~ Di pantai, menyeruput kopi racikan sendiri, menatap para gadis ber-selfie, aduhai …
Jika kau ke Matangglumpangdua, dari perempatan yang ada lampu merahnya, beloklah ke utara. Sekira lima ratus meter, kau akan sampai di rumahku. Jika kau tidak mampir, susuri saja jalan aspal.
Sekira entah berapa kilometer lagi, aku tak pernah hitung, mungkin berkisar dua puluh menit, itupun tergantung kecepatan kau melaju, kau akan sampai di mana matamu bertemu lahan tambak. Itu adalah kawasan pesisir Kecamatan Jangka, Bireuen.
Tak jauh lagi, kau akan melewati lapangan sepak bola sebelah kiri. Ke depan lagi ruko-ruko berjejeran menyambut kedatanganmu.
Orang-orang yang kebetulan melihatmu, barangkali memindai siapa dirimu, sebagian lagi tak ambil peduli.
Di ujung ruko sebelah kanan, sebelum sebuah balai, ada belokan. Masuklah sebentar, melewati jembatan, tak seberapa jauh lagi kau akan tiba di pantai.
Beberapa anak muda dipastikan akan menghadangmu. Kau kasih duit saja, mereka pengutip tiket masuk.
Silakan meminggirkan kendaraan di mana saja. Bisa ke depan lagi agak dekat mulut kuala, atau sebelah kiri, itu memang lahan khusus parkir.
“Kau cerewet sekali, macam nona navigator gugel mep, diam saja.” Ini protes kawanku untukku.
Sore itu, aku dan seorang kawanku menyusuri jalan di bawah pohon pinus yang tumbuh menjulang dan lebat, merindangkan pinggiran Pantai Kuala Jangka.
Sepanjang jalur beton yang kami lewati, sebelah kanannya, kursi-kursi di bawah atap daun rumbia tersusun rapi.
Sedangkan sebelah kirinya, berderet panjang kedai-kedai pengisi perut yang menghadap ke arah laut.
Para wanita paruh baya yang kuduga pemiliknya, berdiri di muka kedai memelototi kami. Tak ayal, mereka menggoda kami untuk mampir. Karena sudah mantap singgah di tempat kenalan, kami jalan lurus, terus sampai ujung.
Sampai di sana, seorang lelaki menyambut. Usai saling sapa, aku menyodorkan cerek yang sedari tadi kutenteng.
Aku memintanya mengisi air panas dan memesan dua piring mie instan tumis lengkap dengan udang. Lalu memilih tempat duduk dekat bibir pantai, di meja yang dinaungi payung warna-warni.
Dari dalam tas jinjing, aku mengeluarkan perlengkapan kopi manual brewing. Selanjutnya, menyeduh kopi di atas meja dengan metode pour over.
Tak lama menunggu, seorang pelayan yang masih bocah, membawa cerek berisi air panas.
Terus terang, aku bukan penikmat kopi beridealis tinggi yang mesti sekali. Itu kopi aku bikin asal-asalan saja. Aku tidak peduli tetek bengeknya, semisal aturan suhu dan takaran pas.
Asal sudah keluar cairan hitam lewat penyaring bubuk Arabika yang sudah digiling__ kebetulan dibawa temanku dari dari tanah Gayo__ya sudah, air panas tadi keluar jadi kopi. Selagi menyesap dalam-dalam, aku memandang ke lautan lepas yang tampak biru pekat.
Nikmat betul kurasa, tak rugi repot-repot bawa perlengkapan kopi ke tepi pantai. Ide kawanku itu memang moncer, tak salah ia turun gunung mengajakku ke laut.
Jika di kota aku dipusingkan deru mesin kendaraan, di laut aku nyaman dibelai deru udara yang lewat dan suara gulungan ombak yang bertalu-talu enak terdengar.
Kopi kusesap lagi, beberapa pemuda datang mengisi meja-meja kosong di sebelah kami.
Anak-anak bermain di jilatan ombak, dijaga ibunya. Yang berjalan di garis pantai asyik berswafoto.
Pantai Jangka yang baru beberapa tahun ini naik daun, sudah menjadi tujuan wisata nan aduhai bagi warga sekitar Bireuen. Hari-hari tanggal merah, kabarnya tempat parkir kerap penuh, akibat membeludaknya pengunjung yang ingin membuang suntuk atau mencari senang.
Sayangnya, kukira, orang-orang di sana banyak meninggalkan kenangan berupa sampah yang berserakan di bibir pantai. Pendapatan penjualan tiket, kurasa, tak dianggarkan dibagian kebersihan.
Entahlah.
Sementara, di barat matahari hampir tenggelam, bersembunyi di balik semak awan. Kopi sudah tandas berikut sepiring mie instan yang tadi kupesan.
Tak semuanya masuk ke perut, bisa jadi lidahku tak nyaman dengan rasa manis yang dominan. Aku tidak suka, kawanku juga.
Di Pantai Kuala Jangka, jika jarum jam sudah menunjuk angka enam bakal terdengar pekikan sirene; tanda berakhirnya jam kunjungan. Memang begitu aturannya.
Menurut kawanku, raungan sirene yang panjang dan berkali-kali itu, seperti tanda buka puasa. Bagiku, malah mirip suara sirene di kamp tahanan yahudi, sewaktu aku menonton film Nazi Jerman.
Homhai, Boleh jadi pendengaranku sudah tidak benar lagi. Mari berkemas, bayar dan pulang.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Menyesap Arabika di Pantai Kuala Jangka”