Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Dua Puluh Dua

Keputusan Kepala Sekolah dan Kepala Asrama untuk meminta kawalan kepolisian menjadikan suasana terasa jauh lebih tegang.

Dinda gadis grafiti

Adakah kemungkinan mereka menyerbu Asrama? Dibisikkannya hal ini pada Nana. Yang disebut terakhir itu tersenyum kecil.

“Bisa saja sih. Tapi kurasa kita nggak usah takut. Gerbang sekolah ‘kan ditutup, dan selalu dijaga. Kalau pun mereka menyerbu, pasti sudah keburu dicegat di depan. Tadi juga begitu kan, Kak Faiz dan Umam ‘cuma’ bonyok sedikit karena mereka sempat lari masuk kembali ke sekolah.”

Masuk akal. Dinda agak lega. Ia memikirkan teleponnya. Ingin mengirim pesan pada keluarganya, bahwa ia baik-baik saja. Tapi belum sempat ia menemui Ustadzah Sofia untuk meminta keluarkan teleponnya dari penyimpanan, ibu guru itu sudah memanggilnya duluan. Ayah menelepon. Ternyata berita pemukulan kedua senior tadi sudah sampai padanya.

Dinda menahan diri agar tidak mengatakan pada Ayah bahwa sebenarnya ia ketakutan.

“Nggak apa-apa Ayah. Kami aman. Nggak, nggak usah jemput, aku nggak apa-apa kok,” ujarnya menyahuti tanya Ayah. Ayah tidak mendesak. Hanya mengingatkan untuk segera menghubunginya seandainya ada perkembangan baru yang tidak kondusif. Untuk meredakan debar jantungnya sendiri, Dinda tertawa kecil, mendenguskan kalimat agak ketus, “Kalau ada apa-apa pihak Sekolah pasti sudah menghubungi Ayah duluan, kan.”

Dari suaranya, agaknya Ayah juga tersenyum.

“Oke. Ya, kau benar.”

Namun sore itu anak-anak yang berasrama dikumpulkan di Aula Asrama. Ustadz Nazli dan Ustadzah Sofia mengingatkan agar tidak keluar Asrama dulu sampai keadaan dinyatakan kembali normal. Mereka juga menyampaikan bahwa pihak Sekolah telah meminta agar ada petugas dari Polsek Kecamatan bersiaga di Pos Satpam depan sekolah.

Dinda merasa seperti mendadak terlempar ke zona perang. Nana nyengir, mengatakan bahwa menurut ayahnya, dahulu ketegangan seperti itu sangat biasa di Aceh. Ayah Nana yang dulu bekerja sebagai fotografer kantor berita asing, beberapa kali harus tiarap di selokan, di balik runtuhan dinding-dinding, bahkan sekali di kolong gerobak sapi untuk berlindung dari hujan peluru, selama melakukan pekerjaannya.

“Ayahku memang pemberani,” kata Nana bangga.

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Dua Puluh

Dinda memikirkan gerbang sekolah yang terbuat dari batang-batang besi pejal, setinggi dua meter. Seharusnya itu sudah cukup mengamankan seisi sekolah. Keputusan Kepala Sekolah dan Kepala Asrama untuk meminta kawalan kepolisian menjadikan suasana terasa jauh lebih tegang.

Malam itu Dinda mengintai dari jendela Ruang Santai di Asrama ke arah gerbang sekolah. Dalam sorotan lampu jalan yang kuning, tampak sosok beberapa laki-laki duduk-duduk di seputar pos jaga. Biasanya memang ada empat orang Satpam berjaga. Dua di Gerbang Sekolah, dua lagi biasanya menempati Pos Asrama, di dekat halaman belakang. Kini sosok dua polisi berbadan tegap nampak menemani kedua Satpam di Pos depan.

“Aku punya perasaan–” kata Dea, membenahi jaket menutupi kakinya. Malam itu memang agak dingin. “Anak-anak Asrama akan dipulangkan.” Dea menyamankan duduknya di sofa, membuka novel yang sedang dibacanya.

“Maksudnya?” Dinda menatap Dea. Yang disebut terakhir mengangkat bahu.

“Kalau malam di sini kan sunyi sekali. Asrama kita ini juga terpisah agak jauh dari jalan utama. Biar pun pagar Sekolah dan pagar Asrama tinggi, dan ada Polisi yang berjaga, tapi kurasa Ustadz Nazli bakalan punya pertimbangan lain,” kata Dea. “Waktu aku SD Asrama Pelsa pernah juga ditutup seminggu, karena ada macan kumbang turun dari gunung. Nah, situasi sekarang ini kan juga serupa seperti itu. Maksudku, ada kemungkinan ada ‘penyusup’ masuk Asrama. Jadi, kurasa sebentar lagi orangtua kita akan dihubungi pihak Asrama, agar menjemput kita pulang.”

“Wah….” Dinda mengigit bibir. Mengatupkan kembali tirai jendela. Omongan Dea masuk akal. Memang betul juga, Asrama mereka yang punya tiga puluh kamar, Musala, Ruang Santai, Ruang Belajar Bersama dan beberapa ruang lain itu letaknya di bagian belakang kompleks sekolah. Di perbatasan antara hutan cemara udang dan pantai. Suasananya selalu tenang dan tenteram. Juga aman, karena ada Pos Satpam lainnya di dekat situ. Namun, karena bersebelahan dengan pantai dan hutan, maka halaman belakang Asrama dapat diakses siapa saja, asal orang itu bisa memanjat tembok setinggi tiga meter yang memagari.

Firasat Dea ternyata terbukti. Keesokan harinya, menjelang saat makan siang, seluruh siswa SMA Pelsa dan SMP Harsa diperintahkan berkumpul di Masjid Sekolah. Masjid Sekolah cukup besar, dapat menampung semua siswa kedua sekolah itu sekaligus.

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Dua Puluh Satu

Didampingi Ms Nona, Mr Taufan Kepala Sekolah SMP Harsa dan Ustadz Halim Kepala Asrama SMP, Ustadz Nazli mengumumkan bahwa ‘atas beberapa pertimbangan’ maka Asrama Putra dan Putri kedua sekolah akan ditutup untuk sementara. Selesai makan siang, anak-anak yang berasrama diharapkan mempersiapkan barang masing-masing untuk dibawa pulang. Asrama akan dibuka bila keadaan ‘sudah kembali kondusif’. Ustadz Nazli juga mengatakan bahwa orangtua dan wali anak-anak sudah dihubungi, dan akan menjemput mereka pada jam bubar sekolah, pukul 15.00 sore nanti.

Wajah Nana berkerut seperti orang sakit kepala. Mungkin dari sekian ratus anak Asrama, hanya Nana yang tidak senang saat akhir pekan datang dan sudah tiba waktunya pulang ke rumah. Kali ini lebih gawat, mereka tidak bisa tinggal di Asrama sampai pengumuman selanjutnya. Artinya Nana terpaksa harus berada di rumahnya terus. Dengan segala resikonya.

“Kau ke kafe kami saja setiap hari,” bisik Dinda. “Kalau perlu menginap.”

Nana menatap Dinda seolah kawannya itu baru mengucapkan sesuatu yang jenius.

“Ohh!” katanya. “Iya ya! Betul.” Nana tersenyum. “Ayahmu perlu karyawan nggak? Aku jadi pelayan di kafe kalian aja, mulai pulang sekolah.”

“Eh…” setelah bicara tadi, Dinda baru sadar bahwa usulnya mungkin akan membawa masalah. Orangtua Nana bisa jadi tidak akan suka anaknya setiap hari menghilang. Apalagi Papinya. Belum lagi, Ayah pasti akan ingin tahu, kenapa Nana tidak pulang ke rumah dan selalu di kafe, misalnya. Jangan-jangan nanti Ayah akan menyuruh Dinda menelepon orangtua Nana, memberitahu bahwa Nana ada di kafe. Dan Bang Tareq. Bang Tareq juga pasti usil bertanya-tanya. Tapi sudah kepalang basah. Dinda sudah kepalang usul dan Nana sudah kepalang senang. Yah. Nanti saja dipikirkan lagi, pikir Dinda. Mungkin bisa diatur agar Nana tidak di rumahnya tapi juga tidak menginap di kafe….

Sore itu saat waktu pulang tiba, Dinda heran karena yang menjemputnya hanya Bang Tareq. Tumben?

“Ayah mana, Bang?” tanya Dinda.

“Ayah lagi sibuk,” sahut Bang Tareq samar-samar. “Sambil pulang ini nanti kita jemput Ayah juga.”

“Hah?”

Bang Tareq menolak memberi informasi lanjutan. Dia hanya tersenyum tipis, menaikkan tas-tas Dinda ke mobil, mengecek apakah Dedek sudah duduk dengan baik, lalu menyetarter mobil.

Dinda curiga Bang Tareq menyembunyikan sesuatu. Kecurigaannya bertambah saat di simpang Pante Keutapang abangnya membelokkan mobil menuju pelabuhan. Bertambah kental ketika mobil dihentikan di dermaga lama, tempat kapal-kapal menuju dan dari Pulau Kipas, Pulau Kepiting dan Pulau Gurita bersandar.

(Bersambung ke Bagian Dua Puluh Tiga)

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *