~ Selamat rebahan kawan, ini bantalnya
Idul Fitri tahun ini adalah hari raya tersendu selama 14 tahun perantauan di ibu kota provinsi Aceh. Pasca-dedemit, eh, pandemi bergelar corona mengistirahatkan dunia, semua ruang terasa sempit.
Bahkan untuk bernapas pun kita harus rela mencium kembali aroma jigong sendiri yang kalau lagi puasa harumnya setara dengan wangi si kasturi, tanaman yang berasal dari surga.
Demi kebaikan bersama, di Banda Aceh diberlakukan peraturan wali kota tentang kewajiban memakai masker, bukan daster.
Masker dipakai untuk mencegah penyebaran covid19, dengan cara melindungi hidung dan mulut dari semburan virus mantan yang tidak kasatmata.
Jadi kalau cuma digantung di leher itu bukan masker namanya tapi itu celemek bayi yang baru belajar makan bubur, wahai Mustafa.
Berbicara tentang lebaran, masih kuat terkenang di ingatan rutinitas keluarga besarku di pagi hari ketika hendak berangkat melaksanakan salat sunnah Idul fitri.
Setelah seremoni bermaaf-maafan, mamak, sebagai first lady di rumah kami, tak pernah alpa mengingatkan, “Lampu kamar mandi jangan lupa dimatiin”.
Entah kenapa selalu itu yang beliau risaukan setiap hendak meninggalkan rumah.
Dan sampai sekarang pun aku masih belum mengerti kenapa itu menjadi kata kunci yang rutin dipertegas setiap kami akan berpergian.
Sementara bapak yang selalu tidak sabaran, duduk manis di depan kemudi sambil sesekali menekan klakson sebagai kode agar kami tak berlama-lama.
Baca Juga: Rawon-rawon Corona: Dari Rembele, Depok Hingga Mandasyeh
Seperti biasanya kami sekeluarga melaksanakan salat Id bersama-sama di masjid kecamatan, yang kemudian diakhiri dengan ritual makan lontong di rumah Mak Kol.
For Your Information, Mak Kol adalah sebutan untuk ibu sepupuku yang menikah dengan saudara kandung bapak dan tentunya lahir beberapa tahun lebih awal.
Jangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena akan mengandung unsur body shaming dengan arti kata Mamak Besar.
Ah, tak sempurna rasanya hari besar ini diselenggarakan tanpa mencicip lontong racikan Mak Kol.
Aktivitas makan lontong secara berjamaah ini juga diselingi dengan pembagian tunjangan hari raya dari yang tua kepada yang muda.
Pertemuan keluarga besar ketika hari raya adalah momen langka yang begitu kami idamkan, yang sangat sulit dilakukan pada hari-hari biasa. Mengingat banyak di antara kami yang memilih bekerja di kota yang berbeda.
Lamunanku dibuyarkan oleh dering pesan WhatsApp yang masuk dari adik bungsuku.
“Kakak nggak pulang?”
Kujawab dengan kata sebijaksana mungkin, yang kiranya bisa ia pahami tanpa harus repot-repot googling di internet.
“Lebaran kali ini kakak nggak pulang, Dek. Doakan saja pandemi ini segera berakhir dan Allah berikan kesempatan untuk kita berkumpul lagi.”
Kemudian dia balas dengan kata yang tak kalah bijaksananya, “Iya, Kak, jangan cerita-cerita masalah corona kalau lagi telponan sama Mamak. Cerita yang lain aja biar Mamak nggak kepikiran.”
Adikku yang dulu langsung mindahin remote TV setiap kali mamak mau menonton acara di channel televisi berlogo ikan terbang, sejak berita corona menjadi bahasan di segala lini, malah menyarankan mamak menonton sinetron saja.
Demi agar darah tinggi mamak tidak kambuh lagi.
Baca Juga: All iz Well dan Cara Pemerintah Kita Merespons Corona
Aku pun memilih untuk tidak mudik, demi kecintaanku pada mamak dan keluarga.
Walaupun Banda Aceh belum dinyatakan sebagai zona merah, tapi melihat angka ODP yang terus bertambah dan menyentuh angka dua ribuan, aku tak berniat uji nyali untuk memuaskan egoku sendiri bertemu dengan keluarga.
Hanya ini pengorbanan yang bisa kupersembahkan untuk Indonesia sejak menjadi bagian dari kaum rebahan dan pendukung tagar tetap ‘di rumah aja’.
Yang kulakukan bahkan tak seujung kuku dari pengorbanan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya, yang rela meninggalkan keluarga dan berteman baju hazmat demi menyembuhkan dunia dari corona.
Walau sempat viral juga sebuah tagar ‘Indonesia terserah’ yang menggambarkan kekecewaan mereka.
Memang tak dapat dipungkiri masih banyak orang sepele dengan virus yang telah menghantui seluruh dunia itu.
Mungkin mereka menganggap update kasus positif corona yang setiap hari diumumkan oleh Pak Achmad Yurianto, juru bicara percepatan penanganan covid19, hanya prank belaka.
Bukankah nun jauh ribuan tahun lalu, baginda kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW pernah berpesan melalui Siti Aisyah yang bertanya tentang tha‘un.
Rasulullah memberitahu Aisyah bahwa dahulu tha’un adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Namun, Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman.
Maka tiada seorang pun yang tertimpa tha’un, kemudian ia menahan diri di rumah dengan sabar serta mengharapkan ridha-Nya seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan menimpanya selain telah menjadi ketentuan Allah untuknya. Niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid.
Nukilan dua paragraf di atas ini adalah bunyi hadis riwayat Bukhari, Nasa’i, dan Ahmad.
Ada lagi hadis yang membahas tha’un, dari Bukhari Muslim. Katanya, Tha’un atau wabah penyakit menular adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia.
Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.
Baca Juga: Pengusir Setan Itu Bernama Ceudrie
Seiring corona merebak, kedua hadis ini kerap dipakai penceramah untuk menyadarkan umat agar tidak terlalu jingkrak-jingkrak menghadapi wabah.
Sebagai umat Muhammad yang masih sangat jauh dari kaffah, aku berusaha mengamalkan sabdanya semampu yang kubisa.
Dengan tetap stay at home kita telah berkontribusi dalam perjuangan memutus rantai penyebaran corona yang begitu ganas.
Ibarat kata, bela negaraku saat ini cuma dengan cara rebahan di rumah. Bukan melawan Belanda memakai bambu runcing seperti sebelum 1945.
Imbauan ‘di rumah saja’ di sini bukan berarti nggak boleh keluar untuk mengais rezeki. Jadi jangan salah kaprah.
Keluar rumah boleh-boleh saja asal tetap menjalankan protokol kesehatan. Jangan melakukan aktivitas seperti mengantre dan berdesakan di mall, hanya demi membeli gaya hidup yang sejatinya tak akan pernah cukup.
Hal itu akan melukai hati para tenaga kesehatan yang cuma bisa pakai alat pelindung diri dalam menyambut hari kemenangan Idul Fitri.
Dan akhirnya lebaran bersejarah tahun ini, aku menikmati Banda Aceh tanpa berjabat tangan dan memeluk tubuh yang telah berpeluh melahirkan serta membesarkanku di dunia.
Hanya video call berbekal kuota promo salah satu provider kujadikan sebagai pengurang rinduku; rindu yang selamanya tidak akan pernah tuntas.
Selamat rebahan, Bree.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )