Dinda meneguk ludah. Langkahnya otomatis melambat. Di sebelahnya, Nana berusaha keras agar tetap berjalan dengan tenang. Tapi tangannya otomatis naik, menggenggam ujung sweater seragamnya yang berwarna burgundi erat-erat.
Dinda jadi agak grogi. Kalau harus berkelahi, jujur saja, Dinda tidak takut. Dulu Bunda selalu bilang keberanian Dinda sama dengan satu harimau ditambah satu singa. Tapi dia malas memikirkan apa yang akan terjadi kalau urusan berantem ini didengar Ayah. Jangan-jangan Dinda akan dipindahkan lagi, ke sekolah yang lebih pelosok lagi daripada Pelsa. Oh tidaaaak….!
Sosok-sosok berseragam putih abu-abu di depan berhenti. Kepala mereka tertoleh pada Dinda dan Nana. Langkah Nana semakin seret. Ia merapat pada Dinda, membuat Dinda agak sulit maju.
“Ssst, Nana,” Dinda mendesis. “Tenang. Nggak akan ada apa-apa.”
“Aku takut,” Nana mengaku. Dinda menggenggam tangan Nana. Menariknya sedikit ke belakang. Sekarang Nana agak terlindung di balik punggung Dinda.
Dinda menatap sosok berseragam abu-abu di depan. Ada tiga orang. Semua bercelana panjang.
“Cowok semua Din,” Nana berdesis gugup.
“Tenang aja sih! Jangan cengeng,” sergah Dinda pelan. “Cowok cewek apa bedanya. Semua juga manusia. Kalau nongkrong pagi, pasti bau.”
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Ketujuh
Walau pun komentar Dinda konyol, Nana tidak mampu tertawa. Sebab saat itu jarak mereka tinggal empat meter dari para penghadang. Saat melihat Dinda, salah satu dari tiga cowok itu mendadak menarik nafas panjang.
“Ehh…. Rupanya di Pelsa ada Koala juga….” katanya. “Kupikir cuma di Australia saja.”
Dinda sontak tersentak. Matanya mengukur sosok yang berkomentar tadi.
“Oh… Kamu si Persiraja ya?!” Dinda tersadar. Mengenali rambut dan alis hitam yang mustahil. Cowok yang dulu ditabrak Dinda di toko buku itu meringis.
“Wah, dia ingat,” katanya.
“Memangnya siapa, Wolf?” tanya salah satu kawan cowok itu. Jelas terdengar heran.
“Ini, Koala lepas dari kebakaran di Australia,” sahut cowok yang dipanggil “Wolf”. “Aku nemu dia di Toko Matahari, waktu lagi cari kertas. Rupanya sekarang dia di Pelsa.”
“Ooh,” kawannya terkekeh. “Koala yang itu.”
Dinda tidak senang mendengar nada bicara cowok-cowok tadi.
“Eh. Kalian ngomongin aku apa, hah?” Dinda merasakan tekanan tangan Nana, menjepit jarinya. Nana mencoba mencegahnya buka konfrontasi. Dinda tidak menghiraukan. “Tolong jaga lidah kalian ya. Jangan sampai nanti hilang, ketemu sudah nyangkut di pohon.”
“Ya ampun,” cowok yang mengenakan dasi abu-abu tertawa. “Kirain koala itu makhluk fluffy nggak berbahaya. Tapi Koala kamu galak banget, Wolf! Kayaknya api kebakaran di habitatnya dulu itu masih nyala dalam badannya.” Kata-kata itu disambut gelak. Namun setelah beberapa detik si “Wolf” berhenti tertawa.
“Ayo,” katanya. “Nanti keburu Magrib. Tidak sempat lagi bawa desain banner ini ke percetakan,” tangannya menepuk saku kemeja. Mungkin dia menyimpan ‘desain banner‘ yang disebutnya di dalam situ. Mata Dinda yang mengikuti gerakannya menangkap label nama di dada cowok itu. Razak Al Farisi.
Huah, untung label namaku tertutup jilbab, pikir Dinda, tetiba merasa senang. Ogah banget kalau dia sampai tahu namaku.
Ketiga cowok anak Smansa itu beranjak. Seperti hendak pergi. Namun mendadak si ‘Wolf’ berhenti. Berbalik. Kembali menghampiri Dinda dan Nana. Ia merogoh saku, mengeluarkan beberapa helai kertas. Diulurkannya pada Dinda.
“Bibiku meneliti koral di Pulau Kipas,” katanya. “Akhir pekan depan ia dan teman-temannya akan menanam Acropora lagi di perairan sebelah Timur. Sebelumnya akan diadakan ceramah pendek mengenai kehidupan laut di seputar Pulau Kipas, di dermaga Gampong Pasie Keluang. Ini flyernya. Kalau tertarik, datang saja.”
Dinda begitu kaget dan tercengang sampai lupa bereaksi. Hanya melongo. Tangan cowok itu dibiarkannya terulur kikuk. Akhirnya Nana berinisiatif. Diambilnya lembar kertas yang disodorkan.
“Terima kasih,” kata Nana. Si ‘Wolf’ mengangguk. Selintas nampak senyum kecilnya. Dinda kaget lagi. Senyumnya, oh Tuhan. Astaga naga. Kok bisa begitu? Wajah cowok itu, yang galak seperti minta ditampol, mendadak jadi manis sekali saat ia tersenyum.
Dinda mengawasi cowok itu berjalan menjauh. Menghampiri sebuah jip keluaran abad lalu, setia terparkir di bawah deretan pohon pinus di tepi jalan. Kedua kawannya sudah naik. Yang seorang duduk di bak belakang. Bagian belakang jip itu semacam bak terbuka. Ban-bannya lebih besar daripada ban normal. Penampakan jip yang agak rombeng itu berkesan kuat dan tabah. Seperti biasa digunakan mengangkut batu.
Saat mobil itu berputar dan mulai melaju meninggalkan kompleks kedua sekolah, Dinda tersadar bahwa kesan itu memang benar. Jip kecil itu “mobil kombet“. Kendaraan modifikasi yang memang biasa digunakan orang di sini untuk mengangkut TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit, pasir, sampai batu.
Suara Nana menghembuskan “alhamdulillaah” dengan penuh kelegaan mengalihkan tatapan Dinda dari ekor jip kombet cowok-cowok itu.
“Ya Allah… serasa mau copot jantungku,” kata Nana. Ia menatap Dinda. “Kamu berani sekali, Din.” Nana tersenyum penuh penghargaan. Dinda mengangkat bahu.
“Ngapain nggak berani. Mereka kan bukan mesin perang,” kata Dinda, agak lebih pelan daripada biasa. Entah kenapa pikirannya sulit dialihkan dari wajah dengan alis dan rambut mustahil tadi. Ada rasa ingin tahu yang aneh, mengganggu benak Dinda. Seperti mengejar-ngejar.
Razak Al Farisi. Namanya menarik, pikir Dinda. Dan apa-apaan tadi itu, kenapa dia dipanggil “serigala’? Apa dia tukang mainin cewek? Banner apa sih yang mau dicetaknya itu?
“Kaget banget tadi pas cowok itu balik lagi. Kupikir mau ngapain. Aku hampir pipis di celana,” Nana berkicau. Abai pada nuansa wajah Dinda, yang masih terus agak bengong.”Cowok aneh. Tanam akro—akro apa tadi? Main ngundang aja dia… aku nggak ngerti apa pun soal koral.”
Nana menoleh pada Dinda. “Ayo Din. Sudah makin sore. Kalau kelamaan bisa kena tegur Ustazah nanti,” dibetotnya lengan Dinda.
Selesai belanja di kedai serba ada, keduanya kembali ke sekolah. Di pintu Asrama, seseorang melihat flyer di tangan Nana dan bertanya:
“Itu apa, Na?”
“Oh ini…” Nana mengulurkan kertas-kertas itu pada si penanya. “Ada diskusi tentang koral di Dermaga Pasie Keluang. Ini, ambillah,” kata Nana. Si penanya, anak kelas XII IPA, mengambil selembar. Dinda, yang baru teringat tentang flyer itu, mengambil juga selembar dari tangan Nana.
Kertas biru-hijau itu bercetak gambar dan foto terumbu karang. Di sebelah belakang, tertera jam dan lokasi acara diskusi. Nama pemateri ditulis dengan tinta biru tua, Dian Payobada dan Johan Haardens.
Payobada? Haardens? Pikir Dinda. Itu bukan nama Aceh. Yang mana yang kata si serigala tadi, adalah bibinya?
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Kedelapan
Dinda meneliti tanggal dan jam acara. Sabtu, pukul 9 sampai selesai, di Dermaga Pasie Keluang. Berarti akhir pekan ini.
Dinda tahu Dermaga Pasie Keluang. Sebuah dermaga besar tempat kapal-kapal penangkap tuna bersandar. Dahulu, setiap kali libur di kampung, Bunda suka membeli ikan segar dari nelayan yang baru pulang. Dinda terkenang mata hitam jernih semua ikan itu, pertanda masih segar.
Di Dermaga itu juga ada bangunan terbuka yangberfungsi sebagai bale tempat Panglima Laot mengumpulkan para nelayan, bila ada pengumuman terkait cuaca dan seluk beluk kemaritiman lain. Tentara di Pos Angkatan Laut RI di Pasie Keluang juga kerap menggunakan bale itu untuk acara-acara tertentu. Agaknya, di situ jugalah nanti diskusi ini akan digelar.
“Menanam koral?” kata Maida, gadis yang meminta flyer tadi. “Sepertinya asik. Bagaimana caranya menanam koral?” ia menatap Nana dan Dinda, mencari jawaban. Karena Dinda sama tak tahunya, ia mengangkat bahu saja.
(Bersambung ke Bagian Sepuluh)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )