Selain keranda, meunasah kampung saya juga menyimpan area horor lain yang jarang didatangi tim uji nyali yakni sebuah sumur tua.
Dulu, bangunan meunasah masih berbentuk rumah panggung seperti lazimnya rumoh Aceh. Jaraknya dengan sumur cuma lima meter.
Dari luar sumur tersebut tak tampak karena tertutup tembok beton setinggi tiga meter. Sedangkan luas area di dalamnya sekira 4 x 3 meter.
Cukup luas bagi anak-anak seperti kami bila ingin menjadikannya arena slalom badan atau kolam renang darurat.
Jika keranda menyimpan horor tak kenal bulan, sumur tersebut tidak demikian. Tapi, sekali dia berulah, level pedasnya sudah mendekati enam. Lebih pedas dari seblak pelakor.
Suatu malam di bulan puasa, tadarus hampir selesai. Jarum jam mendekati angka satu.
Sebagian anak mulai mencari posisi tidur ke sudut belakang meunasah. Bagian ini agak terpisah dari bangunan utama.
Mereka masih bercanda-canda ketika suara tadarusan tiba-tiba berhenti di tengah ayat.
Anak-anak masih cekikikan di belakang. Agak riuh. Mereka tak merasa ada sesuatu yang ganjil.
Tiba-tiba, seorang abang-abang yang ikut tadarus datang dan bertanya, “Siapa yang mandi malam-malam di sumur?”
Sontak semua anak terdiam. Setelah dicek, hampir semua anak yang ikut tadarusan ada di situ.
Lagipula, siapa yang sudi mengguyur diri malam-malam begini, kalau bukan…? Ah, sudahlah.
Tak sadar bulu kuduk merinding. Sebagian mencoba menetralkan suasana dengan mengatakan, ini kan puasa mana ada yang kek-kek gitu.
Tapi yang aneh adalah kenapa suara orang mandi tidak terdengar oleh kami yang justru lebih dekat dengan sumur? Apakah ini tanda kalau kuping kami harus dikorek lebih dalam?
Atau jangan-jangan kami dikerjai supaya ketakutan? Entahlah, malam itu mata sulit terpejam. Rasanya ingin cepat pulang dan menyantap sahur lalu tidur.
Rumor yang telah lama lindap di kampung kami, sumur tua itu memang ada yang “ngepos”. Tidak jelas bentuknya apa dan jumlahnya berapa.
Tapi, tanda-tanda kehadirannya beragam. Salah satu seperti kejadian yang terceritakan di atas.
Kali lain, ada yang melihat seseorang mandi di sumur selepas magrib tapi kepalanya tampak melewati dinding.
Sudah pasti yang mandi itu bukan warga kami karena tidak ada yang tinggi badannya lebih dari tiga meter. Mungkin saja itu “orang jauh” yang tersesat di waktu tidak tepat.
Dan banyak lagi kejadian yang dihadirkan oleh sumur tua itu.
Entah gara-gara rumor horor tersebut, sumur itu kemudian ditimbun ketika kampung mendapatkan dana bantuan pembangunan meunasah. Di atasnya dibuatkan bangku beton.
Sebuah sumur baru telah digali untuk menyuplai kebutuhan air meunasah. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang kesasar menumpang mandi ke sana. Karena ini ‘kan sumur meunasah, bukan sumur di ladang.
Krik…krik…krik.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )