~ Berdasarkan ingatan yang karam
Pagi 26 Desember 2004, laut tampak tenang awalnya. Di Pelabuhan Balohan Sabang, para penumpang sedang mengantre naik ke kapal yang sebentar lagi akan berlayar singkat menuju Malayahati di daratan Aceh.
Di sebelah kapal “lambat” itu, sebuah kapal “cepat” juga sedang menunggu penumpang. Ketika penumpang telah naik semua, kapal “lambat” yang telah menghidupkan mesin, mengarahkan moncong ke Timur.
Tiba-tiba, air laut seperti diaduk. Kombinasi getaran-getaran kecil mengoyang-goyangkan kapal beserta isinya. Air laut di Teluk Balohan bergolak seperti air dalam ember yang digoyang-goyangkan.
Di pelataran kantor pelabuhan, orang-orang berlari keluar bangunan. Sepertinya menghindari sesuatu.
Gempakah itu? Saat itu, tidak semua orang mampu menyebut kata itu dengan tepat. Beberapa memang menyadarinya.
Tapi tahun itu, gempa adalah fenomena langka di Aceh; jarang sekali terjadi. Apalagi yang kekuatannya mampu mengaduk-ngaduk teluk sedemikian rupa.
Sekilas tampak di kanan teluk, ada tebing runtuh. Tanahnya menimpa beko di bawahnya.
Tak semua orang panik. Tapi ketegangan mulai menjalar di atas kapal. Dua jam perjalanan menuju Malahayati adalah waktu yang tergolong lama untuk membahas itu.
Di dek teratas, ada rombongan mahasiswa Biologi FMIPA Unsyiah yang baru pulang dari praktikum lapangan. Jumlahnya lumayan banyak. Semua tampak lelah dan ingin cepat-cepat tiba di rumah.
Kini, kelelahan itu menyatu dengan ketegangan. Mereka dan para penumpang lain mungkin tak mau menduga-duga apa yang terjadi dalam hitungan menit setelah gempa itu.
Hingga … kapal mulai mendekati mulut teluk di lokasi tenggelamnya KM Gurita pada 19 Januari 1996. Di situ, kata orang-orang Sabang, lautnya sangat dalam.
Di ujung teluk itu, tiba-tiba dua hentakan kecil menghantam feri dari depan. Itu bukan gelombang biasa.
Di permukaan laut, jika diamati dari dek teratas kapal, tampak dua gelombang kecil “berlari” dari depan kapal di atas permukaan laut.
Tingginya mungkin setengah meter, atau kurang. Dari apa yang bisa tertangkap mata, jarak kedua gelombang hanya sekitar beberapa depa.
Gelombang apa itu? Padahal, laut terlihat tenang.
Setelah teluk dan gelombang misterius terlewati, daratan Aceh dan Puncak Seulawah mulai terlihat agak jelas di kejauhan. Tak lama, kapal “cepat” melesat mendahului di sisi kanan, menuju pelabuhannya di Ulee Lheue.
Ketika kapal “lambat” berada di posisi antara Malahayati dan Balohan, di permukaan laut tampak hanyut barang-barang seperti ember dan kursi. Makin laju kapal ke depan, bertambah banyak sampah yang bertaburan di laut.
Di tengah keanehan itu, tampak pemandangan ganjil di seputaran Krueng Raya. Sebuah tangki besar (milik Pertamina?) posisinya miring seperti mau roboh.
Di arah Ulee Lheue lain lagi, aura kecokelatan menyelimuti bibir pantai. Dari jarak yang begitu jauh di atas kapal, tak tampak lagi samar-samar pucuk cemara. Ulee Lheue yang terlihat “hijau” jika dipandang dari laut, sekarang buram.
Kapal “cepat” kelihatannya telah tiba di sana tapi hanya berputar-putar di area sekitar mulut pelabuhan.
Apa yang terjadi?
Baca Juga: Setelah 16 Tahun Gempa dan Tsunami Aceh
Di Malahayati, kapal “lambat” sekitar setengah jam lagi bakal berlabuh. Sampah-sampah yang hanyut ke laut kian banyak. Saat itu, kepanikan mungkin telah menyelimuti seisi kapal.
Tangki besar tadi mulai terlihat jelas karena posisinya tak jauh dari bibir pantai. Dan memang tangki itu terlihat miring. Mungkin salah satu tiang penyangganya patah.
Tapi apa penyebabnya?
Sekitar 15 menit mendekati pelabuhan, mulai tampak jelas perkampungan tepi laut Krueng Raya di dekat tangki itu, hancur berantakan. Satu dugaan kala itu, gelombang pasang telah melibasnya.
Tapi, gelombang pasang di tengah cuaca normal dan angin yang melenakan ini, apakah sesuatu yang lumrah?
Keganjilan-keganjilan itu terus berputar di kepala hingga moncong kapal menyentuh ujung dermaga. Di situ terpampang pemandangan kerusakan yang tak pernah tersaksikan sebelumnya.
Di depan gudang pelabuhan yang dindingnya telah koyak, beberapa truk terbalik seperti mobil mainan.
Kantor administrasi pelabuhan tidak rusak. Tapi “gelombang pasang” tadi sepertinya telah menyeret banyak pasir dan ranting kayu serta sampah lain ke halamannya.
Tidak tampak orang di situ. Mungkin mereka telah berlari menyelamatkan diri saat gelombang datang.
Dugaan saat itu, begitu dahsyatnya “gelombang pasang” tersebut menghantam pesisir Krueng Raya hingga Ulee Lheue.
Tapi, penumpang kapal tujuan Banda Aceh tidak diperbolehkan turun. Kecuali yang berdomisili di Krueng Raya dan sekitarnya. Alasan yang beredar dari pengeras suara nahkoda kapal, beberapa ruas jalan menuju Banda Aceh putus.
Mungkin di sekitar Kahju. Pengumuman itu hanya menduga-duga.
Ketika semua penumpang yang dibolehkan telah turun, kapal balik arah menuju Sabang. Kepanikan makin menjalar di atas kapal. Bayi-bayi menangis, ibu-ibunya, dan beberapa orang dewasa lainnya ikut menangis.
Semua mencoba mencari tahu bala apa yang sedang terjadi. Sekaligus juga khawatir, apakah gelombang pasang itu datang lagi? Bagaimana kalau gelombang itu datang sekarang dan menghantam seisi kapal di tengah laut?
Perjalanan balik itu seperti melewati maut!
Baca Juga: Cerita di Balik Lagu Tsunami yang Memakai Bahasa Aceh dan Inggris
Namun tanpa disadari, bala dan maut besar sesungguhnya telah terjadi di daratan Aceh ketika kapal “lambat” itu sedang menuju Malahayati. Mungkin, dimulai ketika kapal dihantam dua gelombang yang “berlari” begitu cepat menuju darat.
Kapal feri yang “lambat” itu melewati menit-menit krusial setelah gempa karena langsung berlayar ke Malahayati. Lain cerita bila kapal tetap bersandar, entah apa yang terjadi.
Mungkin akan ikut terangkat terbawa gelombang yang datang menghantam Teluk Balohan.
Kapal itu diselamatkan ketika di saat yang sama, ratusan ribu orang lainnya berjuang menyelamatkan diri dari apa yang hingga kini kita sebut dengan penuh getir: tsunami. Tapi takdir berkata lain, mereka tak selamat.
Al Fatihah untuk para syuhada tsunami Aceh. Kenanglah mereka dan kirimkan doa-doa terbaik. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat-tempat terindah yang telah dijanjikan-Nya.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Detik-detik Tsunami Aceh: Gelombang Misterius dari Tengah Laut”