Berpuasa di mana pun rasanya sama saja, tetap lapar dan haus. Namun, suasana puasa di pesantren terpadu saat saya kelas tiga tsanawiyah masih berkesan hingga sekarang.
Selama Ramadan, anak kelas tiga tsanawiyah dan kelas tiga aliyah tetap tinggal di asrama. Mereka tidak boleh pulang karena mesti mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir secara intensif dengan waktu belajar lebih padat.
Pesantren pun agak sepi. Tukang masak tidak sesibuk hari biasanya. Selama Ramadan mereka hanya masak dua kali. Menunya sama, nasi, lauk, dan sayuran. Paling ditambah bubur kacang hijau sebagai takjil berbuka.
Perjuangan berpuasa dimulai dari bangun sahur. Setiap kamar asrama yang berukuran besar diisi 50 santriwati. Bisa dibayangkan betapa susahnya membangunkan setiap insan.
Apalagi santriwati tsanawiyah seperti saya yang jiwa magernya sangat membara di sepertiga malam.
Wali kamar hanya membangunkan santri dengan memukul-mukul beberapa tempat tidur saja. Hanya sebagian yang terbangun. Sisanya, dibangunkan oleh santri lain dengan versi masing-masing.
Setelah bangun, santri harus antre makanan sahur di musala.
Karena kamar kami terletak di lantai atas, acap kali, sandal pun ikut digotong ke atas. Akibatnya, saat pengambilan makanan sahur, banyak yang langsung turun tanpa membawa sandal sendiri.
Begitu melihat di teras bawah banyak sandal nganggur mereka langsung memakainya tanpa permisi.
Dengan mata yang masih loading, posisi sandal tertukar. Kiri dipakai di kanan, kanan dipakai di kiri. Bahkan ada yang kanan dua-dua dipakai di kiri atau sebaliknya.
Apesnya, baru berjalan lima langkah terdengar sayup-sayup suara memanggil, “Zaalika Na’lii (itu sandal saya).”
Mata pun langsung terbuka lebar.
“Oh iya, kirain sandal saya, talinya mirip sih, maaf ya, huhuhu.”
Saat antrean makanan, berbagai tingkah para santri muncul tanpa dikomando. Ada yang minta lauk banyak, kuah banyak, dan rekwest lauk lain seakan ia sedang berada di restoran.
Selesai makan, ada yang langsung mandi sekalian cuci piring. Di pesantren tidak boleh kalah cepat dalam urusan air. Telat sedikit bisa terancam tidak mandi seharian.
Setelah mandi dan berwudu semua santri menuju musala untuk salat subuh berjamaah.
Paginya, suasana belajar tidak jauh berbeda dari hari biasanya. Hanya jadwal belajar sore dan malam yang ditiadakan.
Mengisi waktu lowong sore, para santri menyambangi memburu takjil di koperasi pesantren. Beberapa orang minta izin keluar untuk order nasi goreng.
Mereka sengaja membawa nasi putih untuk digoreng oleh abang tukang nasi goreng yang mangkal depan pesantren. Jadi, harganya bisa lebih murah. Kalau urusan berhemat, anak santri emang jagonya.
Sebelum waktu berbuka semua santri dipastikan telah kembali ke kamar masing-masing. Setelah itu, buka puasa dilakukan di kamar dalam kelompok bebas sesuai lingkaran pertemanan. Tapi tetap dengan kebersamaan yang tinggi.
Lauk made in pesantren, takjil koperasi dan nasi goreng dari luar pesantren pun mewarnai acara buka puasa.
Para santri saling berbagi makanan dan minuman. Yang paling diminati minuman. Minum saja sudah kenyang walaupun nasi goreng tetap dihabiskan bersama-sama dengan hati senang.
Usai buka puasa, para santri berhamburan ke tempat wudu untuk salat magrib berjamaah. Setelah itu melanjutkan makan-makan atau istirahat sebentar sebelum tarawih.
Saat tarawih, santriwan dan santriwati bergabung di satu musala. Momen ini biasanya dimanfaatkan untuk saling curi pandang, berhubung selama ini mereka dipisahkan jarak.
Meskipun cuma curi-curi pandang hati tetap berbunga-bunga. Banyak santriwan dan santriwati yang akhirnya berjodoh di kemudian hari.
Setelah lulus pula, banyak dari mereka yang sengaja datang untuk berbuka puasa di pesantren. Sekadar bernostalgia dan mengulang kembali kebersamaan yang dulu.
Tentu, minus momen curi-curi pandang saat tarawih.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )