~ Kali ini Johnny Deep tidak melawak
Dibuka dengan tulisan “Ingenious”. Hmm, kayaknya ini rumah produksi filmnya. Lalu ada penampakan tulisan lagi, “Metalwork Picture”. Ini juga masih tentang studio produksi film. Slide berikutnya, juga masih tentang production house yang tidak penting juga.
Baru setelah itu, dengan perlahan tampil efek transisi fade out dengan memperlihatkan zoom out. Mulai dari headshoot seorang wanita dewasa hingga bertelanjang dada yang sedang ‘meratip’ sambil memangku sosok tubuh anak-anak yang kaku dengan raut wajah yang tak kalah kaku. Wajah itu, sepintas mengingatkan pada “The Persistence of Memory” yang dilukis Salvador Dali.
Di tengah nuansa “dark” yang kental, dengan cepat scene berpindah ke efek soft focus black hole fade out, menampilkan gemercik air berwana merah.
Hmm….pada menit-menit awal pembukaan Minamata terkesan kita seperti diajak untuk menyaksikan film horor bernuansa mistis nan sadis. Tapi ketika cairan merah itu diperlihatkan lebih jelas, barulah kita tau kalau itu adalah cairan pencuci foto dalam sebuah kamar gelap. Warna cairan itu, yang kalau mau ditafsirkan sebagai ‘darah’ tentu boleh-boleh saja, datang dari cahaya merah temaram dalam studio foto tersebut. Lalu, di situ juga terlihat seseorang menenggak alkohol sambil mencuci film, cara cetak foto di dalam studio zaman dulu.
Akan sangat ribet kalau harus menceritakan ulang Minamata dalam bentuk tulisan. Bukan hanya jari tangan dan kaki juga mata yang keriting, artikel jadi tambah panjang.
Minamata dibuat berdasarkan kisah nyata seorang fotografer perang W. Eugene Smith yang melakukan perjalanan kembali ke Jepang di mana ia mendokumentasikan efek buruk keracunan merkuri yang diderita masyarakat pesisir.
Film ini seharusnya menjadi tontonan wajib kaum jurnalis, wabil khusus Abang dan Akak Bree yang berprofesi di dunia fotografi. Wajib pula ditonton para movie maker dan abang-abang Gojek yang belum dapat pesanan. Tanpa ingin berlebihan, rasanya kewajiban menonton Minamata, bagi orang-orang yang tersebut di atas, kecuali Abang-abang Gojek, layaknya naik haji.
Naik haji ditujukan bagi yang mampu. Kalau sudah mampu, menuntaskan rukun Islam kelima ini wajib hukumnya. Begitu juga dengan keharusan nonton film Minamata bagi yang mampu berprofesi sebagai jurnalis foto.
Baca juga review film lainnya:
- Romantika Cinta Beda Usia di atas Empuknya Kasur Air Licorice Pizza
- For ‘Lukman’, Sebuah Film Tak Jadi Benar
- Surat Kaleng 1949, Pandora di Balik Heroisme Aceh
- Rona Perempuan Puisi: Catatan Hidup Wiji Thukul
- Daftar Film Akhir pekan yang Jarang Terdengar
Rekomended juga buat para pecinta dan aktivis lingkungan yang selama ini gigih menantang korporasi yang doyan membuang limbah sembarangan, merusak alam, dan sebagainya.
Intinya, Minamata bukan hanya kategori film wajib untuk kalangan kuli tinta, bagi yang tergila-gila dengan footage cinematik dan setiap waktu berkutat dengan color grading, film ini bagus untuk referensi dari sudut pengambilan gambar cinematik yang apik. Tone warna yang disajikan bernuansa faded vintage yang sangat cantik.
Saya sendiri cukup ternganga—macam Adudu yang diblash Boboiboy—pada keindahan sinematografi yang disajikan Minamata. Walaupun jalan ceritanya datar, tidak mendebarkan dengan alur cerita yang bikin deg-degan, Minamata sukses menampilkan drama pilu penderitaan orang-orang di kota Minamata, Prefektur Kumamoto, yang cacat akibat air raksa, dari bidikan lensa Leica M 0.8.
Lalu, agar feel sinematiknya lebih kena, saran saya, tontonlah film ini dengan kualitas gambar super HD.
Eh Bang, dari tadi kok bahas sinematik mulu? Itu film nggak ada aktornya? Pemeran utamanya siapa?
Oya. Pemeran utamanya pastilah artis papan atas Holywood favorit kita dan bapak-bapak kita semua. Siapa lagi kalau bukan Bang Johnny.
Wait.. wait.. Bang Jony Kapluk?
Ya, nggaklah, Bree. Bang Johnny Deep. Yang pernah dengan ciamik memerankan Kapten Jack ‘Separoh’, sang bajak laut Karibia bertubuh lunak yang penuh lawak itu.
Jadi filmnya bergenre komedi? Tidak sama sekali. Walaupun ada beberapa dialog ‘lucu’ yang terucap, film ini terbebas dari yang namanya komedi.
Sepanjang durasi film selama 1 jam 55 menit suasana yang digambarkan full sendu dan pilu. Bagi kita yang sejak dulu melihat Jepang dari jauh sebagai negara maju dan super higiene, kesuraman kisah Minamata mungkin tak masuk akal. Bahkan mungkin setelah film ini rilis.
Bagaimana mungkin sebuah perusahaan bernama Chisso yang memproduksi baterai membuang limbah kimia merkuri ke laut dalam jumlah sangat banyak sejak 1932, tapi didiamkan saja oleh negara. Tragedi Minamata terjadi, tepatnya diketahui mulai menimbulkan dampak buruk pada 1949 setelah ratusan orang meninggal karena kelumpuhan syaraf setelah mengonsumsi ikan yang tercemar merkuri.
Kengerian ini terjadi kurang dari lima tahun setelah Jepang kalah di Perang Dunia Kedua. Namun, butuh waktu hingga 1971 ketika Eugene Smith, fotografer nyentrik asal Amerika, datang meliput ke Minamata dan membongkar skandal busuk Chisso melalui foto-fotonya.
Di film ini, Deep sukses memerankan Smith lewat aktingnya yang memukau. Awalnya Smith ragu meliput Minamata. Namun karena ia pernah menetap lama di Jepang untuk mendokumentasikan anak-anak cacat fisik dan penderita gangguan neurologis, hati Smith pun tergerak merekam perjuangan warga Minamata.
Padahal, saat itu sederet masalah sedang menimpa kehidupan pribadinya di Amerika. Dia ditinggalkan anak-anaknya, hidup sendirian di usia yang menua di sebuah apartemen. Smith digambarkan sering mabuk tapi sisi baik darinya adalah betapa ia mencintai fotografi, dan karya-karyanya diakui banyak orang.
Baca Juga: Film Tjoet Nja’ Dhien Diputar Ulang, Orang Aceh: Pat Ta Nonton Hana Bioskop?
Ini peran kesekian Deep sebagai jurnalis. Jauh sebelumnya pada Rum Diary ia pernah memerankan sebagai wartawan yang penuh dengan nuansa komedi.
Namun di Minamata, pembawaan Deep sangat jauh dari kesan komedi. Betul-betul seorang Deep yang serius. Bahkan lebih serius ketimbang saat menjadi Frank Tupelo di The Tourist bersama Kak Angelina Jolie.
“Johnny Depp leads an outstanding cast to bring focus on a serious matter. Johnny Depp brings the reality of life n ramifications to everyday people without a voice, to speak out n be heard towards corporation cover ups in a way that this makes this film and its subject a must watch. One of the best films I’ve watched in a long time”, begitu kata Clarknikkijane salah satu reviewer IMDb dengan rate reviewnya 10/10.
Sebagai penutup dari cerita ini, sebagai penggemar Johnny Deep dan juga sebagai orang yang pernah bekerja di media cetak, Minamata membawa ingatan lama saya kepada Heri Juanda, yang sama-sama meniti karir di dapur redaksi Koran Harian Aceh.
Melalui foto esai berjudul ‘Mimpi Buruk Rafi’, Heri merekam perjuangan Rafi, seorang bocah laki-laki yang menderita gizi buruk yang sehari-hari dirawat ayahnya, Asnawi. Karya foto ini berhasil membawa Heri Juanda menjadi pemenang foto terbaik Tempo 2009 kategori foto esai.
Terakhir, biar lebih menghayati, saya selipkan satu soundtrack dari film Minamata, ‘One Single Voice’, dan quote dari Pak Eugene Smith: “Fotografi adalah suara kecil, tetapi kadang-kadang satu foto, atau sekelompok dari mereka, dapat memikat kesadaran kita”.
Diperbarui pada ( 24 Maret 2024 )
One thought on “Minamata, Kisah Nyata dengan Cinematik Paling Apik”