Merajam Mental di Media Sosial, Membully hingga Mati Berdiri

Media sosial seolah menjelma ruang sidang tanpa sekat. Siapa pun dapat menjadi hakim.

Membully hingga mati berdiri

Kalau mendengar nama Lai Xiaomin barangkali benak kita akan terpeleset pikir dan mengaitkannya dengan Xiaomi. Tapi, Lai Xiaomin tak ada hubungannya dengan vendor smartphone China tersebut.

Lai Xiaomin juga bukan merek kulkas. Ini nama seorang bankir top China yang sangat kaya raya dan terkenal. Tapi, bukan fulus ini yang membuat Lai terkenal. Dia terkenal “jenaka” untuk urusan bermain hati dengan perempuan. Lai playboy teranyar yang dimiliki China di era corona sejauh ini.

Tiada tanggung-tanggung, dia memiliki 100 selingkuhan. Layaknya selingkuhan di mana pun berada, mereka dihadiahkan barang. Dalam kasus Lai berupa properti. Tidak jelas apakah semua properti itu berada di lingkungan yang sama, sebuah kompleks khusus yang dirancang Lai untuk “menampung” para selingkuhannya itu.

Sialnya, belum sempat Lai menambah daftar para “boneka berbinya” itu, dia keburu tewas pada 29 Januari 2021 lalu. Dia bukan mati karena kopidnaitin. Bukan juga karena penyakit raja singa atau raja buaya. Bukan juga akibat dari selisih paham dengan perempuan selingkuhannya.

Lai tewas di tangan eksekutor pemerintah China. Dia divonis hukuman mati setelah terbukti korupsi dan bigami atau dalam istilah kasar kiwari: pebinor—perebut bini orang.

Ya, Tiongkok yang dikenal sebagai negara komunis menghukum mati koruptor. Katanya, siapa saja yang kedapatan korupsi sebanyak 3 juta yuan atau sekira enam miliar uang kita, dalam KUHP China, hukumannya vonis mati. Pada praktiknya, korupsi kelas kakap mencapai triliunan Yuan seperti yang dilakukan Lai Xiominglah yang mendapat ketuk palu eksekusi mati.

Negara kita Indonesia tercinta juga menerapkan pidana mati untuk koruptor. Walaupun penerapannya seperti di Tiongkok belum pernah terjadi. Sejauh yang saya ikuti dan ketahui, pidana mati hanya dijatuhkan pada kasus-kasus terorisme dan narkoba. Koruptor kapan? Ya, kapan-kapanlah, Bree.

Ada sih belakangan ini seorang petinggi negara yang bilang bakal menghukum mati koruptor. Tapi keknya sebagai rakyat kita hooh-hooh sajalah, nggak perlu terlalu dipikirkan apakah itu benar atau cuma gombal politik semata.

Vonis mati sendiri merupakan salah satu hukuman paling berat. Human Rights Watch tegas menentang karena menilai hukuman mati melanggar HAM.

Saya mau flesbek agak jauh kalau boleh. Zaman dulu hukuman terberat adalah rajam. Sebagai salah satu bentuk hukuman mati, penerapan rajam saat itu relevan dengan peradaban yang belum maju.

Laman Wikipedia menyebutkan, rajam adalah siksaan dan hukuman mati bagi pelanggar hukum dengan cara dilempari batu. Beberapa literatur menuliskan, prosesi rajam dilakukan dengan cara tubuh si terhukum ditanam berdiri di dalam tanah setinggi dada, lalu dilempari batu hingga mati. Eksekusi digelar di open spaces, disaksikan khalayak. Tidak ada wartawan yang diundang karena saat itu belum ada kantor berita. Begitu juga para youtuber pencari konten demi adsense.

Rajam berbeda dengan hukuman mati lainnya semacam tembak mati, disuntik cairan, atau kursi listrik. Eksekusi rajam prosesnya lebih slow. Si terhukum akan mendapat siksaan pedih berupa lemparan batu yang bertubi-tubi ke arah kepalanya hingga dia wakfuanna.

Baca Juga: Sayangi Jempol, Jangan Typo-kan Hidupmu, Kawan!

Jauh sebelum Islam diturunkan, penerapan hukum rajam sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Orang Nasrani mengenal hukum rajam. Bahkan, dalam kitab Taurat tertuang penerapan hukum rajam untuk kasus perselingkuhan.

Setelah Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad, ada juga vonis rajam untuk tindak pidana pelaku perzinahan. Namun, Islam tak serta-merta menghukum rajam setiap pelaku perselingkuhan ini. Perlu pembuktian di hadapan empat saksi yang bijak dan berilmu.

Menjadi sangat wajar kalau sosok mulia seperti Baginda Nabi bahkan tidak lekas-lekas menghukum seorang pezina dengan rajam, bahkan ketika yang bersangkutan mengakui perbuatannya.

Uniknya, penerapan hukum rajam pertama setelah Islam datang justru terjadi pada kasus perzinahan orang Yahudi di Madinah. Pada waktu itu, Nabi sebagai kepala negara Madinah didatangi sekelompok Yahudi yang meminta menyelesaikan masalah mereka berdasarkan ketentuan di dalam Taurat.

Saat Rasul bertanya, apa hukumannya menurut Taurat, para Yahudi itu menjawab: “kami mempermalukan dan mendera mereka”.

Padahal, ini bukanlah jawaban yang sebenarnya. Tipu muslihat Yahudi itu kemudian terkuak setelah seorang Yahudi yang baru masuk Islam mengatakan, di dalam Taurat pelaku zina dirajam sampai mati.

Setelah dibuka halaman Taurat yang menyebutkan soal vonis itu, barulah para Yahudi itu mengakuinya. “Benar ya Muhammad bahwa dalam kitab Taurat ada ayat rajam”. Maka, dengan bijak Rasulullah memerintahkan rajam tersebut dilaksanakan.

Itu rajam di masa lalu. Bagaimana dengan rajam di masa sekarang, masihkah ada?

Kita boleh menoleh pandang sejenak ke Korea. Di sana ada Choi Jinri, Kpop Idol cantik yang lebih dikenal dengan nama Sulli. Sulli lahir dan besar di kota Busan. Usia 11 tahun, Sulli pindah ke Seoul dan mulai terjun ke dunia entertainment. Karirnya mulai menanjak semenjak masuk ke dalam management SM Entertainment, dan puncak kepopuleran ia raih bersama girl grup f(x).

Sayangnya, nasib baik Sulli tidak berbanding lurus dengan kehidupan pribadinya, yang mengidap serangan panik, fobia sosial, dan outspoken a.k.a blak-blakan. Di dalam dunia hiburan Korea Selatan, blak-blakan hal yang tergolong kontroversial dan menjadi sorotan.

Bisa ditebak kemudian, akibat kepribadiannya itu, sepanjang 10 tahun perjalanan karirnya, Sulli selalu mendapat cemoohan negatif dari para fans. Unggahan-unggahannya di Instagram selalu penuh komentar-komentar menyakitkan.

Kebencian para fans bermula saat hubungan Sulli dengan pacarnya, Choiza mulai terbongkar. Mereka beramai-ramai membully Sulli. Mulai dari kondisi tubuhnya yang kurus dibilang gemuk, pacarnya, hingga gaya busananya. Tak hanya kehidupan pribadi Sulli saja yang dibully, netizen juga mengarahkan serangan ke keluarga Sulli.

Tak puas-puasnya menyerang media sosial Sulli dan keluarganya, netizen juga melempar rumor tak masuk akal soal Sulli memakai narkoba. Padahal Sulli sedang menjalani terapi depresi.

Bukannya tidak melawan komentar nyinyir netizen tersebut, Sulli justru berusaha bijak dan mempertimbangkan nasib si netizen jika dilaporkan ke polisi. Tapi ternyata kebaikan Kak Sulli tidak juga mendapat tempat di hati Netizen. Mereka malah makin menambah serangan. Benar-benar nih netizen Korea.

Akhirnya pada Senin, 14 Desember 2019, Sulli memutuskan mengakhiri hidupnya. Dia bunuh diri dalam apartemennya di Seoul. Sulli memilih mati ketimbang mentalnya makin berdarah-darah. Dia meninggalkan segala glamor hasil kerja kerasnya selama ini.

Sulli diduga menderita depresi akut akibat terlalu banyak bully yang diterimanya di media sosial. Di sini, saya cenderung ingin mengganti kata bully pada kasus Sulli ini dengan rajam. Walaupun harus pakai tanda kutip.

Itu di Korea Selatan Bree, bagaimana dengan lemparan komentar netizen +62 tercinta? Lebih parah, malah lebih terorganisir lagi. Contoh…

Siapa lagi kalau bukan komika favorit Anda dan saya, Bintang Emon, menjadi target sasaran serangan buzzer di media sosial. Pemilik nama asli Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra ini dirajam netizen kubu sebelah setelah mengomentari kasus penyiraman air keras Novel Baswedan.

Serangan bertubi-tubi di bawah kendali buzzer menjadikan Bintang Emon trending topik di Twitter. Tak hanya sekedar “ditampar” dengan sumpah serapah, akun media sosial Bintang Emon pun diretas.

Bahkan sama seperti kasus Sulli, Bintang Emon juga dituding pemakai narkoba hingga ia terpaksa menjalani tes urine pembuktian bebas narkoba secara mandiri karena ketakutan. Lewat podcast Master Deddy ‘Cahyadi’ Corbuzier, Bintang Emon mengakui mentalnya drop setelah dirajam buzzer di Twitter dan terpaksa harus menemui dokter psikiater.

Baca Juga: Media Sosial Alternatif Agar Tetap Eksis

Contoh lain yang masih hangat.

Seperti biasa, setiap jelang HUT RI, Pak Jokowi selalu memakai salah satu pakaian adat daerah. Pada sidang MPR, DPR, dan DPD 16 Agustus 2021 lalu, Pak Presiden Jokowi mengenakan baju adat suku Badui.

Seorang netizen bernama Muhammad Bernie pun ikut mengomentari baju adat suku Badui yang dipakai Pak Jokowi di akun Twitternya. Dan booom, tweet Muhammad Bernie pun viral karena dinilai menghina Presiden dan suku Badui.

Tak perlu menunggu lama, akun Twitter Muhammad Bernie ramai-ramai dirajam warganet +62 dari berbagai kalangan, termasuk pegiat budaya Badui. Saya sendiri sempat membaca beberapa lemparan cuitan warganet ke akun @pawletariat milik Bernie. Mulai dari sumpah serapah, diajak bertemu untuk maksud tertentu. Bahkan…ada yang mengancam bunuh. Duh 🙁

Setelah kena hantaman rajam di media sosial hingga trending topik, akhirnya Bernie harus mengeluarkan pernyataan permintaan maaf terkait cuitannya itu. Tak berakhir di situ, Bernie pun undur diri dari media tempat ia bekerja.

Kedua case ini adalah bentuk rajam gaya baru yang sedang terjadi di banyak tempat sekarang ini. Jika zaman dulu, rajam terjadi secara fisik lewat batu-batu yang melayang ke tubuh si terhukum, sekarang cukup lewat jempol.

Media sosial seolah menjelma ruang sidang tanpa sekat. Siapa pun dapat menjadi hakim. Tergantung banyak atau tidak pengikutnya. Siapa pun dapat memutuskan hukuman apa yang tepat untuk siapa pun yang dianggap telah berbuat “zalim”. Dan, semua boleh merajam.

Namun, ada yang paradoks dari fenomena ganjil tersebut. Belum lama ini kita mendengar ada hakim memutuskan mengurangi hukuman seorang koruptor. Alasan hakim, si koruptor telah mendapat “rajam” dari masyarakat media sosial sebelum divonis bersalah. Si koruptor dianggap sudah cukup menderita, dimaki, dan dihina oleh masyarakat. Padahal, si koruptor akhirnya terbukti bersalah menggelapkan dana bansos.

Sebagai maling besar, dia tidak hanya mencuri uang rakyat tetapi juga berkhianat atas amanah yang telah diberikan kepadanya. Apakah salah jika kemudian dia dirajam beramai-ramai di media sosial?

Apa jangan-jangan pak hakim Yth belajar dari kasus Sulli? Ketimbang si maling bunuh diri, lebih baik hukuman direduce. Kalau begitu pak hakim Yth, koruptor sebaiknya dibebaskan sajalah. Alih-alih dibui, bikin penjara makin sesak, para penyintas korupsi itu sebaiknya diberikan fasilitas terbaik demi mencerdaskan bangsa ini dari bahaya laten korupsi.

Dengan begitu kasus korupsi memang akan terus bertambah tapi koruptor akan berkurang karena semua sudah jadi penyintas. Rajam di media sosial pun akan berkurang dan kita semua akan bahagia karenanya. Seperti bahagianya Tinky, Dipsy, Laa-Laa, dan Po di taman Teletubbies…berpelukannnn!

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *