Langit Lhokseumawe siang itu bisa disebut cerah. Tak terlalu banyak awan biru yang mengganggu. Boleh dikata, ini suasana terbaik menikmati siang di teras rumah atau warung kopi. Atau kalau mau repot-repot, di pinggir tambak.
Tapi, langit yang begitu narsis itu tak bisa saya nikmati secara tuntas. L300 yang saya tumpangi untuk menjangkau Banda Aceh tak memberikan kesempatan. Dia tetap melaju dengan kecepatan sekira 70-80 kilometer per jam. Sesekali menepi tiba-tiba di pinggir jalan seperti bocah yang kebelet pipis.
Tak banyak penumpang siang itu. Di baris jok depan ada pasangan tua yang dari tadi berbicara tanpa putus. Saya terconggok di tengah baris kedua. Sebuah posisi favorit saya kalau menumpang L300 agar tidak terkena serangan landsick. Di belakang saya ada seorang anak muda yang khusyuk dengan smartphone.
Karena tak bisa menikmati langit. Pandangan saya fokuskan ke depan. Oh, no, seorang pria tua, yang kemudian saya tau dipanggil Ama oleh perempuan di sampingnya itu, duduk tegak lurus menghalangi pandangan. Jadilah saya akhirnya menonton beliaw.
Ama duduk sangat santai. Tangan kirinya ditaruh di atas perut sementara tangan kanan tegak lurus bertumpu di ujung jari sambil mengepit rokok. Kayaknya, si kakek sedang membayangkan naik kapal pesiar.
Begitu santai pula ia mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Asap-asap itu diserbu angin dari depan lalu menguar ke kursi belakang. Mirip asap sampah yang diterpa puting beliung.
Sementara perempuan di sampingnya, saya tebak istrinya, tak terganggu sama sekali. Begitu juga dengan sopir, yang kemudian ikut-ikutan merokok.
Baca Juga: Memoriku yang Tak Renyah-renyah Amat Bersama Angkutan L300
Jujur, saya jengah melihat pemandangan itu. Walaupun saya perokok rasanya tak tega mengepulkan asap di tengah kendaraan yang sedang melaju. Tapi, seperti yang saudara-saudara mungkin ketahui, L300 adalah salah satu jenis angkutan umum yang bebas dari aturan itu. Tidak ada yang melarang penumpang merokok. Kasarnya, silakan merokok sampai mampus, asalkan jangan kau bakar mobilnya.
Walaupun risih, saya berusaha menikmati saja. Percuma juga protes. Saya juga tak ingin mengganggu si Ama yang sedang kusyuk. Sesekali pak tua itu terbatuk-batuk dan menoleh pandang ke istrinya. Di situ saya baru sadar, keriput kakek ini lumayan banyak. Setidaknya beliaw sudah berumur 70-an ke atas.
“Nggak ada asap nggak pas,” tiba-tiba si Ama nyeletuk sambil tetap melihat ke depan. Alamak! Kok, ucapan itu kayak ditujukan ke saya? Apa si Ama tau kalau saya tidak suka akan tingkahnya itu? Apa secepat itu dia mampu menerawang isi batin saya? Gawat.
Ah, masa bodohlah. Mungkin ucapan itu ditujukan ke sopir yang kini mulai membakar rokok kedua. Bersama-sama mereka semakin menyemarakkan dunia perasapan di kabin L300. Sementara laju mobil tampaknya mulai berkurang. Benar saja, Krueng Mane di depan mata.
Di kota kecil itu kelajuan mobil kian berkurang. Sopir celingak-celinguk ke kiri dan kanan mencari penumpang. Nihil. Tak ada orang Krueng Mane yang mau ke Banda Aceh siang itu.
Di simpang jalan elak, mobil berhenti. Ama menyuruh istrinya turun. Saya mengira beliaw mau dibelikan minuman. Maklum kan merokok dari tadi pasti haus. Dugaan saya salah. “Gudang Garam Merah,” teriak Ama kepada istrinya. Ternyata, rokok Ama sudah habis dan minta dibelikan lagi. Dan, merek rokok yang disebutnya itu, mau tak mau membuat saya tersenyum kecut. Merek rokok yang sering saya isap.
“Nggak ada asap nggak pas”…kata-kata Ama tadi terngiang lagi di kepala saya ketika gas mobil kembali diinjak. Apanya yang nggak pas? Entahlah.
Ama meminta istrinya mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusan. Oh, pria gaek itu ternyata tak bisa membuka sendiri bungkus Gudang Garam Merah yang eksotis nan rupawan itu.
Di jok belakang, ketawa saya hampir meledak. Buset, besar sekali nyali orang tua ini rupanya. Walaupun tak sanggup membuka bungkus rokok tapi aktivitas mengududnya tetap lancar jaya. Luar biasa. Jangan-jangan Ama ini jenis pria yang paru-parunya kebal bacok.
Baca Juga: Dunia Tidak Berubah Lebih Baik Ketika Perokok Berhenti Merokok
Apakah dengan tidak merokok si Ama tidak bakal mampu berpikir jernih? Bisa jadi demikian. Tapi melihat cara merokoknya yang mampu mengalahkan laju kereta api itu, si Ama sepertinya sudah tiba pada tingkatan sufi seorang perokok.
Di dalam dada beliaw, kayaknya paru-paru sudah lama menyerah dan angkat tangan. Paru-parunya sudah tak peduli apakah yang masuk itu asap rokok atau asap lainnya. Karena baru 15 menit paru-paru bersantai, masuk lagi asap dari kretek yang baru dibakar. Dan bagi si Ama sendiri, rokok itu mungkin bukan lagi semacam kenikmatan tapi aktivitas yang harus hadir pada setiap jeda waktu. Mungkin untuk mengusir rasa bosan sepanjang perjalanan atau sebagai “teman bicara”. Ya ketimbang hari tuanya dihabiskan hanya dengan memandang langit, mending merokok sambil memandang langit, kan?
Ah Ama, teruslah merokok sampai kapan pun kau mau. Semoga kau tetap sehat selalu. Kalaupun itu nanti kau diserang batuk, anggap saja itu cuma angin lalu, yang lekas hilang hanya dengan digosok pakai GPU.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )