Kedatangan corona ke Indonesia sejak awal Maret telah menghentikan berbagai aktivitas dalam sendi-sendi perkantoran. Para karyawan diharuskan bekerja dari rumah.
Saya beruntung tidak ikut mengalami efek “post ngantor sindrom” tersebut. Kenapa? Karena saya adalah orang yang mempekerjakan diri sendiri.
Saya punya kantor yang ukurannya cukup-cukup makan, 40 cm x 40 cm, dan selalu tergendong di punggung.
Namun, sejak corona, berbagai aktivitas rumah disarankan dan dikampanyekan oleh pemerintah dengan berbagai slogan. Mulai dari tagar “di rumah saja” hingga “WFH” (Work From Home).
Belakangan, muncul teriakan dari paramedis melalui tagar “Indonesia terserah”, sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap inkonsistensi kebijakan pemerintah menghadapi corona.
Kondisi tersebut memancing keributan saya beralih ke hal-hal yang lebih kreatif. Tujuannya membunuh rasa bosan dan jenuh yang mulai timbul dari berbagai rutinitas.
Saya mencoba banyak hal guna mengusir sepi sebagai konsekuensi dari pisikal distansing dan sosial distansing–yang mana istilah tersebut baru saja saya dengar dari tetangga yang datang meminjam cangkul.
Mulai dari memancing sampai bercocok tanam menjadi pilihan. Saya kira, banyak orang juga melakukan hal yang sama.
Seperti banyak teman saya yang beralih profesi dari pegawai kantor menjadi petani. Mereka kembali menggeluti bercocok tanam yang merupakan pekerjaan tertua dalam sejarah peradaban manusia.
Bagai mendadak dangdut, para “agronomist” tersebut bercocok tanam dengan modal pengalaman yang pernah ditimbanya di masa lampau.
Saya termasuk di antara mereka itu. Pengalaman bercocok tanam dulu sebagai petani sayur yang menjual hasil produksinya di pasar pagi Tungkop, Darussalam, harus saya “recall”.
Memory recall mutlak saya lakukan agar bisa kembali menjadi petani andal. Saya membeli belasan kantong bibit tanaman pilihan dari merek terkenal, dengan harapan berbuah lebat sebelum corona berakhir.
Saya juga membeli peralatan berkebun yang harganya cukup menguras isi dompet. Sebuah investasi awal yang seharusnya menjanjikan.
Bibit-bibit saya taruh dalam puluhan polybag dan saya susun sedemikian rupa. Bahkan agar kelihatan serius di mata istri, saya membuat bedengan semai, layaknya petani profesional.
Nasib bicara lain. Alih-alih menginginkan hasil sempurna, yang saya dapatkan adalah bibit tak kunjung tumbuh.
Praktik bertani saya sekarang ternyata masih jauh dari pengalaman dulu. Apa sebab itu terjadi, padahal saya belum tua-tua amat?
Okelah, biarlah itu jadi cambuk. Tak mau kecewa terlalu dalam, saya pun mencoba lagi.
Tinggal di kota, lebih-lebih di kompleks, keterbatasan lahan menjadi persoalan utama.
Saya menyiasatinya dengan menanam secara hidroponik. Harapan saya, dengan metode ini dalam hitungan 22 hari sudah bisa panen.
Menggunakan teknologi air, saya pikir hidroponik kudu sukses dengan bermacam cerita bangga nantinya.
Apalagi pipa-pipa, bor, dan seperangkat alat tanam telah saya pasang menjadi sebuah sistem yang rancak.
Saya berandai-andai, jika ini berhasil, sistem aquaponik, poliponik, monoponik rasanya patut menjadi tantangan dalam masa wabah ini. Saya bertekad akan mencoba nanti.
Apa daya, saya gagal lagi di hidroponik. Jauh hari sebelum panen tiba, daun-daun tanaman telah kuning menghitam gara-gara dihantam serangga.
Saya gagal mempraktikkan kembali ilmu bertani. Saya gagal bercocok tanam.
Sebagai konsekuensi, kantong saya jebol gara-gara pengeluaran kebutuhan untuk mengatasi kebosanan tersebut.
Di situ saya baru sadar, ternyata kenaikan cost gara-gara pandemi nyata adanya dan sangat tinggi. Duh, kantongku.
Covid 19 please … pergi yahh … you were deep enought taking part of our life, please go home…!
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )