Lupakan ayam geprek, ayam penyet, maupun kuliner-kuliner serupa yang menghidupi diri atas nama ayam. Tengok dan cicipilah yang satu ini. Ayam goreng Nek Ni.
Khas Aceh Besar, aseuli barang. Ayam goreng yang gurih dan nikmat. Ini cuma rekomendasi karena saya sudah mencicipi.
Gerai ayam goreng ini adanya di Jantho. Tak susah mencarinya. Lokasinya di belakang gedung dewan Aceh Besar.
Sudah tahu, kan? Jangan bilang tidak. Karena seluruh dunia tahu di mana Jantho.
Warung Nek Ni rupanya sederhana. Cuma berkonstruksi kayu dan beratapkan seng. Tak ada rak layaknya gerai-gerai makan. Juga tanpa embel-embel plang nama yang selalu menjadi kewajiban sebuah marketing.
Menu-menu disajikan dengan cara unik, ditaruh dalam baskom lalu dihidangkan di atas sebuah meja jembar.
Selain ayam goreng yang menjadi trademark utama, tersedia pula keumamah, kuah pliek, udang tepung goreng, sambai kareng, boh itek masen, tuna goreng, dan kakap.
Baca Juga: Cara Menggoreng Ikan Ala Breedie
Termasuk nasi, tentu saja, Nek Ni tak melupakan tumpukan karbohidrat yang satu ini.
Keunikan lain, cara makan di warung tersebut. Pembeli dibolehkan mengambil sendiri sesuka hati.
Jadi Bree, kalau makan di warung ini, lakukan sepuasmu. Semampu mana perutmu menampung segitulah kau boleh memamahnya.
“Cok boh laju keudroe, neuk. Sinoe boh bu ubee galak-galak droe karna hana dikira bayeu. Keumamah, kuah pliek nyan meunan syit hana nek kira (Silakan ambil sendiri, nak. Di sini boleh ambil nasi sesuka hati karena tidak usah bayar. Keumamah, kuah pliek begitu juga, tidak usah bayar),” begitu kata Nek Ni.
Sinyal tersebut membuat perut saya menjerit-jerit tiada ampun. Tanpa menunggu disuruh kedua kali, saya langsung “menghujani” piring dengan ayam goreng, keumamah, dan beberapa penganan lain.
Ayam goreng tersebut memang sedap. Padahal, tak ada bumbu yang menemaninya. Juga ada tak ada baluran tepung yang kerap kita temui pada kuliner-kuliner yang mengatasnamakan ayam.
Saya tak tahu kenapa ayam goreng Nek Ni ini begitu krispi. Mau bertanya apa bumbunya, agak segan, karena itu menyangkut “rahasia negara” dapur Nek Ni.
Oya, biar makan siang saya makin gurih, saya cerita sedikit soal Nek Ni.
Nama aslinya Ruhani. Walaupun usia beliau menginjak 70 tahun tapi masih dipanggil Kak oleh para pelanggannya. Tapi, kalau Breeders suatu hari datang ke sana dan memanggil beliau Kak, ingat-ingat dulu usiamu itu berapa.
Ayam goreng Nek Ni cuma dijual siang saja. Awalnya, beliau bersama suami memang menjual makanan untuk kuli bangunan.
Pasangan tersebut merintis usaha tersebut sejak 1960-an. Dari keuntungan berjualan, keduanya telah menunaikan haji.
Kini, suami Nek Ni telah berpulang. Usaha yang berusia setengah abad lebih tersebut dilanjutkannya sendiri.
Tak terasa, sepiring nasi dan ayam goreng plus menu lain tandas saya lahap. Sebagai pelancar, rumah makan Kak Ni menyediakan es timun dan pepaya kerok. Lumayan, dahaga saya lenyap setelah meminumnya.
Namun, makin siang pengunjung warung kian ramai. Pengunjung yang datang bukan hanya orang biasa tapi juga pejabat-pejabat. Ini terlihat dari deretan mobil-mobil kinclong yang parkir di depan warung.
Ketika jarum jam melewati angka dua, saya pun pamit kepada Nek Ni untuk kembali ke Banda Aceh.
Tak ada pesan khusus dari Nek Ni seperti cepat dapat jodoh dan mudah rezeki. Beliau cuma bilang, lain kali kalau ke Jantho singgah lagi di situ. Saya cuma menganggukkan kepala saja sambil tersenyum karena kekenyangan.
Saat motor matik saya menjauh dari warung dan menuruni perbukitan Jantho, gurihnya ayam goreng dan lezatnya keumamah masih saja terasa di lidah. Rasa-rasanya saya baru pulang makan dari sebuah restoran mahal.
Di dalam hati saya berjanji akan kembali lagi ke situ. Minimal sebulan tiga kalilah. Kalau sehari sekali mampus kantong anak muda.
[Taufik Ar Rifai, Jurnalis aceHTrend, penikmat kuliner dan penyuka fotografi]
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )