Di kampung kelahiran saya Matangglumpangdua, Meunasah Timu, air tanah sangat melimpah. Sumur menjadi sumber air bersih yang dipakai mandi, cuci, bahkan menumbuhkan toge.
Ya, toge. Syarat utama menghasilkan toge bermutu baik adalah air bersih. Dan Meunasah Timu merupakan sentral usaha produksi toge terbaik yang disuplai hingga ke Pereulak, Aceh Timur.
Ibu-ibu yang berbelanja di Pasar Inpres Lhokseumawe, mungkin tidak tahu kalau toge yang dibawanya pulang ke rumah dan dimasak tumis itu, hasil produksi dari kampung saya.
Karena air, kampung saya kesohor diam-diam dalam urusan menghasilkan toge bermutu. Di balik itu, saya yakin teman-teman sekampung bahkan keluarga saya tidak pernah mempersoalkan air.
Paling yang kerap menjadi bahan bincang hanya seputar air sawah. Kapan dibuka dan ditutupnya keran irigasi Daerah Aliran Sungai Peusangan, agar airnya masuk dan segera dialirkan ke sawah. Selebihnya, tidak menarik membahas air.
Alasan mereka tidak suka membahas air mungkin karena semenjak lahir hingga dewasa air bersih melimpah.
Mau musim apapun, bahkan kemarau panjang sekalipun, air tetap bisa ditimba dari sumur. Bahkan disedot bergalon-galon air tidak bakal kering juga.
Dulu, sebelum teknologi pompa air masuk ke rumah-rumah warga, kegiatan mandi cukup dengan menimba. Tidak perlu katrol karena sumurnya dangkal.
Bagi anak-anak, aktivitas mandi berubah menjadi ritual buang-buang air. Mak saya sering protes soal ini.
“Aleh kiban cara di manoe, dirumah ie u likot ulee (Entah bagaimana mandinya, air disiram di belakang kepala).”
Mau bagaimana lagi, airnya banyak dan segar. Siraman pertama dilakukan dengan cepat, brum, brum, brum. Setelah sampoan dan sabunan barulah dibilas pelan-pelan.
“Sep trep dimanoe, nyoe hana abeh ie dua neuk meujeng hana puah (Lama kali mandinya, Nggak puas kalau belum habiskan air dua cincin sumur),” protes Ma Cut, tetangga saya, ke anak bujang lapuknya.
Si Bujang tiap sore kena semprot maknya gara-gara kalau mandi selalu lama.
Sumur Ma Cut kerap kami pakai mandi bersama sehabis bermain kasti. Padahal, sumur yang dikelilingi tembok tanpa atap ini satu-satunya sumur yang dipakai keluarga besar Ma Cut.
Di tangan kami, sumur itu berubah menjadi sumur umum. Selain mandi, airnya menjadi pelegas dahaga ketika lelah bermain.
Tak terhitung berapa liter sudah air sumur itu masuk ke perut saya. Air yang diminum tanpa dimasak tidak bikin perut sakit apalagi diare. Karena itulah, air bukan sebuah masalah di kampung kami, hingga sekarang.
Suatu hari, jika Anda jalan-jalan ke pasar dan menemukan toge-toge bagus dan sehat, mungkin saja itu toge dari Meunasah Timu. Toge yang berkecambah tumbuh dengan air yang sama. Air yang saya jeuhak atawa minum sejak kecil.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )