~ Bukan persiapan menyambut corona
Ini bukan pesan atau imbauan ala-ala forkompida. Sebagai website yang mendedikasikan diri sebagai tempat anak muda bersuara, Breedie hanya ingin memberikan sedikit pandangan yang layak diketahui khalayak.
Tentu saja, puasa tahun 2020 ini berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Seluruh dunia sedang sibuk menghadapi corona.
Wabah ini membuat kita mesti berjarak dari sesama, menjauh dari kerumunan, dan tidak berlama-lama di luar rumah, serta melakukan beberapa pantangan lain.
Semua itu adalah antitesis dari puasa itu sendiri. Ramadan adalah bulan di mana kita tidak dianjurkan berjarak dengan sesama, tidak menjauh dari kerumunan, dan tidak boleh tidak berlama-lama di masjid atau meunasah.
Dulu, bocah-bocah di kota maupun di kampung menjalani puasa selama sebulan penuh dengan ceria.
Puasa seolah-olah hari raya karena dilalui dengan sukacita yang dimulai sejak hari pertama puasa. Selepas magrib di hari meugang terakhir, di meunasah atau langgar biasanya akan ada khauri atau kenduri.
Orang-orang membawa makanan yang dimasak dari rumahnya dalam talam bertudung untuk disantap bersama-sama.
Menjelang azan magrib, selain orang-orang dewasa, tampak bocah-bocah dengan sarung tergelung di leher dan peci di kepala. Mereka ikut ambil bagian dalam seremoni itu.
Jika orang dewasa menempati posisi tengah meunasah, bocah-bocah cukup di emperannya. Kadang-kadang dekat tempat keranda mayit.
Tak mengapa, yang penting kebersamaannya. Berada dalam kerumunan yang sama dengan orang dewasa, membuat bocah-bocah itu merasa setara dan dianggap ada.
Yang lebih penting lagi, menunya sama dengan yang dimakan orang dewasa. Ada masak mirah, masak putih, dan beragam olahan daging sapi, kerbau, bebek, atau ayam yang dipotong pada hari meugang.
Rata-rata menu itu enak karena bumbunya sama, tidak rahasia, dan dimasak dengan niat sederhana menyambut bulan suci; bukan untuk dipajang di media sosial.
Setelah selesai magrib, talam bertudung saji sudah pasti hampir kosong. Tapi bau masakan daging masih tinggal.
Menyeruak dari tempat berdiri imam hingga ke tempat wudu dan halaman meunasah, tempat para bocah kini geureuop atau serdawa setelah kekenyangan menyantap sie makmeugang.
Azan isya pun datang. Kini kesenangan para bocah akan berlanjut di tempat wudu.
Memerciki air ke muka temannya yang sedang wudu atau mengguyurnya hingga kuyup, rasanya cukup membuat mereka terbahak sesaat, sebelum orang dewasa datang memarahi.
Sesudah itu bocah-bocah akan secepatnya masuk meunasah, berjejer menanti iqamat di saf lelaki bagian paling belakang.
Saf yang nanti ketika rakaat tarawih belum tiba di pertengahan akan centang perenang karena banyak insiden tak terduga terjadi di sana.
Saf yang justru akan terus bertahan hingga hari ke-30 Ramadan.
Bocah-bocah itu ikut menautkan sarung di pinggang meniru lelaki dewasa. Tapi panjang sarung menciptakan lipatan menjadi demikian kembungnya di pinggang, seolah perut-perut mereka sangatlah buncit.
Sarung harus dilipat erat-erat supaya tidak melorot saat rukuk dan bangun dari sujud. Atau dalam beberapa kasus dipaksa melorot oleh teman di sebelah.
Baca Juga: Sayangi Jempol, Jangan Typo-kan Hidupmu, Kawan!
Tarawih dimulai, bocah-bocah berteriak keras-keras setiap kali imam tiba di ujung surat Al Fatihah.
Yang tidak menyetel suaranya keras-keras bisa dipastikan bocah tersebut punya bapak atau ayah bernama Amin. Tabu menyebut nama orang tua sendiri.
Menjelang rakaat kedelapan, beberapa bocah kabur ke tempat wudu.
Mereka tak kuasa menahan pipis. Ada juga yang ingin kentut dengan lepas dan lantang. Bahkan, ada yang tidak ngapa-ngapain, cuma ikut-ikutan keluar saja menghirup udara segar.
Setelah itu mereka masuk lagi dan berharap imam cepat-cepat membaca tabbatyada sebagai tanda akan masuk sunat witir. Rupanya bocah-bocah sudah merasa bosan, padahal rakaat tarawih belum sampai 20 dan itu baru malam pertama.
Selesai tarawih, mereka ikut bertadarus. Pada jam-jam pertama tadarusan, para bocah dibolehkan membaca ayat demi ayat memakai mikrofon.
Lalu, suara cadel, sengau, bahkan cempreng akan masuk dalam mic dan mengirimkan hingar-bingar ke seisi kampung.
Bocah-bocah itu tak terlalu peduli karena mengaji dengan mic_atau berbicara lewat mic_sebuah kemewahan. Ini bukan soal benar atau salah tajwid. Bagi mereka ini kesenangan belaka.
Setelah satu jam berteriak-teriak, bocah-bocah itu tahu diri. Mereka menyerahkan mic kepada orang dewasa dan pamit undur diri, berkumpul ramai-ramai di sudut meunasah, dekat keranda mayit tadi. Mereka akan tidur di situ.
Ketika sahur tiba, mereka akan dibangunkan lalu pulang ke rumah masing-masing. Sebagian ada yang balik lagi saat subuh. Sisanya pasti keletihan dan menghabiskan subuh mereka di kasur.
Baca Juga: Dear, Greta Thunberg
Jadi, berkaca dari cerita para bocah tersebut, apa yang semestinya dipersiapkan menyambut puasa di tengah wabah corona ini? Masih sama: sarung.
Sebagian kita mungkin beruntung memperoleh hadiah sarung baru untuk digunakan saat puasa. Namun, bagi yang tidak beruntung, carilah kembali posisi sarungmu.
Ingat-ingatlah di mana terakhir sarung itu kau letakkan. Cuci kembali, berikan wewangian, dan ajak dia menyambut bulan penuh rahmat ini.
Selamat menjalankan ibadah puasa, Bree. Semoga puasa tahun ini bisa ditunaikan dengan penuh dan tidak bolong-bolong. Mohon maaf lahir dan batin, yaa.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )