“Ngapain ke sini, Bang?” Dinda menegakkan duduk. Celingukan.
“Ngapain? Ya, jemput Ayah….” sahut Bang Tareq, suaranya tidak begitu jelas. Ia membuka pintu mobil, turun. Dedek buru-buru ikut turun. Saat itu Dinda melihat Ayah. Berdiri dekat tumpukan peti fiberglass jingga, di geladak sebuah kapal.
Dinda nyaris tak mengenalinya. Ayah mengenakan topi kain kepar yang tepi-tepinya melesak ke kening dan ujung telinga. Bajunya baju warna khaki dengan banyak kantong yang akhir-akhir ini jadi favoritnya. Lengannya gelap terbakar matahari, brewoknya tampak sudah sepekan tidak tersentuh pisau cukur.
Orang di sebelahnya juga mengenakan topi dan baju serupa. Awalnya Dinda tidak mengenali. Namun setelah sesaat Dinda menyadari postur ramping orang itu.
“Dia,” geram Dinda pelan, pada dirinya sendiri. Rasa tak suka perlahan naik dari perut Dinda, bertahan di dada. Sesak rasanya. Kenapa Ayah ada di pelabuhan bersama perempuan itu? Apa yang sedang mereka lakukan?
Segala pertanyaan Dinda terjawab saat akhirnya Ayah naik ke mobil. Dia menyebarkan bau garam dan air asin. Wajahnya nampak lelah, tapi sepasang matanya bersinar penuh semangat. Begitu masuk mobil, Ayah langsung mengacak-acak rambut Dedek dan main-main menarik kupingnya. Dedek ketawa-ketawa menghindar. Lalu Ayah menoleh pada Dinda.
“Halo, Princess,” Ayah mengalungkan lengan ke bahu Dinda, lalu mencium ubun-ubun anak gadisnya itu. “You okay? Asrama tutup sampai kapan?”
“Nggak tahu,” gumam Dinda. Dengan ujung mata melihat Tante Dian naik ke boncengan motor. Yang menjemputnya, siapa lagi kalau bukan, si Serigala. “Bukannya Ayah sudah dikasih tahu sama Sekolah, Asrama tutup sampai kapan?”
“Mereka nggak bilang secara jelas,” kata Ayah, bersandar ke bangku mobil. “Hanya bilang bahwa mereka akan menunggu sampai suasana kondusif.” Ayah melirik Dinda. “Tapi bagus juga ini. Karena kalian sementara nggak tinggal di Asrama, jadi bisa ikut Ayah, kalau mau.”
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Dua Puluh Satu
“Hah, ke mana, Ayah??” seru Dedek. Belum apa-apa dia sudah bersemangat. Dasar anak kecil, cemberut Dinda.
“Ke Pulau Kipas,” Ayah mendeham kecil. “Ayah ada pekerjaan sedikit di sana.”
“Kerja apa, Ayah?”
“Ayah bantu-bantu kawan,” ujar Ayah. Saat bicara ia sekali lagi mengerling Dinda. “Membangun penangkaran hiu palu kepala renda. Kalian tahu hiu kepala renda itu hiu langka? Teluk Sigupai kita ini adalah salah satu tempat di mana mereka memilih untuk berkembang biak.”
“Hah, hiu martil, Ayah?” Dedek memajukan duduknya. “Ayah menangkarkan hiu martil kepala renda?? Wah, aku mau bantu! Kapan Ayah ke Pulau Kipas lagi? Aku ikut ya!”
“Besok,” sahut Ayah. “Ya, kau boleh ikut.” Ayah menatap Dinda. “Tata mau ikut juga?”
“Nggak.” Dinda langsung menyahut getas. Dia tahu siapa “kawan” yang dimaksud Ayah tadi. Dan ia tak berminat mendukung pertemanan Ayah dengan orang itu. “Di sana pasti panas sekali. Aku nggak suka panas-panasan.”
“Ya sudah,” kata Ayah. “Kalau begitu kami bertiga saja yang pergi.”
Dinda sedang memikirkan kemungkinan mengajak Nana menginap di rumah, ketika motor si Serigala berhenti di samping jip mereka. Ayah langsung membuka jendela mobil. Gerakannya cekatan. Mengesankan bahwa ia sangat menganggap penting para penumpang motor itu. Sementara itu Dinda sendiri merasakan ketegangan naik menjalari punggungnya. Razak anak Smansa, dan sekolah Dinda sedang ada masalah dengan sekolah Razak. Mau tak mau terasa ada ganjalan dalam hati, saat Dinda menatap pemuda itu.
Tapi Razak sendiri nampak biasa saja. Tersenyum lebar menyapa. Bibinya pun demikian.
“Bang Zach,” kata Tante Dian. “Aku lupa. Tadi ada kabar, Bupati sudah setuju bertemu kita besok di kantornya. Jadi ke Pulau kita tunda sampai lusa.”
“Oke,” kata Ayah. “Johan pergi juga, kan?”
“Ya. Otto, Elle, Vincent juga. Theo jaga di Pulau. Tapi… emmmmm…. aku ada problem sedikit, Bang. Besok itu audiensi dengan Bupati ternyata diatur pagi. Jam sembilan. Ajak pastinya sekolah, jadi nggak bisa antar aku. Apa…. emmmm…. Abang bisa jemput aku?”
Dinda yakin sekali ia bisa melihat pipi perempuan itu merona saat mengucapkannya.
“Oh,” tiba-tiba sikap Ayah jadi seperti Dedek kalau menghadapi ayam goreng dan es krim. “Bisa. Pastilah. Aku ke rumahmu jam setengah sembilan, ya.”
“Oke,” pipi Tante Dian sepertinya semakin memerah. “Aku tunggu ya Bang.”
Dinda melirik sebal. Ayah menangkap lirikan itu. Sedetik ia tertegun, seperti berpikir. Lalu berkata, “Kawan-kawan yang lain bagaimana? Elle kos di rumahmu, kan? Untuk dia nggak ada masalah, bisa sekalian dengan kita. Usulku, Otto dan yang lain juga berkumpul saja di rumahmu besok pagi. Biar kujemput sekalian semua.”
“Oh, iya, benar juga. Ya, bagus begitu,” sahut Tante Dian. Ia terdengar bingung, agak malu-malu dan senang sekaligus. “Oke Bang. Sampai besok, ya.”
Dinda pura-pura sedang sibuk melihat ke arah lain ketika Razak menyetarter motor dan pamitan.
“Audiensi apa sih, Yah?” kata Dinda saat mobil mulai bergerak meninggalkan dermaga.
“Kalau ngomong itu tatap orang yang diajak ngomong,” tukas Bang Tareq, mengagetkan Dinda. Dinda tergugu. Ia sadar saat bicara tadi matanya lurus ke depan, tidak menatap Ayah.
“Euh… Ayah…. Audiensi apa?” terbata, Dinda mengulang pertanyaannya. Kali ini sambil memandang ayahnya.
“Tante Dian dan kawan-kawannya mau mengusulkan agar kelompok pulau Kipas, Kepiting dan Gurita dijadikan kawasan konservasi,” kata Ayah. “Kami menemukan tempat bertelur hiu martil kepala renda di perairan ketiga pulau itu. Hiu martil kepala renda selalu bertelur di tempat yang sama, selama bertahun-tahun. Nah, sekarang ini para nelayan Teluk Sigupai nampaknya sudah tahu tempat-tempat hiu ini berkembang biak. Mereka menangkap anak-anak hiu dalam jumlah besar dan menjualnya. Kalau dibiarkan, hiu martil kepala renda akan menghilang untuk selamanya dari Teluk Sigupai.”
“Tapi nanti nelayannya kehilangan mata pencaharian dong yah,” protes Dinda. “Kan kasihan!”
“Menangkap hiu nggak apa-apa kalau yang ditangkap hiu dewasa, yang sudah tua dan tidak bertelur lagi,” kata Ayah. “Yang bayi dan anak-anak seharusnya dibiarkan hidup.”
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Dua Puluh Dua
“Aku pernah dengar kalau harga hiu mahal di pasar. Menjual hiu artinya nelayan bisa membiayai keluarganya selama seminggu. Kalau Ayah dan kawan-kawan Ayah melarang nelayan Sigupai menangkap hiu, memangnya Ayah mau membiayai keluarga mereka??” ujar Dinda.
“… Kan masih ada ikan-ikan lain, Ta,” sela Dedek. “Tuna sirip kuning kan banyak di Teluk Sigupai. Tuna laku banget di pasar luar negeri. Jeunara (mackerel) juga. Tongkol selalu melimpah. Kan bisa menangkap mereka saja, jangan hiu.”
“Ikan-ikan itu nggak semahal hiu, tahu,” sergah Dinda.
Dedek malas beradu argumen dengan Dinda, ia membalik pada Ayah.
“Yah, pokoknya aku ikut ke Pulau Kipas, ya,” katanya.
“Ya.” sahut Ayah. “Besok pagi mobil kupakai jam delapan. Jadi kalian harus sudah siap berangkat sekolah jam tujuh, supaya bisa diantar Tareq, dan tidak terlambat.”
“Beres, Yah,” sahut Dedek.
(Bersambung ke Bagian Dua Puluh Empat)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )