya ragu meminjam karena tahu benar tipikal anak ini. Ah, daripada tak bisa main, saya nekat saja minta satu.
Dia berbaik hati langsung ngasih. Tapi, eh, astagfirullahalazim, belum sampai karet gelang berpindah ke tangan saya dia gercep tarik lagi. Karet itu ditempel ke mulutnya dan digigit.
Karet gelang yang putus itulah yang diberikan kepada saya. Sontak saya menolak. Emang saya cowok apaan dapat karet gelang putus.
Insiden yang menyakitkan. Saya kecewa bukan main diperlakukan begitu rupa oleh tetangga sendiri.
Namun, kejadian sore itu menguatkan tekad saya untuk mengumpulkan karet gelang sebanyak-banyaknya. Supaya momen serupa tak terulang lagi di kemudian hari.
Yang terjadi adalah hal itu tak pernah terjadi. Mengumpulkan karet gelang ternyata bukan perkara gampang. Saya harus merelakan uang jajan terpotong demi karet gelang.
Akhirnya, tekad itu memang tak pernah bulat. Saya sedih tapi di sisi lain saya lega. Duit jajan yang sebelumnya sudah saya anggarkan untuk mi krip-krip, asamkana, dan snack-snack lainnya, kembali lagi ke pos semula.
Emang karet gelang bisa bikin kenyang?
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )