Saya, Referendum Aceh, dan Cinta Segitiga Kuch-Kuch Hota Hai

“Udah ya, matikan dulu. Kami mau ke kedai. Kapan-kapan sambung lagi,” ujar si Bapak pemilik rumah sambil tiba-tiba mengeluarkan CD. Kami cuma bisa terbengong dan kesal setengah mampus.

Ilustrasi Referendum Aceh (freepik)

~ Ini nostalgia berbau referendum Aceh, dilarang baper ya …

Kata referendum kembali populer di Aceh. Di pusat sana, pemerintah ketir-ketir, di aras bawah dukungan terus mengalir.

Wacana referendum puncanya ketidakpuasan. Situasi ekonomi politik yang tidak sebanding melahirkan fenomena psikologis: deprivasi relatif.

Ada pula yang sinis. Menganggapnya tak lebih dari sekadar manuver politik individu atau kelompok yang ketenarannya mulai melongsor.

Berbeda dengan yang terjadi pada 1999 silam, kali ini, referendum yang masih sebatas cuap-cuap meruap lebih cepat. Tenggelam ke pusat mayapada. Mungkin karena mau dekat hari raya, isu referendum teralihkan dengan isu harga daging atau cabai.

Tapi, ah, bukan urusan saya. Saya di sini cuma mau bernostalgia, menuangkan sedikit cerita masa kecil, hari-hari saat referendum Aceh sedang fenomenal.

Saya mulai dengan pada suatu sore yang menarik di Meulaboh, Aceh Barat. Kala itu, Kuch-Kuch Hota Hai sedang marak-maraknya.

Film diperankan oleh Shakhrukh Khan, Kajol, dan Rani Mukherjee yang dirilis pada akhir 1998 ini menjadi tontonan wajib. Kalau belum nonton, bisa mendapat cibiran warga satu kompleks, saat itu.

Rental-rental CD (compact disc ya bukan celana dalam) di Meulaboh menampang poster Kuch-Kuch Hota Hai dengan ukuran besar. Saya sering berlama-lama memandangi poster-poster tersebut. Serasa berada di Mumbai.

Rahul memakai jaket kuning dan berkacamata. Anjali yang juga berkacamata berada di sampingnya, memakai baju dan celana biru ketat berlis serta topi putih yang ujungnya sengaja dimiringkan ke kanan–gaya khas anak muda ’90-an yang tak pernah saya temukan lagi saat ini.

Keduanya berjongkok dengan gaya lawas sambil memegang sebuah papan seluncur bertuliskan angka delapan. Latarnya adalah gambar para pemeran utama, yang mengisyaratkan bahwa film tersebut bercerita tentang cinta segitiga (alias cinta iluminasi).

Hubungan Rahul Khana dengan Anjali Sharma awalnya sangat akrab. Keakraban itu–meminjam istilah keren–terdistorsi dengan kehadiran sosok Tina Malholtra, seorang mahasiswi cantik pindahan dari Oxford. Si Tina ini juga anak dari rektor kampus tempat mereka kuliah.

Berbeda dengan Anjali yang tomboi, Tina sosok wanita feminin. Rahul pun jatuh hati pada Tina. Ia tak sadar, seseorang diam-diam menyimpan rasa padanya. Sama seperti yang ia rasakan pada Tina. Anjali rupanya mencintai Rahul.

“यदि आप भाषा के बारे में अधिक जानना चाहते हैं, तो आप अभी तक इसका उपयोग नहीं कर सकते। उसे एक दोस्त को पहले सीना है अगर जग्गी मेरी प्रेमिका है,” kalimat yang pernah diucap oleh Rahul ini memperkuat keyakinan Anjali bahwa Rahul juga mencintainya. Sayang, belum sempat bilang ‘Wo ai ni’ sama Rahul, sang pujaan hati sudah lebih dulu mengutarakan ‘I love you’ kepada Tina.

Singkat cerita, Rahul pun menikah dengan Tina. Keduanya main dokter-dokteran, lantas punya momongan, namanya Anjali juga. Dinamakan begitu, karena ingin mengenang Anjali yang telah lama menghilang ke antah-berantah jauh sebelum Rahul-Tina ijab kabul.

Saat Tina meninggal, Rahul hidup dalam kekosongan. Semua berubah saat ia bertemu kembali dengan Anjali di Summer Camp Shimla atas jasa putrinya. Sebelum meninggal, Tina rupanya menulis surat di setiap ulang tahun putrinya yang baru diberikan ketika putrinya itu berusia delapan tahun.

Dalam suratnya, Tina berpesan kepada putrinya agar menyatukan ayahnya dengan Anjali. Saya baru sadar, ini rupanya arti tersembunyi dari angka delapan yang ada di papan seluncur di poster yang saya lihat belasan tahun silam.

Lambat laun, Anjali besar tahu bahwa Anjali kecil adalah anaknya Rahul. Ia pun turut bersedih mendengar kabar yang menimpa Tina. Pertemuan Rahul dan Anjali awalnya berlangsung kikuk. Lama-lama cinta bersemi.

Sad moment ala Indianya begini:

Ketika itu hujan tiba-tiba turun. Rahul dan Anjali berteduh di bawah sebuah gazebo. Lelaki yang sedang “sor badeuk” itu tiba-tiba mengajak Anjali berdansa. Kebetulan suasana lagi sepi.

Anjali memberi isyarat: No music no dance. Rahul tak kehabisan cara. Ia memainkan jemarinya, lalu entah siapa yang memainkan, tiba-tiba terdengar piano mengalun membentuk nada ‘teng ting teng ting teng teng’.

Keduanya pun larut berdansa diiringi backsound Kuch-Kuch Hota Hai sembari memeragakan adegan yang dapat dikatakan agak-agak ‘foreplay’. Klimaksnya, ketika Anjali mulai membelai wajah Rahul lalu teringat bahwa ia sudah dipinang oleh pria lain.

https://www.instagram.com/p/By6zOnWHJfG/

Menyesal atas kekhilafannya, Anjali pun lari meninggalkan Rahul. Sebagai catatan, adegan berlari ini dimulai ketika film berjalan pada 2:37:50. Ketika Anjali berlari backsound terus berjalan, namun temponya sedikit lebih cepat.

Anjali berlari melewati jembatan, menerobos semak-semak, masuk ke hutan lalu mentok pada sebuah batang kelapa. Lari-larian ini berlangsung sekitar 25 detik saja.

Perempuan itu terengah-engah karena kecapaian. Lalu muncul sebuah tangan yang merangkulnya dari belakang. Entah kek mana pulak orang itu bisa muncul tiba-tiba.

“Udah ya, matikan dulu. Kami mau ke kedai. Kapan-kapan sambung lagi,” Bapak yang punya rumah tiba-tiba mengeluarkan CD. BGSD! Kami cuma bisa terbengong, memandang sesaat ke layar TV 21 inci biru bertuliskan ‘Digitec’ lalu beranjak. Rasa kesal bertumbuk haru gelinjang di ubun-ubun.

Masa itu, rumah berparabola dan memiliki pemutar CD masib sangat langka. Pemiliknya dihormati, anaknya adalah teman setiap orang, disanjung, dan dijilati. Jika tidak, siap-siap dicoret dari list nama penonton gratisan.

Rumah-rumah yang memiliki parabola dan pemutar CD dikerumuni tetangga dan anak-anak setiap hari. Tidak jarang, si pemilik rumah bermuka masam ketika tercium bau kaki atau kentut yang berasal dari penonton gratisan.

Menariknya, ada pula yang mengambil kesempatan memanfaatkan kemiskinan tetangganya dengan memungut bayaran. Per penonton Rp100. Lumayanlah. Orang kaya memang selalu punya kesempatan mencuri dari si miskin.

***

Sejurus kemudian, saya dan teman-teman sudah berada di pinggir jalan raya. Niatnya menonton lagi. Kali ini, yang ditonton adalah arak-arakan kendaraan pengangkut massa.

“Aceh ta peu maju, J*** ta koh taku,” demikan salah satu yel-yel yang diteriakkan oleh orang-orang dari atas truk berspanduk Referendum. Sore itu, saya mengenakan peci bulat dengan hiasan motif diagonal warna kuning. Beberapa penumpang sempat menyalami sembari berteriak “Aceh Merdeka” yang saya sambut dengan pekik yang sama, khas anak seusia saya, tentu saja.

Rombongan itu bak ular. Panjang tak putus-putus. Kelak, saya baru tahu bahwa mereka sedang dalam rangka membumikan referendum sebagai persiapan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) yang digelar pada 8 November 1999 di Banda Aceh.

Saat itu, grafiti bertuliskan referendum dengan mudah ditemukan di mana-mana di Aceh. Di dinding toko, atap rumah, bahkan di atas aspal jalanan. Grafiti-grafiti tersebut bertahan hingga beberapa saat namun perlahan hilang oleh hujan. Sama seperti harapan yang tertanam di dalamnya.

Setahun kemudian saya baru bisa menonton sambungan film Kuch-Kuch Hota Hai yang sempat putus. Keluarga saya membeli pemutar CD pertamanya. Tentu saja, saya masih sempat merasakan nikmatnya mencoret nama tetangga dari list penonton gratisan, hanya karena yang bersangkutan mengupil lalu menempel upilnya di lantai rumah.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *