Yang paling mengesalkan kalau Ayah memanggil adalah, Dinda tak bisa pura-pura tak mendengar.
“Tuaaaan, Ayah!” Dinda melompat. Bangkit, meninggalkan gua persembunyian. Ayah menyambutnya di bar kopi.
“Sudah salat nak?” katanya. Dinda menggeleng.
“Belum,” katanya.
“Pergi salat dulu.”
Dinda mengangguk. Matanya berputar, mencari abang dan adiknya. Ingin mengajak bareng ke musala. Soalnya ia takkan sanggup ke tempat itu sendirian, sembari benaknya tahu benar bahwa Razak dan perempuan sepatu merah masih repot akibat perbuatannya. Kalau ada abang dan adiknya, mungkin Dinda masih bisa menguatkan diri. Pura-pura tak tahu apa-apa.
Ayah seperti tahu yang dipikirkan Dinda.
“Abang dan Dedek sudah salat. Tinggal Tata yang belum,” katanya lembut.
“Oh,” Dinda tertegun sebentar. “Oke.”
Lambat-lambat dia berjalan ke musala. Dia bisa mendengar suara Bang Tareq kini. Juga suara Dedek. Keduanya terdengar prihatin. Agak canggung juga. Dinda menebak bahwa keduanya tengah membantu si perempuan sepatu merah menemukan miliknya.
Dinda menggigit bibir. Mencari cara supaya kecurigaan tidak terarah padanya. Tapi ia tak kunjung menemukan cara, sampai langkahnya yang serba enggan mencapai musala. Benar saja, Bang Tareq dan Dedek sedang celingukan. Mencari-cari. Razak dan perempuan sepatu merah juga sibuk menengok ke kanan dan ke kiri.
“Uh… sedang mencari apa?” Dinda memaksakan diri bertanya. Dedek yang menjawab: “Sepatu Tante ini hilang,” katanya. Dinda menelan ludah. Mengalihkan tatap ke samping.
“Oh,” ujarnya. “Tadi ditaruh di mana?”
“Di bawah tangga,” Dedek tidak menyadari suara Dinda yang tegang. Namun Bang Tareq bisa menangkapnya. Pemuda itu menatap adiknya dengan sinar mata ingin tahu. Begitu matanya beradu dengan mata abangnya, Dinda langsung buang muka. Dan Tareq yang sangat mengenal adiknya, segera paham apa yang terjadi.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Dua Belas
“Hmm…. jangan-jangan monyet,” Bang Tareq angkat bicara. “Di sini banyak monyet Makaka. Jangan-jangan tadi ada yang datang ke sini. Lalu karena warna sepatu itu menarik, jangan-jangan diambilnya.”
Mendengar kata-kata abangnya, Dinda seperti melihat pintu terbuka untuk kabur.
“Oh, iya, betul. Di sini banyak monyet,” katanya buru-buru. “Mereka suka cari sisa buah dan nasi di kafe-kafe.”
“Ya. Kadang-kadang monyetnya jahil juga. Apalagi kalau sedang kesal,” Bang Tareq menyambut. Sekali lagi melirik Dinda. Dilirik abangnya begitu, Dinda seketika paham bahwa si abang tahu apa yang dilakukannya. Dan kalimat Bang Tareq tentang monyet jahil tadi sebetulnya ditujukan padanya.
“Waduh,” kata si perempuan sepatu merah. Ia setengah ketawa setengah bingung. “Jadi apa harus kurelakan sepatuku hilang, ya?”
Bang Tareq mendeham.
“Nggak juga. Kurasa kalau pun dibawa monyet, dibawanya tidak jauh,” katanya. “Ya kan, Dek?” Bang Tareq melirik tajam pada Dinda.
“Eh… Oh, ya. Paling-paling akan dijatuhkannya lagi,” kata Dinda. “Coba kucari….”
Dinda pura-pura sibuk mengelilingi jamboe musala. Membungkuk-bungkuk meneliti semak dan rumput. Dia tahu ke mana harus mencari, jadi tak lama sudah dilihatnya sebelah sepatu itu. Terselip di antara semak dan batang pohon. Diputuskannya untuk berseru: “Ketemu satu, nih!”
“Mana??” suara Razak langsung menyambut. Pemuda itu menghampiri Dinda. “Itu di sana,” tunjuk Dinda. Razak melihat, lalu maju memungut. “Cikya, ini sudah ketemu satu!”
“Oh, thank God,” suara si perempuan pemilik sepatu terdengar senang dan lega. “Mana? Bawa sini, nak,” katanya. Sebutan ‘nak’ itu menyadarkan Dinda, siapa perempuan itu sebenarnya.
Pasti dia bibi si Serigala, pikir Dinda. Diamat-amatinya perempuan itu mengenakan kembali sebelah sepatu yang disodorkan Razak. Senyum perempuan itu pecah ketika Razak yang mendadak punya ide untuk menengok kolong jamboe, menemukan pasangan sepatunya. Dan senyumnya menarik. Ada dekik yang dalam di pipi kanannya. Seperti liang undur-undur. Giginya rapi sekali.
“Wah. Urusan sepatu rupanya bukan cuma dongeng Cinderella ya,” terdengar suara Ayah. Dinda menoleh. Ayah berdiri agak ke sebelah sana, tersenyum memandang bibi Razak. Melihat senyum Ayah dibalas oleh bibi Razak, perut Dinda serasa dicubit.
Setengah melompat ia bergegas kembali ke ruang kafe. Saat melewati Ayah, disempatkannya berdesis ketus, “Nggak usah tebar pesona, deh, Yah. Sadar umur.”
Dinda merasakan tatapan Ayah menusuk punggungnya. Tapi ia tak peduli. Lari kembali ke kafe mencari tempat sembunyi.
Dinda memutuskan untuk kembali duduk menyendiri di balik bar jus. Dari tempat itu dia bisa mendengar percakapan di bawah pohon keben dengan cukup jelas. Tapi celakanya, karena malam itu malam Ahad, kafe mereka ramai oleh pelanggan. Bang Mulkan bolak-balik datang ke bar untuk membuat minuman. Setiap kali Bang Mulkan datang, Dinda harus bangkit dari tempatnya meringkuk di balik pintu lemari kabinet. Pindah duduk ke bangku terdekat supaya tidak menghalangi kesibukan Bang Mulkan.
Rasanya, cukup lama Dinda duduk di situ.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Tiga Belas
Didengarnya para ilmuwan itu mengobrol. Memuji ikan bakar saus lemon, sate tiram dan sayur pakcoy tumis. Hanya si Serigala dan bibinya yang makan nasi dengan porsi normal. Yang lain hanya mengambil sesendok kecil, diletakkan di pinggir piring, seolah-olah sambal. Yang diambil dalam porsi banyak adalah ikan dan sate, sayur pakcoy dan juga potongan nenas manis yang diberi sedikit garam dan irisan cabai merah. Kalau gaya makannya begitu, Dinda jadi paham mengapa yang dipesan adalah dua kilo ikan kerapu dan empat puluh tusuk sate.
Para ilmuwan itu bicara dalam bahasa Inggris dan satu bahasa lain. Bahasa itu enak didengar. Dinda tidak mengenalnya. Bahasa Belanda mungkin. Yang membuat alis Dinda agak terangkat adalah, ia mendengar juga suara si Serigala. Ikut mengobrol dan tertawa-tawa.
Pintar juga dia rupanya, pikir Dinda. Didengarnya pemuda itu membicarakan arus di seputar pulau-pulau Kipas, Kepiting dan Gurita, serta bagaimana berlayar miring menghindarinya agar dapat mendarat di teluk tersembunyi yang ada di bagian tertentu di Pulau Kipas.
Diam-diam Dinda tertarik. Ia belum pernah punya kawan yang pandai berlayar. Biasanya kawan-kawannya hanya naik motor. Paling pol jip, seperti milik Abie misalnya. Tapi si Serigala tadi membicarakan tentang mengendarai robin. Kapal motor khas daerah sini, yang buritannya seperti dipotong dan haluannya mencuat tajam ke atas, agar mudah membelah ombak.
Dinda menguping terus. Pembicaraan beralih pada hal-hal teknis. Penanaman koral dan pengambilan data. Laki-laki tinggi besar yang rambutnya nyaris putih agaknya bertanggung jawab soal itu. Ia membahas bintang laut duri pemangsa koral yang rupanya ditemukannya di perairan Pulau Gurita.
“We need to explain to locals to stop thprowing them back to the sea after cutting them up,” harus kita jelaskan pada nelayan setempat agar tidak melempar bintang laut kembali ke laut setelah dipotong-potong, katanya. Dengan takjub Dinda mendengar kelima ilmuwan itu membicarakan kemampuan bintang laut duri memulihkan diri. Kalau dipotong-potong, bintang laut itu bisa lanjut hidup. Asalkan masih ada bagian tengah tubuhnya, maka bagian tengah itu akan menumbuhkan kembali bagian tubuh yang hilang.
“The locals were just doubling the numbers of these starfishes by cutting them up like that,” dengan memotong-motongnya, nelayan setempat sebetulnya malah memperbanyak jumlah bintang laut ini, kata laki-laki rambut pirang. Dengan suara prihatin ia mengangkat fakta bahwa bintang laut itu sangat rakus. Dalam sehari mereka bisa menyantap koral sampai satu meter persegi.
(Bersambung ke Bagian Lima Belas)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )