~ Anggap saja ini bukan real story
Udin Bin Marudin, bukan nama sebenarnya, hari ini terpaksa meletakkan catok (cangkul) yang biasa dipakainya berkebun. Dia tidak jadi pergi bekerja hari ini. Menggarap lahan sewa milik orang kaya di kampungnya.
Matanya nanar menatap atap rumah kayunya yang tanpa langit-langit. Sementara di luar atap rumahnya, langit hari itu biru dihiasi awan-awan gemoy yang bertengger manja. Tapi keindahan alam itu tak mampu mengurangi kegundahan hati Udin. Masih ada sesuatu hal yang mengganjal.
Kemarin petang, dia baru saja menyerahkan berkas pendaftaran pembuatan rekening sebagai calon penerima bantuan sosial nontunai. Di gampong M, sebuah desa di Pidie tempat Udin tinggal, ada banyak keluarga yang mendapat jatah bantuan serupa.
Udin sudah melengkapi berkas. Sampai kode pos tak lupa ia tuliskan. Berkas itu ia dapatkan sehari sebelumnya dari seorang pendamping sosial, M, (buset, inisialnya M juga) yang mendampingi desanya.
Saat pertemuan warga dengan M di meunasah gampong, Udin tak hadir. Yang datang istrinya. Saat itu, kata istri Udin, M menyerahkan setiap berkas kepada masing-masing keluarga penerima bantuan sosial nontunai itu.
Anehnya, kata istri Udin, bapak pendamping M Yth tidak menjelaskan secara runtut teknis pengisian formulir. Setiap warga penerima bantuan disuruh mengisi sendiri. Alasan M, masih kata istri Udin, beliaw mesti buru-buru pergi karena ada urusan mendadak di tempat lain.
Karena tak paham cara mengisi berkas, istri Udin membawa pulang lembaran itu dan menyerahkan ke suaminya. Di rumah Udin kemudian mengisinya.
Petangnya, ia menyerahkan berkas ke M yang datang ke sebuah rumah warga. Di situ ternyata telah ramai warga yang berkumpul dan menyerahkan berkas. Kenapa bukan di meunasah? Menurut Udin, setiap ada bantuan yang melibatkan M, warga pasti berkumpul menyerahkan berkas di rumah itu.
Beberapa warga sudah mengisi berkas. Tapi lebih banyak yang datang hanya untuk menyerahkan blanko kosong. Alasannya sederhana, tak semua warga bisa menulis dan membaca.
Lalu di sinilah, keanehan pertama dimulai. Hal yang mau tak mau membikin kepala Udin sedikit berdenyut. Saat menyodorkan berkas yang telah diisinya, M menolak.
Bapak pendamping Yth itu mengatakan kepada Udin berkas yang telah diisi tidak dipakai dan akan diganti dengan formulir baru. M tidak menjelaskan apa yang salah dari formulir Udin. Tapi M mengatakan lebih baik ia saja yang mengisi berkas itu.
Baca Juga: Atas Nama Toa Meunasah
Walau masih diliputi tanda tanya besar, Udin dan beberapa warga lain yang telah mengisi berkas terpaksa manut saja. Tanpa banyak cakap, mereka menyerahkan berkas kepada M. Mulanya, Udin mengira M bakal membantu dengan senang hati tanpa pamrih. Ya, sesuai tugas pendamping sosial yang mana salah satunya adalah memediasi, memfasilitasi, dan mengadvokasi penerima bantuan seperti Udin.
Malangnya, makan siang gratis sepertinya telah habis. Fasilitasi, mediasi, dan advokasi yang diharapkan Udin di tangan M berubah menjadi fulus. M mematok biaya Rp10 ribu atas setiap formulir yang diisinya. Dia juga mengatakan secara halus, bila “biaya” isi formulir tidak diberikan, kemungkinan besar dana bantuan sosial itu tak bakal cair. Seolah-olah, seolah-olah, dana bantuan itu berasal dari saku M dan neneknya, bukan kementerian.
Jumlah bantuan sembako yang dijatah untuk setiap keluarga penerima manfaat seperti Udin adalah Rp600 ribu. Duit ini boleh ditarik tiga kali, setelah setiap penerima diberikan kartu ATM.
Udin memang geram tapi apa mau dikata, kalau ia bersikeras tak memberikan “uang kopi”, ia takut dijahili M. Ke depan, dijamin ia bakal tak mendapatkan lagi bantuan-bantuan serupa.
Dia juga tau, walaupun sepuluh ribu, itu tetaplah suap. Hati kecilnya ingin melawan tapi apa daya, ia sendiri. Warga-warga lain juga terpaksa patuh pada apa yang dikatakan M.
Karena, dari cerita beberapa warga, apa yang dilakukan M sebenarnya masih tergolong “kecil” untuk ukuran pungli di gampong itu. Selama ini, Udin kerap menyaksikan kecurangan-kecurangan serupa terhadap segala jenis program bantuan. Hal-hal seperti itu sudah dianggap biasa di kampungnya; rahasia umum.
Namun, tahun ini ceritanya berbeda. Pandemi corona ikut berpengaruh pada kehidupan Udin yang kerjanya serabutan. Mau tak mau, uang Rp600 ribu itu sangat besar nilainya bagi Udin. Sangat berarti untuk memberi makan anak-anaknya yang masih kecil.
Ketika petang makin rembang, cerita M yang ingin menggelapkan dana bantuan tak berhenti di uang formulir tadi. M mengingatkan warga jika uang telah masuk rekening, masih ada jatah yang mesti disetor untuknya. Sekali tarik dana, M memasang tarif Rp10 ribu. Anggap saja, kata M lagi, uang itu sebagai ucapan terima kasih karena dia telah membantu mengurus cairnya dana bantuan tersebut.
Itu artinya, dari Rp600 ribu yang seharusnya ia terima, Udin harus merelakan Rp40 ribu masuk ke kantung M. Jika ada 100 warga yang bantuannya dipotong, Udin sudah dapat mengira-ngira berapa gelas kopi yang akan mampu dibeli M dengan uang hasil mengembat bansos itu.
…
Baca Juga: Lamek, Juned, dan Brahim, Sebuah Bacot Unfaedah di Tengah Krisis Corona
Seekor cicak jatuh ke atas meja dapur rumah Udin, dekat kuali yang berisi minyak goreng sisa kemarin. Udin menoleh sejenak, memastikan bukan anak meuruwa (biawak) yang jatuh. Hatinya masih pedih. Ia tak rela uangnya dikorup M. Ingin ia melapor masalah itu tapi bingung dan ragu-ragu. Tanpa bukti dan dengan pekerjannya yang cuma petani penggarap, siapa yang mau mendengar keluhannya?
Dia cuma kerikil sisa yang tak terpakai proyek rabat beton. Ditoleh orang pun tidak. Dipijak sudah pasti. Dicaci maki kalau bikin tersandung.
Mau speak up ke geuchik? Rasanya mustahil. Dia tau kepala desa membiarkan M leluasa melakukan hal itu. Mereka sepertinya sudah segendang seperjogetan.
Sementara di atas atap rumahnya, langit biru kini tertutup mendung. Cocok dengan suasana hati Udin.
Udin tak berharap M sadar akan perbuatannya. Sebaliknya, dengan perasaannya yang makin desperate, dia berharap, akan ada pendamping-pendamping bantuan lain seperti M yang terus melakukan tugasnya dengan “teladan”: mengutil setiap dana bantuan yang masuk, agar warga miskin sepertinya makin tertindas, dan lama-lama mampus.
Bagi Udin, M bukanlah homo homini socius seperti yang dipuja Lucius Annaeus Seneca. Tapi dia—seperti yang disebutkan Plautus dalam Asinaria—adalah lupus est homo homini, serigala bertubuh manusia. Dan Udin Bin Marudin, adalah tumbalnya yang kesekian.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )