“Brak!!!”
Seperti guntur suara pintu dibanting terdengar keras sekali. Aku sedang membaca berita lama tentang Goo Hara, aktris muda dari Korea yang bunuh diri sebab depresi.
Hampir saja HP terlempar dari genggaman, batinku otomatis memaki.
“Bangke! Siapa itu?!”
Keterlaluan! Dari pintu depan kulihat Harris berlari ke arah kamar. Lalu brak-bruk sesekali berdebum terdengar dari kamarnya. Ini benar-benar tidak sesuai dengan perangainya yang lemah lembut memperlakukan barang-barang.
Yang mengherankan, jam segini Harris sudah pulang. Padahal tadi pagi ia sudah meminta izin Bunda akan di luar seharian. Bersama teman-teman bersenang-senang merayakan kemenangan tim cerdas cermat sekolah.
Membanting-banting seperti itu, seperti bukan Harris yang kukenal. Apakah ia depresi seperti Goo Hara?
“Ris…Harris…”
“Ris! Buka pintunya!”
Saat hendak kudobrak, ternyata tak terkunci. Syukurlah! Kulihat Harris diam tertunduk, ia gemetar sambil meremas bedcover. Semuanya isi kamar berserakan.
“Kenapa Dek?”
Aku berjongkok dan menyentuh pundaknya, mengikut tips yang diberikan di media online dalam menghadapi orang yang sedang depresi. Aku sedang berupaya agar ia terbuka menyampaikan isi hati dan masalahnya.
Sumpah, situasi ini canggung sekali!
Harris diam saja, kepalanya masih tertunduk. Kuulangi pertanyaanku dengan intonasi yang lebih lembut. Ia mendongak dan menatapku.
Kulihat ada yang lain, ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Tapi apa? Aku meneliti lagi tiap bagian wajahnya. Ada yang luntur seiring matanya yang mulai memerah dan berkaca-kaca.
What? Oh My God! Mengapa air matanya berwarna abu-abu?
***
Seminggu yang lalu.
Adik laki-lakiku ini sebenarnya jarang sekali bahkan seingatku sejak ia sekolah hampir tidak pernah main-main ke kamarku.
Entah karena kami hanya berdua saja atau karena perbedaan usia yang lumayan jauh menyebabkan kami kurang cocok.
Usiaku 26 tahun sedangkan Harris baru kelas satu SMP.
Baca Juga: Cerpen: Minimi
Iya, Harris adalah kado luar biasa bagi keluargaku. Saat Ayah dan Bunda merasa “cukup” hanya memiliki aku saja sebagai anak tunggal.
Saat mereka merasa sepatutnya bersyukur, apalagi kalau membandingkan diri dengan orang tua lain yang tidak memiliki anak seorang pun.
Ajaibnya, di usia yang sudah sangat matang, Bunda hamil lagi. Apakah mereka mengamalkan doa Nabi Zakaria?
Sejujurnya, aku kurang senang sebab akan ada saingan dan tidak siap berbagi. Tapi mau bagaimana lagi? Bagi Ayah dan Bunda, Harris adalah jawaban dari doa-doa yang selama ini mereka panjatkan.
“Kalau ada adik laki-laki nanti kamu ada yang jagain sekaligus teman bermain,” begitu Bunda menjelaskan saat itu.
Ah…padahal aku kan bisa menjaga diri sendiri. Kalau soal teman main, selama ini aku bersahabat cukup baik dan dekat Rinta, Ney dan Indri dan itu bertahan hingga sekarang.
Tapi mungkin itu cara yang Bunda anggap paling tepat saat itu. Mau bagaimana lagi menjelaskan kepada gadis usia 11 tahun yang ngambek dan mengapa ia perlu menerima seorang adik.
***
Berbeda dengan anak laki-laki kebanyakan yang suka menghabiskan waktu dengan aktivitas fisik dan luar ruangan, Harris lebih suka menghabiskan waktu di kamarnya.
Semenjak Ayah dan Bunda pergi umrah ke tanah suci, ia jadi mulai sering datang ke kamarku.
Walaupun itu saat ada hal-hal urgent menyangkut keperluannya belajar seperti meminjam buku, minta hotspot Wi-Fi, meminjam uang (dia sudah menghabiskan jatah uang saku bulanan yang diberikan oleh Bunda sebelum berangkat umrah) atau merengek-rengek kelaparan.
Suatu waktu, perilakunya agak mencurikan. Ia masuk diam-diam ke kamarku saat kupergoki sedang menimbang-nimbang beberapa peralatan makeup di tangannya.
“Ngapain, Dek?” tanyaku.
Kulihat ia salah tingkah dan meletakkan kembali peralatan makeup ke meja riasku ia bertanya,
“Ini untuk apa kak fungsinya”
“Oh, ini foundation terus yang ini concealar gunanya buat menyamarkan warna kulit yang merata. Misalnya kamu yang punya mata panda bisa ditutupin pake ini jadi kelihatan segar gitu. Atau ada bekas jerawat bisa gak keliatan.”
Harris cuma mengangguk-angguk sambil bilang “oh gitu…”.
“Banyak ya alat-alatnya kakak,” komentar Harris sambil menyentuh kembali satu per satu peralatan makeup di atas meja.
“Yang ini namanya maskara dan lip gloss. Ini nih penting biar bibir lembab, nggak kering dan pecah-pecah,” aku menyebutkan nama peralatanku, menunjuknya satu per satu sambil menjelaskan fungsinya dengan singkat.
“Udah ah, besok lagi. Kakak buru-buru mau pergi.”
***
“Harris dibilang banci … padahal cuma mau … kelihatan bagus di depan Mirna. Biar nggak mata panda … apalagi … semingguan kurang tidur … karena belajar,” jelasnya panjang sambil sesenggukan.
Aku pusing masih mencoba cerna. Tiba-tiba aku terkenang kejadian seminggu yang lepas. Air mata berwarna abu-abu adalah perkawinan air dan concealar serta bedak.
Inikah alasan mengapa ia memegang alat makeup-ku? Syok dan agak kesal, tapi artikel menghadapi orang depresi masih terngiang di kepalaku.
“Nggak apa-apa. Merias itu kan juga bagian dari seni. Nggak semua orang bisa, tapi ada caranya. Menghilangkan mata panda? Nanti kakak ajari ya?”
Baca Juga: Cerpen: Minimi
Ia mengangguk-angguk.
“Mau laki-laki atau perempuan boleh makeup, kok. Sekarang hapus dulu air mata, jangankan Mirna, kakak pun takut soalnya Harris keliatan kayak panda beneran,” candaku.
Lalu tiba-tiba ia tertawa mengusap air mata, lalu mencubitku sambil bilang, “Ih…apaan sih Kak!”
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Cerpen: Makeup”