Uang Bangunan Pendidikan, Ada tapi Nirguna

Kenapa harus ada uang bangunan? Ini kan sekolah negeri bukan swadaya. Siswa ke sana untuk belajar bukan arisan.

Ilustrasi Ruang Kelas. (Breedie/Freepik)

Saya tak habis pikir, sejak di bangku SD hingga kuliah ditipu mentah-mentah oleh sistem pendidikan. Siapa si penipu itu? Uang bangunan.

Saya tak paham kenapa dari dulu uang bangunan itu terus ada dan bertengger bersama sumbangan pembinaan pendidikan yang disingkat SPP.

Uang bangunan selalu ada tiap masuk sekolah. Masuk SD pasti ada uang bangunan. Tapi hingga saya tamat, tak ada juga bangunan berdiri.

Saya tak tahu ke mana uang itu dipakai. Lagipula, bagi anak SD, yang penting kan bisa jajan. Mana penting mikir hal-hal begituan. Nah baru sekarang terpikirkan, sudah 30 tahun saya kena tipu.

Masuk SMP juga begitu. Ya, walaupun situasi sudah sedikit berbeda. Uang bangunan tetap ada. Yang beda itu adalah skandalnya. Skandal yang saya paksa kaitkan dengan uang bangunan, tema tulisan ini.

Suatu kali, ada guru olahraga (yang terkenal genitnya minta ampun sama siswi-siswi cantik) yang menyuruh kami iuran. Kata dia, tujuan pertama iuran itu untuk konsumsi saat kami bikin olahraga di luar sekolah.

Ya, si guru itu suka ngajak siswa-siswinya tamasya sebentar ke luar sekolah di pengujung caturwulan. Katanya tujuan tamasya semata untuk rileks.

Siswa tentu pada ikut, walaupun kami tahu si guru sebenarnya mau bersenang-senang sendiri. Saya tak usah ceritakan ada pelecehan seksual, zaman itu topik tersebut belum seheboh sekarang.

Ternyata, ketika tamasya, uang konsumsi tadi tak dipakai. Kami tetap harus jajan dengan uang sendiri. Kata guru olahraga itu, nanti saja dipakainya. Dengan polosnya, kami angguk kepala saja.

Waktu itu kami tak kenal yang namanya suap. Badan pemberantas pungli juga belum dibentuk.

Lanjut cerita, uang itu pun tak tentu rimba. Hingga kemudian, si guru tadi itu kembali mengumumkan hal serupa.

Katanya, uang itu akan digunakan untuk membuat bangku-bangku di sekolah kami. Tapi, tambah dia, karena dananya belum cukup, siswa perlu iuran lagi.

Kali ini, si guru membawa-bawa nama kepala sekolah untuk meyakinkan kami. Sang kepsek, katanya, setuju.

Saya lupa berapa total uang yang diminta kumpulkan lagi. Tidak ada pengumuman tentu saja. Apalagi berharap informasi detik seperti di plang proyek rabat beton di jalan-jalan kampung.

Yang pasti ketika hal itu saya sampaikan ke rumah, orang tua saya protes. Wajar mereka menanyakan itu karena saya sudah membayar uang bangunan.

Besoknya pas ke sekolah, beberapa teman saya juga mengalami hal serupa. Kami pun sama-sama heran akhirnya tapi tidak tahu protes ke mana.

Seingat saya, proyek si guru olahraga itu tadi gagal. Entah karena diintervensi kepsek atau bagaimana, saya tak paham perpolitikan di kantor dewan guru. Saya pikir, kepsek tentu malu namanya dicatut si guru olahraga.

Tapi setelah itu suasana akhirnya jadi adem ayem. Dan si guru olahraga tadi, malah tenang saja melenggang hingga akhir masa.

Saya pikir situasi tadi ada kaitannya dengan uang bangunan di sekolah kami. Coba saja uang bangunan yang dikumpulkan siswa benar-benar dipakai untuk itu. Tak bakal begitu ceritanya.

Lalu, kenapa harus ada uang bangunan? Ini kan sekolah negeri bukan swadaya. Siswa ke sana untuk belajar bukan arisan.

Ketika menginjak SMA, saya terbentur lagi dengan masalah yang sama. Uang bangunan juga tetap ada. Tak ada siswa yang bertanya kenapa uang bangunan dikutip.

Padahal sekolah saya ini di kota, lho. Bagus bangunannya, ada aula, lapangan basket, voli, tempat parkir, kantin, musala, bahkan laboratorium.

Saat itu sekolah saya termasuk bergengsi. Banyak orang tua berebut ingin memasukkan anaknya ke sekolah itu.

Tapi pada akhirnya tetap saja ia menjadi sekolah bagus dengan embel-embel ter: termiskin, karena tetap mengutip uang bangunan.

Dan ketika kuliah, sama saja. Kampus saya tetap menitipkan kata uang bangunan pada slip SPP.

Padahal semua bangunan sudah ada. Tak ada juga penambahan gedung baru. Atau, pemakaian uang bangunan itu untuk membeli kemeja dan sepatu bagi mahasiswa kurang mampu.

Namun, tahun lalu ketika datang lagi ke kampus, saya menemukan gedung baru. Saya senang sekaligus sedih. Senang karena aula lama yang ditopang kayu kini berganti beton.

Sedihnya, bangunan itu berdiri ketika saya tak lagi kuliah di situ. Tega benar kampus saya.

Di titik ini saya paham, penipuan mampu menghilangkan selera makan seketika. Bahkan selera untuk bertahan dengan kehidupan, duh.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *