~ Ini galeri foto, bukan artikel tentang harga cabai tahun 2019
Gayo tak cuma kopi, Breeders. Di sana tumbuh subur komoditas yang juga pamor hingga ke luar angkasa bernama cabai alias cabe. Jadi, agar supaya kalau ditanyai orang kita Breeders paham soal itu, tulisan ini sengaja menyuguhkan galeri foto penampakan kebun cabe dan petaninya di Gayo.
Foto-foto di bawah ini dengan sangat sengaja diambil di kebun cabe kawasan Aceh Tengah. Kebetulan, saat foto diambil, para petani sedang memanen buah pedas itu. Mereka ikut berekspresi di depan kamera. Beberapa memang cuek dan bersembunyi di balik batang cabe. Usut punya usut ternyata perasaan para petani ini sedang lunglai, akibat harga cabe yang tak sesuai harapan.
Padahal, pada akhir 2017 menuju awal 2018, harga cabai sempat membubung ke angkasa. Satu kilogram cabai merah keriting segar di tingkat petani mencapai Rp50-70 ribu. Ini belum seberapa. Setelah sampai di tangan ajaib para muge dan toke, harga satu kilogram tersebut bisa melonjak hampir dua kali lipat yakni Rp110 ribu, ketika mencapai pasar.
Melihat harga nan menggiurkan itu, para petani pun tergoda. Maka, beramai-ramailah petani tebu di Blang Macung pindah “genre”. Mereka mencampakkan manisnya batang tebu lalu bertungkus lumus menanam cabe. Ada sekitar 90 persen petani tebu di sana yang beralih ke cabe. Persentase ini cuma kira-kira saja ya, jadi belum tentu persis.
Petani tebu Blang Macung umumnya mulai menanam cabe pada musim hujan. Kira-kira September tahun lalulah. Kenapa harus pada September? Ya, petani kan seperti kamu juga Breeders, kalau nembak pacar pasti menunggu momen yang pas. September menjadi bulan terbaik menembak pacar demi menikmati harga tinggi cabe pada akhir 2018.
Namun, dugaan tersebut meleset. Berkebalikan dengan 2017 saat harga cabai naik bertepatan natal dan tahun baru 2018, pada awal 2019 harga justru normal. Entah karena sudah masuk musim Pilpres, harga normal akhir tahun jauh dari kata untung.
Mungkin, bagi ibu-ibu di kota yang “wilayah jajahannya” saban hari adalah pasar tentu senang melihat harga cabe koprol begitu. Tapi tidak bagi petani. Mereka sudah mengeluarkan modal banyak. Untuk satu hektare lahan cabe, petani merogoh kantong Rp35 juta lebih. Harga segini hampir setara nilai depe mobil Pajero Dakar di sebuah toko onlen.
Modal begitu banyak itu dihabiskan untuk menggarap lahan, pemupukan, hingga obat-obatan untuk menjaga kesehatan batang cabai. Jangan tanya modalnya dari mana. Paling sering mereka berutang ke bank atau meminjam dari koperasi. Ini tentu lebih baik ketimbang “kasbon” kepada tengkulak.
Hingga akhir Januari 2019, harga cabai merah terus turun di bawah Rp10 ribu. Walaupun murah, petani tetap memanen demi menjaga nama baik mereka di kancah dunia percabean. Apit, misalnya, petani di Blang Mancung ini berprinsip: pertumbuhan cabe nomor satu, harga nomor dua.
Kalimat tersebut bukan slogan kampanye karena bagaimana pun Apit berharap sebelum almanak bulan ini tiba di angka 28, harga cabe mampu merangkak hingga Rp20 ribu di tingkat petani. Ya, biar tak terlalu buntunglah.
Apakah Apit dan petani lainnya menyesal menanam cabe merah keriting segar itu? Tidak Ferguso, ini buktinya. Mereka bergaya di depan kamera sambil menunjukkan cabe segar hasil panen. Cek saja foto-fotonya di bawah ini.
Disclaimer: Foto-foto ini tidak dibubuhkan watermark, bukan berarti tidak ada hak cipta. Silahkan republish foto tanpa menyebutkan nama fotografer, tapi jangan lupa, ya, sertakan link https://breedie.com.
Disclaimer: Foto-foto ini tidak dibubuhkan watermark, bukan berarti tidak ada hak cipta. Silahkan republish foto tanpa menyebutkan nama fotografer, tapi jangan lupa, ya, sertakan link https://breedie.com.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )