Sebuah Jazz biru metalik melejit, berbelok di pengkolan lalu berhenti depan minimarket. Seorang pria berkaca mata hitam polarized ala retro cop keluar dari mobil. Lelaki itu melenggang gagah dengan dada agak dibusungkan. Tangan kanannya mencangking tas tangan pria model terbaru yang bisa dipesan COD di toko-toko maya.
Sebuah gelang emas (mungkin) bermotif naga melilit di tangan kiri. Di depan pintu minimarket yang bening, dia mematut diri sebentar. Lalu, menaikkan sebagian jambulnya yang berjatuhan ke dahi. Rebennya tak dibuka. Mungkin takut silau. Sembari tangan kirinya mendorong pintu, jempol kanannya menggulir-gulir layar hape. Entah konten apa yang dilihat, lantas ia terkekeh. Di sudut toko, petugas minimarket hanya melihat sekilas; memastikan kalau yang masuk manusia bukan kambing tetangga.
Perbuatan gulir-menggulir itu berlangsung serokok saja sampai si pria ini berkeliling dari satu rak ke rak lain di dalam minimarket. Tak lama, satu kantong kresek penuh belanjaan dibawanya ke kasir.
Waktu itulah, kali pertama aku bertemu Lek Rohim. Ia duduk tafakur di antara dua batang lantana camara muda, yang terletak hanya selang satu ruko dari minimarket. Di sampingnya terdapat setumpuk kardus.
Lek Rohim seorang juru parkir kawakan. Sepeda motor yang lalu lalang, kakofoni dari knalpot pengendara yang pongah; dua hal yang ditangkap sepasang mata dan telinganya, saban hari.
“Kenapa harus aku bayar? Kan sebentar? Kau nggak tau siapa aku, ya?” sergah berkaca mata hitam itu mencak-mencak, lalu melempar uang seribuan ke muka Lek Rohim, lantas menutup kaca Jazz-nya yang full ase.
Dimaki orang-orang seperti itu sudah biasa bagi Lek Rohim. Dia bahkan sering tak mendapat bayaran sama sekali. Tak jarang, Lek Rohim hanya diberi sekeping uang logam 200 perak sisa kembalian dari kasir minimarket.
Jika beruntung, ada yang memberinya selembar ribuan koyak. Paling ekstrem, di antara yang koyak-moyak itu ada yang lambang pancasila-nya hilang. Namun, untuk semua perlakuan dari pengguna parking lot itu, Lek Rohim hanya mengelus dada. Tak pernah sekali pun ia marah.
Hari itu, Lek Rohim curcol alias curhat colongan kepada saya. Yang dia keluhkan bukan soal-soal di atas tadi, melainkan tentang politik. Lek Rohim bercerita bahwa menjelang pemilu dia dan teman-teman seperjuangan biasanya diajak berkumpul oleh orang-orang yang you-must-know-lah-what-i-mean atas nama caleg tertentu. Mereka ditempatkan di sebuah teratak lalu dipaksa mendengar orang-orang tersebut membacot.
Namun, yang paling murahan, saat Lek Rohim cs disosori muncrat ludah omong kosong bau jigong berselimut visi misi. Di akhir pidato yang kadang berapi-api itu, tak lupa orang-orang itu menaruh doa dan harapan agar mimpi duduk di takhta kelak tercapai. “Tapi nasib saya sampai sekarang masih gini-gini aja,” Lek Rohim tersenyum kecut.
Dia bangkit lalu mulai mengumpulkan potongan kardus yang berserak yang biasanya ia gunakan untuk memayungi kendaraan yang diparkir. Waktu menunjukkan pukul setengah enam. Azan Magrib sebentar lagi berkumandang.
Lek Rohim menyeberang jalan sembari memberi kode agar pengendara. Lima menit sesudah itu, Lek Rohim keluar dari samping sebuah ruko bersama sekarung goni penuh plastik bekas.
“Kalau plastik itu dua ribu (rupiah). Jualnya di samping samping terminal. Sehari lumayanlah. Buat beli beras,” kata dia.
Selain juru parkir, mengais sampah untuk memungut plastik bekas telah lama dilakoni oleh Lek Rohim. Bahkan untuk separuh hidupnya.
Lek Rohim memiliki tanggung jawab yang amat besar sebagai kepala keluarga. Seorang istri tunadaksa, dua anak yang putus sekolah, menjadi alasan mengapa terkadang ia belum pulang hingga larut malam.
“Karena itu saat lagi sepi-sepinya kan? Dan masih bisa banyak dapat [plastik],” sebut lelaki kelahiran 1964.
Ihsan, anak Lek Rohim yang paling bontot ikut menopang tonggak rapuh ekonomi keluarga. Sementara abangnya jadi buruh dodos di sebuah perusahaan sawit, Ihsan ikut menjadi juru parkir di samping sebuah pusat rekreasi keluarga yang juga tempat bermain anak.
Tempat itu persis mimpi buruk. Saat anak-anak seumurannya bermain riang ditemani kedua orang tua mereka, yang bisa Ihsan lakukan cuma menelan ludah. Menelan kecutnya kenyataan.
Ketika burung pipit hampir tiba di sarang, Lek Rohim semakin menjauh bersama becak barang soak miliknya. Mata tua itu tampak lelah: angannya singgah di meja-meja restoran, lapak penjual roti bakar, toko-toko pakaian, kafe-kafe, baliho caleg, serta bendera partai.
Sepekan setelah pertemuan dengan Lek Rohim, aku menemukan segepok kartu nama seorang caleg pria teronggok di atas salah satu meja tempat biasa aku makan siang. Wajahnya membuat aku teringat seseorang yang pernah mencak-mencak dan mencampakkan uang seribuan ke muka Lek Rohim tempo hari. Aku rasa, aku mulai kehilangan nafsu makan.
https://www.instagram.com/p/Bu0eeOKBdnY/
Diperbarui pada ( 2 Februari 2024 )