“Assalamualaikum…Nyak Daraaa, Nyak Cut…hoka ureung (mana orang-orang)?”
Eh, itu suara nenekku. Suara yang seketika membuatku menghambur ke halaman depan rumah.
“Nek, mana oleh-olehnya?” rayuku sambil memegang manja tangannya; rayuan ‘template’ yang acapkali kuucapkan setiap nenek berkunjung.
Nenekku punya kebiasaan setiap pulang dari masjid selalu singgah karena rumahku memang bersebelahan dengan masjid. Nenek memang sering mampir menengok kami para cucunya dan mengobrol sebentar dengan anaknya, yaitu mamakku.
“Jaannnn…hujaannnn…lihat elangnya besar sekali, mana aku tak membawa kameraku, harusnya aku bisa memotret elang itu dengan keren!” teriakan Tebing tiba-tiba memudarkan anganku tentang nenek.
Oh, iya kenalkan namaku Hujan, lengkapnya Cut Hujan Anugrah. Aku berasal dari sebuah desa di pesisir timur Aceh. Kenapa namaku sangat umum? Mungkin saat ibu sedang mengandungku beliau lagi senang-senangnya sama hujan.
Dan nama ini tak salah tarok. Aku juga sangat senang dengan hujan. Momen turun hujan, kecuali yang ada petirnya, selalu kutunggu.
Sementara Tebing, lengkapnya Akbar Tebing Wijaya, sahabatku yang lahir dan besar di Banda Aceh, ibu kota provinsi, tapi orang tuanya berasal dari kawasan Pantai Barat Selatan Aceh.
Hobi Tebing memotret. Kenapa namanya juga umum sepertiku, mungkin waktu itu Mamaknya ngidam ingin memanjat tebing. Entahlah.
“Ah, Tebing, kau menghilangkan bayangan nenek di kepalaku,” comelku.
“Nenek? Nenek siapa? Hehe…”
“Ya nenekku lah! Aku sedang merindukan nenek, semalam tiba-tiba ada kerabat mengirimkan foto nenek, seketika kenangan tentang nenek menyergap seluruh memoriku.”
“Oh, maaf, aku girang tadi melihat elang besar, tapi karena kita naik sepeda aku tidak bawa kamera.”
Aku dan Tebing memang sering bersepeda bersama, menyusuri taman kota atau menuju suatu lokasi yang kami suka. Sore ini kami berada di sebuah padang rumput dan menikmati kopi yang kami bawa sambil selonjoran di bawah batang asam jawa yang besar.
“Kamu masih punya nenek, Bing?”
“Nenekku meninggal saat aku masih kelas dua SMP.”
“Oh, aku kehilangan nenek saat sedang skripsi dulu, dan aku nggak sempat melihatnya untuk terakhir kali karena sedang di Pulau Jawa bersama kakakku…” Tetiba sebentuk sesak menyeruap ke dadaku.
Baca Juga: Mengenal Jeungki, Mesin Penumbuk dari Zaman Old Buah Karya Indatu
“Eh, Jaann…Jaannn…jangan mendung, entar aku repot turun hujan nggak bawa raincoat ni. Peri hujan nangis berabe ni sore-sore…hahaha.”
“Ah, kau selalu menggodaku begitu, tapi coba lihat deh foto nenekku, keren kan, macho gayanya…makanya aku casingan-nya kayak gini ikutan nenekku…hahahaha,” ujarku sambil menunjukkan gambar nenek di hapeku kepada Tebing.
“Hooh, nenek yang keren, gayanya paten. Jaman dulu unik ya, jan?”
Ya, itu memang gaya khas nenekku, Pocut Aminah. Seingatku nenek selalu memakai kain sarung dengan kebaya atau baju kurung, tapi seringnya kebaya sih. Lalu kepalanya ditutup dengan kain putih, kadang-kadang hanya hanya melilitkan sehelai ija sawak. Simpel sesuai syar’i.
Andai saja ada orang sekarang memakai baju gaya jadul kayak gitu pasti keren dan unik. Sekaligus mengingatkan generasi milenial tentang budaya yang hampir punah itu.
Nah, selain busana wajib itu, nenekku juga memiliki aksesoris pelengkap lainnya. Jika bepergian nenek akan melilitkan kain panjang di bahunya. Kedua ujung kain ini diikat ke belakang. Mirip kain gendongan bayi. Makanya orang-orang kampung menyebut benda tersebut seulingku. Tapi bagiku itu semacam ‘kantong Doraemon’ karena banyak benda, kecuali pintu ke mana saja atau Ferrari, muat di situ. Mulai dari duit hingga oleh-oleh.
Kemungkinan, itulah pengandaian orang dulu terhadap tas. Ketimbang mengusung eumpang ke mana-mana, lebih baik dibuatkan satu tempat khusus untuk menaruh duit dan buah tangan yang kecil-kecil. Apalagi, jika barang bawaan agak banyak, pasti ditaruh dalam seulingku biar tidak berceceran.
Makanya, setiap nenek singgah ke rumah, momen beliau merogoh ke seulingku adalah hal yang paling kutunggu. Setelah tangannya masuk mengaduk-ngaduk isi seulingku, jantungku berdentam-dentam sesaat, menunggu barangkali ada oleh-oleh yang cocok buatku. Seringnya ada saja oleh-oleh yang dibawa nenek, dan aku menerimanya dengan semringah.
Selain seulingku, nenek juga punya ‘kantong Doraemon’ yang lain. Namanya keulandet. Jika seulingku posisinya di dada, keulandet berada sejajar pinggang. Keulandet dibentuk dari ujung sarung yang terlilit di pinggang. Entah bagaimana cara menyetelnya, pokoknya di pinggang selalu ada bagian sarung yang bila ditarik keluar, ukurannya lumayan lebar. Barangkali dua kali lebar dompet-dompet wanita kiwari.
Di dalam keulandet itu nenek menyimpan uang koin recehan. Mulai dari koin bergambar rumoh Aceh hingga kepala burung. Harta karun ini membuatku beruntung untuk sekadar beli mie grip-grip.
“Tau nggak, Bing, nenekku itu perempuan hebat dan kuat, beliau rajin banget bekerja ke ke kebun. Kebun kami isinya kelapa, sekali panen dulu bisa berkilo-kilo banyaknya. Dan di bawah kelapa juga ditanami ubi, kacang hijau, sesekali kacang kuning.”
Saat di ladangpun, keulandet nenek tetap standby. Begitu aku menghampiri nenek selalu saja ada isi ‘kantong Doraemon’ yang dikeluarkan. Kadang kue bingkang, atau bisa juga jambu, pisang. Pokoknya isi keulandet dan seulingku nenek selalu membuatku bahagia.
“Kamu enak Jan, punya kenangan bahagia gitu dengan nenekmu, aku hampir tidak sempat merasakan itu karena tinggal beda kota juga jauh dan nenekku pun cepat berpulang. Aku tak seberuntung kamu untuk memori indah dengan nenek,” ujar Tebing setengah nelangsa sambil meneguk kopinya.
“Yaah, cerita hidup kan beda-beda Bing. Nanti kau bisa bercerita tentang ibumu, pasti beliau sosok yang sangat hebat, seperti nenekku yang juga sosok ibu hebat bagi mamakku.”
Mamakku pernah cerita dulu keluarganya sempat berada dalam kondisi paceklik alias morat-marit ekonomi. Kala itu kakek sakit parah sehingga nenek harus bekerja keras. Demi biaya hidup, sepeda ontel kebanggaan kakek harus dijual. Termasuk beberapa petak sawah milik kakek.
Mamak akhirnya terpaksa berhenti sekolah. Padahal sebentar lagi mau lulus. Apa daya, Mamak mesti merelakan cita-citanya menjadi guru kandas akibat tekanan ekonomi.
Saat itulah, nenek seolah mengambil alih setir sebagai pemimpin keluarga. Dibantu mamak dan dua anak lelakinya, nenek tetap menjadi petani, menggarap sawah dan ladang yang tersisa. Sambil bekerja keras, beliau dengan tabah dan setia merawat kakek. Bisa dikatakan, saat itu neneklah yang terus menyalakan cahaya di keluarganya ketika harapan seakan meredup.
“Keulandet dan seulingku nenek tetap setia menemani guna menaruh bekal, yang terkadang hanya sekadar ubi atau pisang rebus. Luar biasa perjuangan nenekku, Bing.”
“Hebat ya nenekmu, Jan. Kok bisa beliau setangguh itu?”
“Mungkin tenaga nenekku yang perkasa itu mengalir dari ayahnya, almarhum Tengku Karim, seorang petani yang sangat ulet mengelola kebun kelapa yang sangat luas juga berhektare sawah. Abusyik dibantu abang nenek, Tengku Abdurrahman. Mereka semua laki-laki Aceh yang hebat di masanya. Selain bertani juga menjadi guru ngaji saat malam, mengajar anak-anak kampung belajar Quran dan kitab. Bahkan dulu mereka sempat terlibat dalam kecamuk perang DI/TII di Aceh.”
Baca Juga: Menjadi Manusia Merdeka; Sebuah Ode untuk Hasan Di Tiro
“Emejing, Jan. Terus, selain keulandet dan seulingku, apalagi cerita seru bersama nenekmu?”
“Aku pernah dikejar sapu lidi sama nenek gara-gara mencubit adikku. Sekali waktu nenek juga pernah menjewer kupingku setelah aku melempar pokok jambu yang sedang lebat buahnya. Daun dan buahnya rontok ke mana-mana, padahal nenekku baru saja menyapu halaman…”
“Ah kau, isengmu memang sudah dari orok,” ujar Tebing bangkit menuju sepeda.
Aku hanya tertawa sambil terus membayangkan keulandet dan seulingku nenek. Juga tangan perkasanya yang sempat menggendongku sejak bayi hingga usia dua tahun. Ah nenek, semoga bahagia di sana. Semoga Allah berikan berkeulandet rezeki surga untukmu, Nek.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )