~ Menuju ke tempat ini rasanya seperti menuju ke …
Berawal dari stalking Instagram dan Facebook mantan, saya melihat sebuah foto yang cukup menarik serta sudah viral di media sosial. Foto itu berisi pemandangan danau yang disuguhi kursi dan meja serta didesain ala Eropa dengan mengutamakan konsep dermaga tepi danau. Hasil sementara yang saya tahu tempat itu berada di tepian Danau Laut Tawar, Takengon, Aceh Tengah.
Kebetulan, lebaran kelima saya bersama keluarga masih diberi kesempatan berada di kota dingin itu. Jadi, saya wujudkan niat untuk mencari tempat tersebut. Perjalanan hunting ke tempat yang menggugah penasaran itu pun dimulai saat pagi; ketika matahari sudah terbit seperempat di celah langit. Sekitar pukul 10.00 WIB, kami langsung berangkat dari Kota Takengon.
Sebelumnya kami membawa bekal untuk mengantisipasi perut lapar di tengah kemacetan kendaraan yang mengular sepanjang perjalanan. Hal ini menjadi tips penting bagi para wisatawan yang ingin melancong di hari-hari libur lebaran. Menghentikan kendaraan di tengah keramaian idem dito mengusik lebah yang sedang tidur. Saya harus bersiap-siap menerima rentetan peluru AK-47 repetan dari pengendara lainnya.
Oke, langsung saja kita ke perjalananannya. Dari arah kota saya menuju ke Kampung Asir-asir. Saking banyaknya orang yang ingin menuju ke tepi danau, sempat molor waktu sekitar 15-20 menit, karena macet. Di waktu seperti ini, perahu sebenarnya sangat perlu untuk menerabas kemacetan tersebut. Apa daya, saya belum berniat membelinya.
Setelah melewati Asir-asir, beberapa spot wisata tepi danau lain saya temukan. Salah satunya, Dermaga Lukup Penalam yang lokasinya cukup terjal. Harus menapaki beberapa anak tangga yang lumayan ekstrem juga bagi penderita encok pinggang. Tapi bukan itu tujuan saya.
Di sepanjang perjalanan terlihat beberapa warga menjemur dan menjajakan ikan depik di perkarangan rumah mereka. Depik ini ikan khas Danau Laut Tawar. Bentuknya kecil panjang hampir menyerupai kareng alias ikan teri.
Tiba di Kampung Rawe, belum ada juga penampakan tempat yang saya cari. Selanjutnya saya terus menuju ke Kampung Kalang. Hasilnya juga sama, belum terlihat ciri-ciri penampakan objek wisata tepi danau tersebut. Ternyata, setelah menelisik lebih jauh, tempat yang dituju sudah terlewati. Dengan susah payah kami pun memutar arah balik sambil mencoba mencari tahu keberadaan tempat itu. Upaya pencarian mengandalkan akses internet yang sudah mulai Edge__bukan Microsoft Edge, ya. Lelet, sudah pasti.
Setelah melewati beberapa kampung dan menerabas jalur agak sempit nan terjal, saya pun berikhtiar kembali kepada pepatah lama: malu bertanya, jalan-jalan. Saya mencoba mencari tahu keberadaan tempat itu dengan bertanya kepada warga setempat. Selain menambah silaturahmi, saya sudah tiba pada kesimpulan, susah menemukan lokasi tersebut jika hanya mengandalkan internet dan arah angin.
Beberapa tempat wisata di tepi danau belum diberi papan nama. Ini juga salah satu faktor yang membuat banyak masyarakat yang belum pernah berkunjung ke sana merasa kebingungan. Walaupun tempat wisata itu sudah viral di media sosial. Ternyata, viral hanya menjamin sesuatu hal terkenal tapi susah untuk disambangi.
Alhasil, setelah bertanya kepada Aman-aman setempat, tempat yang saya maksud itu ternyata berada di Kampung Bale Nosar, Kecamatan Bintang. Tempat itu diberi nama Dermaga Teluk Suyen atau Dermaga Emas kalau sebutan orang setempat. Tanpa banyak mengulur waktu saya langsung memutar lagi arah kendaraan karena ternyata tempat yang dituju masih jauh dari lokasi, kira-kira 20 menitan lagi.
Sesampainya di sana, belum sempat mengeluarkan nafas lega sebanyak-banyaknya, kami langsung disambut para tukang parkir dadakan. Area parkir memang ada tapi belum begitu tertata. Beberapa pengunjung bahkan memilih memarkirkan mobil di pinggir jalan. Akhirnya, jalan yang memang sudah sempit itu menjadi kian sempurna … sempitnya.
Sementara, untuk masuk ke lokasi pengunjung cukup membayar tiket sebesar lima ribu rupiah per orang. Biaya ini include dengan tarif parkir kendaraan.
Setelah menarik rem tangan, saya kembali fokus pada tujuan. Di depan mata kini terpampang dermaga yang viral itu; yang fotonya begitu indah ketika saya jumpai di Instagram.
Di dermaga, pengunjung membeludak seperti sekumpulan semut mengeroyok gula-gula. Beberapa orang bahkan tak mau beranjak dari sebuah spot foto. Mereka terus mengabadikan panorama di tempat itu dari berbagai sudut.
Saya awalnya menduga spot tersebut sudah disewa oleh mereka. Ternyata bukan. “Saya sudah menghabiskan bensin pergi kemari, jadi saya harus banyak foto di sini,” ujar seseorang di antara mereka. Padahal, saya yakin dari puluhan foto yang diabadikan, mungkin hanya satu yang diunggah ke media sosial.
Jikalau sudah capek jemur gigi depan kamera, pengunjung bisa beristirahat di tenda-tenda kecil yang disewakan oleh pemilik tempat wisata. Cukup membayar Rp50 ribu. Wahana lain yang tersedia adalah perahu. Pengunjung harus membayar 15 ribu perorang jika ingin merasakan sensasi ber-selfi di tengah danau. Bila lapar dan haus, terdapat lapak yang menjual makanan dan minuman seperti mi Aceh, mi so, dan jagung bakar. Kalau mau sedikit capek, silakan masak sendiri, membakar ikan misalnya. Bahkan, membakar kenangan juga tidak dilarang.
Walaupun tidak lama berada di situ, rasa penasaran dan lelah saya terobati. Berada di tempat itu memang menenangkan. Saya ingin kembali ke sana, di lain waktu. Sekaligus menikmati objek-objek wisata lain yang bertebaran di tepi danau itu, seperti Pantai Gemasih, Pantai Ketibung, Pantai Menye, dan Ujung Paking. Kenapa ada pantai di danau? Datang ke sana dan tanyakan sendiri, ya 🙂
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )