~ Ini cerita antara kau (aktivis cinta taman) dan dia (sheriff taman)
Di dunia yang berselemak peyak dengan media sosial ini, orang-orang kelihatannya selalu siap untuk memberikan opini dan mengkritik di hampir semua topik.
Mau topiknya serius atau remeh temeh, mereka tidak peduli. Yang penting beropini dan mengkritik.
Menariknya, di ujung-ujung, mereka bukannya memberikan pencerahan kepada yang fakir ilmu. Tapi, yang ada adalah perdebatan tak jelas, pertengkaran, saling menyalahkan, dan saling mengejek.
Ya, salah satu contohnya pernah terjadi di sebuah negeri dongeng yang bernama Antah Berantah. Rakyat Antah Berantah terkenal akan kegilaannya pada media sosial. Setiap hari, dunia mereka hanya berkutat dengan media sosial.
Di satu sore yang indah, ditemukan ada sedikit keributan di Pehbuk—media sosial favorit tempat rakyat Antah Berantah beropini dan mengkritik. Keributannya dipicu oleh status Pehbuk seorang aktivis cinta taman.
Dalam status Pehbuknya, ia mengkritik kenapa taman leluhur negeri Antah Berantah rusak dan kemana sheriff taman yang digaji untuk menjaganya. Tak lupa juga, ia mengunggah beberapa lukisan kerusakannya.
Taman leluhur yang dipermasalahkan ini merupakan taman sejarah nenek moyang rakyat negeri Antah Berantah.
Ada banyak pohon yang berumur ratusan tahun hidup di taman ini. Lebatnya kerimbunan pohon berfungsi untuk melindungi bukit-bukit dengan ciri khas tebing-tebingnya.
Tepat di puncak perbukitan itu terdapat banyak gua berisi bukti keberadaan nenek moyang rakyat negeri Antah Berantah. Di dinding gua-gua itu terpajang gambar-gambar tentang dongeng para leluhur, alat-alat berburu, dan masih banyak lainnya.
Tanpa menunggu lama, banjirlah komentar-komentar pada status Pehbuk tersebut. Di satu sisi, ada banyak yang membela aktivis cinta taman—terutama teman-teman dan fans garis kerasnya.
Baca Juga: Untuk Cupa IN, Dari Aktivih Cinta Taman
Di sisi yang lain, para sheriff taman—tentunya didukung teman sejawat seantero negeri—juga tak mau kalah membela diri. Perdebatan tak jelas, pertengkaran, saling menyalahkan dan saling mengejek pun menjurus panas. Sedikit gambaran suasananya seperti ini.
Aktivis cinta taman: “Jeh haii..ka reuloh lom taman leluhur. Kiban sheriff taman. Ho awak kah mandum. Pajoh gaji buta tok. Hana jeuilahh.”
Sheriff taman: “Eee haiii..kah pike mangaat. Cukop luah taman leluhur nyan. Anggota kamoe tok padum droe. Hana mungkin sagai ta cover mandum. Ka jak keuno, ka rasa keudroe.”
Saling berbalas komentar terus terjadi. Yang sangat disayangkan, beberapa isi kebun binatang pun dilontarkan tanpa sungkan-sungkan. Bahkan, yang membuat lebih sedihnya lagi, suasana yang tidak kondusif ini terus terjadi berhari-hari. Berminggu-minggu.
Dan pada akhirnya, berita ini terdengar ke telinga pemimpin negeri. Yang terlintas pertama sekali di pikiran sang pemimpin negeri adalah, ia sangat menyayangkan tindakan aktivis cinta taman.
Seharusnya, mereka tidak melaporkan kerusakan taman leluhur dalam bentuk status Pehbuk. Itu hanya membuat negeri Antah Berantah gaduh.
Sesungguhnya, negeri Antah Berantah sudah mempunyai tempat resmi untuk pelaporan kasus-kasus kerusakan yang berkaitan dengan taman leluhur.
Mereka bisa mendatangi kantor pengelola taman leluhur, atau menghubunginya melalui pesan singkat, atau menghubungi hotline, atau juga via email.
Kini, hati sang pemimpin negeri pun diliputi pertanyaan-pertanyaan. Apa yang terjadi dengan aktivitis cinta taman?
Kenapa aktivis cinta taman malah melaporkan ke media sosial Pehbuk, bukan ke tempat resmi untuk pelaporan kasus-kasus kerusakan? Gejala apa yang menimpa aktivis cinta taman?
Ia tak menemukan jawabannya. Tak mau berlarut-larut dalam kebuntuan, ia kumpulkan penasihat-penasihatnya.
Di depan penasihat-penasihatnya, ia beberkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Beberapa waktu kemudian, berbagai jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan sang pemimpin bermunculan. Akan tetapi, ia tidak puas.
Tidak ada satu pun jawaban yang memuaskan dari penasihat-penasihatnya. Ia ingin sesuatu yang pasti, bukan berdasarkan dugaan-dugaan.
Ia terdiam sejenak, mengambil nafas panjang. Lalu, dengan suara perlahan, ia memutuskan membuat sebuah penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Usai pertemuan, kurir segera dikirim ke satu lembaga penelitian terpercaya di negeri Antah Berantah. Tergiur dengan reward yang ditawarkan, gayung pun bersambut.
Lembaga penelitian tersebut siap melakukan penelitian dan akan memberikan jawabannya dalam waktu satu bulan ke depan.
Pendek cerita, setelah satu bulan berlalu, sang pemimpin negeri mendapat kabar bahwa penelitian telah selesai dilakukan. Yang menggembirakannya lagi, lembaga penelitian tersebut ingin bertemu dengannya dan mempresentasikan hasil penelitiannya.
Tidak mau menunggu lama, digelarlah kembali pertemuan di aula yang lebih besar. Kali ini, aktivis cinta taman, sheriff taman, dan rakyat dari seluruh penjuru negeri diundang untuk menyaksikan presentasi hasil penelitian.
Bagi rakyat yang tidak tertampung di aula, sang pemimpin mendirikan layar putih yang sangat lebar supaya seluruh rakyat dapat nonton bareng secara langsung.
Kenapa rakyat seluruh penjuru negeri harus diundang? Ternyata, alasan sang pemimpin negeri cuma satu. Dengan mengetahui hasil penelitiannya—seburuk apapun itu, ia berharap rakyatnya bisa memetik hikmahnya dari peristiwa keributan antara aktivis cinta taman dan sheriff taman.
Ketika presentasi dimulai, orang-orang mulai duduk dengan tenang menyimak penjelasan dari para peneliti. Terkadang, tampak beberapa orang manggut-manggut. Seakan-akan, itu merupakan tanda bahwa mereka setuju dengan apa yang dikatakan oleh peneliti. Bergerak ke sudut yang lain, ada juga yang hanya cuek-cuek saja.
Satu jam terlewati, presentasi masih saja berlangsung. Orang-orang tetap setia menyimak. Jika dilihat dari wajah mereka, hampir dapat dipastikan kalau mereka sudah bisa menerka-nerka kesimpulan akhir dari penelitian.
Menurut para peneliti, aktivis cinta taman telah mengalami kecanduan terhadap media sosial. Terkhusus media sosial Pehbuk, kecanduannya sudah akut.
Baca Juga: Amplop Merah Jambu dari Aktivih Cinta Taman
Para peneliti menambahkan juga, aktivis cinta taman memiliki keinginan mengkritik yang terlalu menggebu-gebu di media sosial. Sakitnya, keinginan mengkritik itu tidak diiringi dengan berpikir kritis.
Semangat yang diusung hanyalah semangat untuk menjatuhkan orang lain. Tidak ditemukan semangat untuk menganalisa dan mengevaluasi suatu masalah dengan tujuan memecahkan masalah tersebut.
Berdasarkan itu semua, para peneliti menyimpulkan bahwa, aktivis cinta taman telah menunjukkan gejala penyakit “kecepatan jari-jari tangan lebih cepat daripada kecepatan otak untuk berpikir.”
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )