~ Puisi selamanya!
‘Pabila kata-kata pelan-pelan kendur dan tak sanggup mewakilkanku mempuitiskan kampung dan cara-cara negara mengamankannya dari protes pemukim tergusur, aku akan berbaik sangka pada aparatur sipil (ambtenaar) dan gubernur militer Hindia Belanda.
Bahkan bekerja untuk kepentingan mereka; baik secara menyamar atau terbuka. Semua ikhlas berbayar.
Jika upah yang terkumpul cukup, akan kugunakan membiayai ongkos cetak sebuah buku himpunan sajak lengkap yang kuidam-idamkan untuk menuntun orang agar mengerti bahwa betapa mewahnya kata-kata jika sudah bicara tentang cinta, sunyi dan rindu.
Sebab, di dalam tiga kata itu, ada banyak hal remeh tapi penting disembunyikan, agar puisi-puisiku gagah dan mampu menempeleng jiwa remaja yang baru saja aqil baligh selepas disunat ujung kelaminnya.
Namun, tatkala aku coba-coba mencipta puisi atau katakanlah lirik lagu yang terang-terangan mempersoalkan ketimpangan pendapatan, orang kaya licik dan orang bijaksana yang culas hingga laku manipulatif pemuda baik-baik, aku terjebak bijak sesaat: memandang semua persoalan bangsaku itu, bukan masalah serius.
Aku memilih untuk memahami mengapa orang soleh culas, orang kaya makin licik menimbun harta, dan pemuda dengan kesan baik-baik berperilaku manipulatif jika berurusan dengan duit.
Aku meyakini, perilaku mereka itu didorong juga oleh cinta (yang di dalamnya ada Sunyi dan Rindu). Misal, bagaikan cinta pada benda-benda dan perkakas. Benda pakai dan pajangan, perkakas pakai, dan penyokong gaya hidup.
Siapa, sih, sudi disebut ketinggalan zaman dalam hal kepemilikan teropong bertatah emas di ujungnya dan daya jelajah lebih empat mil jauhnya?
Juga siapa yang tahan untuk tak memiliki rumah berkonstruksi beton yang didesain mirip-mirip istana gubernur militer Hindia Belanda di Batavia beserta alat dapur dan isi garasi dengan oto produk Jermani?
Semua itu didasari oleh cinta, kecintaan, dan mencintai.
Baca Juga: Menanti ‘Belanda Berkopiah’ Naik Dewan
Jika kata-kata pelan-pelan mulai longgar dimaknai masyarakat bermuka dua di kampungku, aku harus pergi menjauh dengan sebatang pena ajaib berdawat merah. Belajar kembali menulis puisi-puisi pendek sarat emosi di Yogyakarta, Denpasar, dan Bandung, dan kota-kota besar lain yang terdengar melankolik bagi kerabatku di kampung.
Batavia mungkin terlalu buruk untuk “cinta, sunyi dan rindu”. Batavia beradab karena uang bisnis VOC yang dikeruk dari kampung-kampung polos di setiap sudut Nusantara. Namun, memilih menulis puisi di jantungnya yang berdegub tak beraturan, menjadikanku terlihat bertamadun dan intelek.
Bahasa sederhana yang mudah dicerna tak kugunakan lagi. Aku ingin dimengerti, ditafsir, dan ingin benar dianalisa sedemikian rupa seperti Tuan Snouck menafsir-nafsir perilaku masyarakat Koetaraja dan sekitarnya yang amat “benci ruman” pada bangsa Eropa.
Sebagai penyair, aku tak punya senjata lain. Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bingung di negeri orang hanyalah membuat sketsa melalui kata-kata. Selebihnya memotret diri saat di tempat tidur hotel dan meja kantor.
Kadang ke taman kota yang teduh. Agar daku dapat kiranya merenung sambil bersiul menggoda perawan yang pulang berbelanja. Akulah penyair kota itu.
Baca Juga: Sahur Stories: Berhemat Obat Ketiak
Puisi akan kutulis terus-menerus sampai aku miskin kata-kata untuk bercakap dengan tetangga. Aku menabung kata dan irit bicara. Kecuali untuk menanyakan letak jamban umum dan warung makan. Hingga, kata-kata yang berlimpah sepenuhnya dapat kugunakan untuk puisi semata-mata.
Lain tidak.
Aku tak akan masuk ke angkatan pantun Melayu bersampiran, pujangga baru, angkatan 45, angkatan 66, penyair 2000-an hingga gerombolan milenial.
Aku akan terus menulis puisi cinta, sunyi, dan rindu. Cinta pada atasan yang membayar upah kerjaku.
Maka, aku menjadi staf kehumasan masa kini. Menulis anjuran melalui pendekatan puisi hingga mengirimnya ke redaksi Breedie yang ultah tahun ketiga bulan ini. Semua itu demi money dan harga diri. Bahwa melalui puisi, “aku bisa hidup seribu tahun lagi”.
Aleh paki-paki!
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )