Terus terang, Dinda tak tahu. Ia tak begitu mengenal Aceh. Hanya beberapa kali, dalam kesempatan libur, mengunjungi kampung asal Ayah. Kota kecil di pantai Barat-Selatan Aceh itu punya banyak pantai yang indah, air terjun serta sungai yang jernih. Bahkan dua pulau indah tempat orang bisa menikmati panorama koral bawah laut dengan snorkeling dan diving. Tsunami raksasa Desember 2004 tidak terlalu menghancurkan kota itu, yang berada di sebuah teluk di bagian “dagu” pulau Sumatera. Tapi hanya itu yang Dinda ketahui. Selebihnya, nol.
Dinda hanya bisa merasa yakin soal kebosanan yang akan menghimpit. Kota itu tak punya mal, tak punya toko buku besar, tak punya apa pun. Di hari-hari tanpa sekolah, para remajanya biasanya duduk-duduk di tepi pantai, sungai, atau memutari kota dengan sepeda motor. Lain tidak.
Mereka berpamitan pada Bunda dalam suatu upacara menyesakkan. Mata Dinda bengkak, namun dada dan perutnya kempis karena tangis. Setelah satu jam, Ayah mengangkat dan membopong Dinda, yang memeluk nisan Bunda dan menolak untuk bergerak. Dinda memberontak begitu liar sehingga Bang Tareq terpaksa harus membantu Ayah meringkusnya, memasukkannya ke mobil, diiringi jeritan dan tangisan Dinda. Dedek gemetaran dan pucat pasi. Remaja itu sekuat tenaga menahan tangis, tak tega melihat kakaknya seperti itu.
Di dalam mobil, ia berusaha menghibur Dinda, menyodorkan minuman ringan, bungkusan roti selai dan keripik barbeku yang paling disukai kakaknya. Ayah yang membelikan, di sebuah supermarket setelah mereka keluar dari kompleks makam Bunda. Dinda hanya mendelik.
“Ta,” ujar Dedek pelan. “Tata harus makan. Tata nggak makan dari kemarin. Nanti Tata sakit.”
“Biarin.” dengus Dinda. “Aku memang ingin sakit. Supaya bisa lekas nyusul Bunda.”
Dedek hampir tersedu. Tadi di makam Bunda ia meringkuk di dekat nisan, air matanya mengalir dalam diam. Kini disedotnya hidung kuat-kuat.
“Aku yakin Bunda sedih banget lihat Tata kayak gini,” katanya. “Memangnya Tata ingin Bunda menderita? Biarkan Bunda istirahat tenang, Ta.”
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Pertama
Kalimat tegas Dedek yang diucapkan dengan lembut itu agaknya menyadarkan Dinda. Ia tertegun. Sikap tubuhnya berubah.
“Bunda udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi, tau,” bentaknya. Tapi suaranya pelan. Dedek menatapnya. Matanya yang besar, sangat mirip mata Bunda, menatap tajam.
“Justru itu. Karena Bunda cuma bisa lihat kita, nggak bisa lagi ngapa-ngapain, Tata nggak boleh menyiksa Bunda kayak gini.” katanya. Dinda tertegun. Ditatapnya Dedek. Adiknya balas menatap, tenang dan yakin. Akhirnya Dinda memalingkan wajah. Diambilnya bungkusan-bungkusan makanan yang disodorkan Dedek. Tanpa berkata apa-apa disobeknya bungkus roti. Dedek mengawasinya sejenak. Kemudian dengan sikap lega remaja itu kembali menyandarkan diri ke punggung kursinya.
Mereka naik ke kapal feri di Selat Sunda pada menjelang waktu Zuhur. Begitu mobil terparkir rapi di dalam perut kapal feri, Dedek lari menyusul Bang Tareq, naik ke geladak. Dinda mengenakan jaket, memasang hoodie-nya, sambil menunduk mengikuti Ayah. Ayah mengajaknya mengobrol, menunjukkan kelompok-kelompok lumba-lumba yang berlompatan dekat lambung kapal, namun Dinda hanya menjawab seperlunya.
Ia masih sakit hati pada Ayah. Gara-gara Ayah, Dinda harus berpisah dengan kawan-kawannya, sekolahnya, seni graffitinya yang begitu disayangi. Bahkan juga berpisah dari kenangan terakhir bersama Bunda.
Perjalanan darat dari Jakarta ke Aceh memakan waktu lima hari. Ayah sengaja mengemudi dengan agak santai, mampir dan menginap di beberapa kota. Di Bukittinggi mereka bahkan menginap dua malam, mengunjungi kerabat Bunda dan memberi kesempatan pada Bang Tareq untuk membeli beberapa produk songket dan sulaman. Akan dijualnya nanti di kampung, katanya. Ia juga mengumpulkan kartu-kartu nama para pedagang yang produknya dibelinya.
Ayah kelihatan cukup senang. Meski pun rencana awal ia akan bergantian menyetir dengan Bang Tareq, praktiknya lebih dari delapan puluh persen perjalanan, Ayah yang menyetir. Dari Padangsidempuan ia bahkan memilih jalur melalui Banda Aceh lebih dulu, bukannya langsung berbelok ke Barat-Selatan melalui Subulussalam. Di Banda Aceh kembali mereka menginap semalam. Ayah bertemu beberapa kawan lamanya. Dan sesudahnya mengajak mereka menikmati hidangan khas Aceh: mie goreng dan sanger.
Diam-diam Dinda agak senang juga. Ia amat menggemari mie goreng gaya Aceh dan sanger. Dan kedai tempat Ayah mengajak mereka makan punya barista hebat, kokinya cap jempol. Bang Tareq tidak mau sanger. Ia memilih kopi hitam.
“Nggak ada yang bisa ngalahin kupi sarēng Aceh!” kata Bang Tareq. Perkataan Bang Tareq membuat Dinda merasa sayu. Bunda selalu mengatakan hal yang sama. Setiap pagi, sebelum sarapan, yang pertama kali Bunda lakukan adalah menyeduh kopi hitam, dengan bubuk yang didatangkan langsung dari kampung. Harus dari Aceh, kata Bunda, karena hanya kopi Aceh yang membuat badannya bisa terasa segar.
“Kalau nggak ngopi pagi-pagi, Bunda nggak bisa berfungsi, nggak loading,” kata Bunda selalu.
Kalau dipikir sekarang, cukup jelas kenapa Bunda selalu merasa lemas dan sakit-sakit badan di pagi hari, pikir Dinda. Tentu karena penyumbatan di jantungnya. Kini Dinda menatap abang dan ayahnya minum cairan hitam harum itu, di dalam hatinya meratap memanggil Bunda. Andaikata Bunda masih ada…. Ke mana pun mereka pindah, Dinda akan tetap merasa bahagia.
Menuju kampung halaman Ayah di pesisir Barat-Selatan, mereka melewati tebing curam pegunungan Geurutee. Di sebelah kiri mobil menjulang tebing cadas sembilan puluh derajat ke atas. Di sebelah kanan, tebing itu meluncur sembilan puluh derajat, terjun bebas ke samudera. Warna laut di situ biru indigo, tempat-tempat agak dangkal di seputar Pulau Keluang dan Pulau Walet berbias toska. Begitu banyak semburat warna biru sehingga Dinda meminta Bang Tareq menghentikan mobil. Keempatnya mampir di sebuah kedai kopi yang bagai menggantung di tebing, berhadapan dengan Pulau Keluang. Bang Tareq memesan mi instan. Dedek langsung ikut memesan. Ayah duduk menghadap laut, tercenung.
“Bida suka sekali tempat ini….” gumamnya, tidak pada siapa-siapa. Nama Bunda adalah Bidayasari. Panggilannya Bida. Seketika, Bang Tareq mengangkat muka. Dia langsung memuji-muji mi-nya, bertanya apakah Ayah mau, atau lebih memilih dipesankan kopi, atau minuman lain.
Dinda melirik abangnya dengan dingin. Bang Tareq selalu mengalihkan perhatian Ayah, bila Ayah membicarakan Bunda. Kelakuannya itu jelas sekali. Dinda merasa, Bang Tareq mengkhianati Bunda, karena berusaha membuat Ayah melupakannya. Dinda tahu Bang Tareq hanya ingin agar Ayah dapat melupakan kesedihannya. Namun itu berarti, ia akan melupakan Bunda juga. Dan Dinda tidak menyukai hal itu.
Mereka memasuki perbatasan Aceh Barat Daya pada hari keenam setelah meninggalkan Jakarta. Paman Rustam, adik Ayah, mengabari bahwa kargo berisi barang-barang mereka sudah datang lebih dulu. Untuk sementara, ditempatkan di kantor ekspedisi yang membawanya dari Medan. Paman berpesan agar segera menghubunginya begitu mereka tiba di kampung, “Supaya aku bisa segera datang membantu membongkarnya.”
(Bersambung ke Bagian Keempat)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
Siap menunggu cerita selanjutnya
☺️