Kalau hujan turun sore pada hari-hari puasa kadang saya sedih. Sedih karena banyak hal. Salah satunya, tidak bisa leluasa mencari takjil.
Mau pakai mantel agak ribet. Sudahlah bermasker, bermantel pula. Sangat tidak leluasa.
Walaupun sebenarnya tidak usah pakai masker. Imbauan memang ada tapi orang-orang tetap dengan dirinya.
Mereka lalu lalang tanpa masker. Chik putik tuha muda lenggang kangkung tanpa takut corona.
Menjadi aneh kalau ada yang pakai masker. Akan dilihat seperti makhluk asing.
Masker? Apa itu masker?
Orang-orang mungkin berpikir corona masih jauh. Masih di Jakarta. Belum zona merah. Jadi masih boleh leha-leha sebelum corona tiba.
Seperti ungkapan lawas yang dibalik: bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian.
Beberapa toko dan swalayan memang menyediakan tempat cuci tangan. Lengkap dengan cairan pembersih. Tapi nyaris tak ada yang memakainya.
Ini bikin sedih tapi saya bisa apa? Politisi bukan ustad jelas mustahil.
Saya juga telah menarik diri dari perkara bilang-bilang dan mengingatkan orang soal menjaga diri dari corona.
Karena sudah ada yang mengingatkan balik kalau saya terlalu sotoy, terlalu lebay, dan terlalu-terlalu lainnya.
Jadi saya mundur saja dari perkara itu. Karena hidup ini Tuhan yang menentukan. Manusia hanya mampu merencanakan lalu setelah itu netizen yang memberikan komentar.
Paling kalau ada yang kesasar bertanya soal corona, saya jawab itu bukan urusan saya, tanyakan saja sama pemerintah.
Atau kalau angin lagi baik, saya memberikan dua opsi jawaban berbeda: menakuti dan membesarkan hati.
Saya akan bilang semua kita akan kena corona. Tinggal tunggu waktu saja. Ini memang prediksi tapi kalau bukan saya, ya, gata yang kena.
Jika bukan itu, saya akan bilang orang kita Aceh tidak akan terkena corona. Kita kebal sejak lahir dan punya imun yang kuat karena sejak dulu dikenal sebagai bangsa terlebih di atas punggung dunia.
Ocehan yang ini saya kutip dari beberapa orang tanpa meminta izin. Tapi saya sedih harus mengatakan demikian.
Sesedih melihat Pudin, tetangga saya yang terpaku di bawah lapak air tebunya sore tadi, menanti hujan reda.
Jadi, kalau ada yang bikin sedih pas puasa, ya, hujan. Hujan asli bukan hujan air mata.
Hujan bulan Mei yang tidak setabah, sebijak, dan searif hujan bulan Juni yang dicomot Pak Sapardi ke dalam larik puisinya.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )