“Oh. Kupikir ini acara kalian?” Maida heran.
“Nggak, itu… euh… ada yang memberikan flyer itu pada kami. Tadi waktu kami ke supermarket.” ujar Nana. Maida manggut-maggut.
“O gitu. Ya sutralah. Biar aku datang saja ke acara ini, nanti kan jadi tahu juga,” kata Maida. Dimintanya beberapa lembar flyer lagi. “Buat anak-anak Klub Jurnalistik. Biar dipasang di Mading,” katanya.
“Aku juga mau datang,” kata Nana. Ditatapnya Dinda. “Yuk, Din, kita datang. Sepertinya asik.”
Dinda menggumam tak jelas. Ia tak yakin. Kalau yang dikatakan si serigala tadi benar, bahwa acara itu adalah besutan bibinya, maka rasanya lebih baik Dinda tidak muncul ke dermaga. Karena pasti serigala itu akan ada di sana juga. Dinda ogah bertemu si serigala. Sebab perasaan selintas yang didapatnya tadi ketika bertemu lagi pemuda itu, membuat Dinda agak bingung. Dia paling tidak suka bila tidak bisa mengidentifikasi perasaannya secara tepat. Jadi, Dinda merasa lebih baik ia menghindari sumber perasaan tak keruan itu.
“Gimana nantilah,” kata Dinda. “Aku pulang ke rumah Jumat ini. Kamu nggak pulang, Na?”
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Kedelapan
Seketika itu juga, Nana terdiam. Dinda menatap kawannya itu. Langsung kaget, karena wajah Nana pucat seperti habis melihat hantu.
“Na? Kenapa?” otomatis Dinda mencoba meraih tangan temannya. Dia makin tak mengerti saat Nana menghindar, lalu membuang muka.
“Kita taruh belanjaan di kamar, sudah itu balik ke Kelas, yuk,” kata Nana. “Sebentar lagi sudah tanda bubar sekolah.”
Dinda mengerutkan kening. Sudah dua kali Nana mendadak pucat dan menghindar, ketika percakapan mengarah pada keluarganya. Dinda menduga bahwa itu mestinya karena perpisahan orangtuanya masih sangat menyakiti Nana. Tapi Dinda tak berkata apa-apa. Diikutinya Nana masuk gerbang Asrama, berbelok ke sayap kanan, tempat kamar mereka terletak.
•••
Sepanjang pekan itu Dinda ada di titik labil. Perasaannya terbagi antara ingin pulang ke rumah, dan keengganan bertemu Ayah.
Sulit sekali bagi Dinda untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Asrama. Apalagi dengan jadwal yang padat, penuh kegiatan. Hari-hari pertama itu, ia sering minta izin ke kamar mandi untuk menangis diam-diam.
Setiap Rabu malam ada kelas Arab-Melayu. Aksara yang selama ratusan tahun digunakan untuk menuliskan bahasa-bahasa di Aceh, dan Sumatera umumnya. Dinda tidak pernah mempelajari Arab-Melayu. Awalnya menatap halaman penuh huruf keriting yang tak ada tanda bacanya itu membuat Dinda bingung setengah mati. Ditambah, ia super minder karena semua anak Asrama nampak santai saja. Mereka semua sudah mempelajari Pegon selama minimal setahun. Jadi memang sudah tak ada kesulitan membaca kitab.
Untung Dinda kemudian sadar bahwa beda huruf Pegon dengan huruf Alquran hanya sedikit sekali. Ada huruf tertentu yang ditandai dengan tiga titik, dengan rangkaian yang khas. Menggunakan sedikit logika dan deduksi, Dinda berhasil menyelamatkan diri. Ia berhasil menguasai dasar Arab-Melayu.
Yang sangat tidak disukainya adalah menghafal. Apalagi, menghafal itu harus dilakukan Subuh, saat udara dingin turun dari Kawasan Ekosistem Leuser, dan sangat nikmat bergelung dalam selimut. Setiap Subuh Nana harus menarik Dinda agar segera bangkit dan mandi. Yang tak pernah gagal membuat Dinda menggigil.
“I hate this school. I hate my life,” pikir Dinda hampir setiap hari. “I hate my dad. I hate everything.“
Untung, di akhir pekan ada setitik kecerahan menyapa. Hari Jumat adalah hari ekstrakurikuler. Dengan kaget tapi senang melihat namanya dalam daftar peserta ekskul Seni Rupa.
“Wuah! Aku nggak tahu aku sudah didaftarkan!” seru Dinda girang. “Siapa yang mendaftarkan ya?”
“Pasti ayahmu, siapa lagi,” kata Nana. Ia sendiri mengikuti ekskul lain. Tapi ia mau saja mengantar Dinda ke Ruang Seni. Katanya, karena ia senang melihat sekian banyak hasil karya seni yang bagus-bagus di sana. Dinda juga senang karena ternyata sekolah itu menyediakan peralatan seni yang cukup lengkap. Dari kuda-kuda kanvas hingga jentera pemutar gerabah, tersedia di situ. Untuk sesaat Dinda lupa bahwa ia sedang marah pada Ayah. Dalam benaknya, Dinda memikirkan Ayah dengan penuh kangen dan kasih.
Guru Seni Rupa menyuruh Dinda memilih satu kuda-kuda dan satu jentera. Ibu guru itu bertubuh tinggi besar, dengan hati dan suara tawa yang sepadan besarnya. Ia senang sekali melihat karya pertama Dinda di kanvas.
“Hmm, kamu berbakat, nak,” diamatinya wajah Dinda sejenak. “Hei. Kamu anak Bang Zach, kan?”
Dinda yang sedang senang hati karena disebut berbakat, langsung lemas lagi.
“Ya Miss. Betul,” lesu ia mengaku. Salah satu hal yang paling mengganggunya sejak tinggal di sini adalah, semua orang tahu siapa ayahnya. Dinda lebih suka tetap jadi tokoh misterius, seperti yang sudah dipertahankannya selama menjadi DĕGedĕ. Tapi sepertinya, di Kota kecil di mana semua orang mengenal semua orang ini, hal itu mustahil didapatnya.
“Oh ho ho! Sudah kuduga. Kamu persis dia,” Ms Santi, guru Seni Rupa, tertawa riang. “Cuma tanpa jenggot, pastinya. Kalian tinggal di Pante Keutapang sekarang, kan?”
Dinda makin lemas. Betul-betul terkungkung ia kini. Segala gerak-geriknya terpantau. Dari mana Ms Santi tahu bahwa rumahnya di Pante Keutapang?
“Rumah ibuku di Pante Keutapang juga,” cerita Ms Santi. “Rumah hijau di Jalan Meulu. Kamu pasti tahu. Banyak tanaman hias di terasnya.”
“Iya Miss,” Dinda makin lesu. Habis sudah. Kalau ibunda Ms Santi penduduk Pante Keutapang juga, Dinda betul-betul terjepit. Terawasi. Seperti macan dalam kurungan. Agaknya Ayah memang sudah memperhitungkan semua ini. Ayah tahu betul bahwa bila mereka tinggal di tanah kelahirannya, maka seluruh Kota akan turut mengawasi anak-anaknya. Cepat atau lambat, apa pun yang dilakukan Dinda akan sampai ke telinga Ayah.
Mengerikan sekali, pikir Dinda lemas. Ini sama saja kayak jadi tahanan kota. Bedanya cuma aku nggak pake gelang yang bisa di-track pakai GPS.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Kesembilan
Lukisan hasil karya perdana Dinda langsung digantung Ms Santi di dinding Utara. Tempat karya-karya terbaik anak ekskul Seni Rupa dikumpulkan. Semua itu akan dipamerkan pada acara akhir tahun. Memandangi lukisan itu di sana, Dinda jadi kangen Abie dan kawan-kawan. Kangen bau cat semprot, udara malam, kangen melukisi dinding Jakarta dan menjadikannya lebih manusiawi.
Jumat sore, mobil SUV Ayah sudah teronggok di parkiran sejak pukul empat. Padahal sekolah baru bubar setengah lima. Dari jendela Kelas Fisika Dinda bisa melihat Dedek di dalam mobil. Anak SMP memang bubar lebih dini.
Bang Tareq membuka jendela penumpang di samping sopir, sehingga Dinda juga bisa melihat Ayah. Ayah mengenakan kemeja warna khaki dengan banyak saku. Rambutnya setengah tertutup oleh sebentuk topi kain lakan. Bagi Dinda, Ayah kelihatan aneh. Agak seperti tokoh ahli arkeologi dalam film petualangan.
(Bersambung ke Bagian Sebelas)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Sepuluh”