~ Ice cream for all!
Beberapa pekan lalu, di pematang sawah nan hijau menguning, saya dan teman duduk-duduk santai sambil mengobrol. Dari tempat kami duduk, terlihat juga di beberapa titik, petani-petani yang sedang bercocok tanam. Perlu ditegaskan sekali lagi, ini duduknya di pematang sawah, ya. Bukan di tengah sawah. Kalau di tengah sawah, duh! bisa terbang seperangkat alat bajak sawah beserta kerbau-kerbaunya. “Bikin rusak padi hijau menguning saja,” kata pak tani yang tak mau disebut namanya.
Ups, malah melantur. Kembali ke cerita. Saat itu, kami terlibat obrolan yang lumayan serius. Kami membahas banyak hal seperti planet Mars, kesehatan kucing, tips berkebun, jenis pupuk supaya brewok subur dan seterusnya. Dari kesemuanya, yang paling saya ingat adalah ketika kami membahas tentang gajah di Aceh. Eh, salah. Lebih tepatnya, ketika teman saya mulai berceramah tentang gajah di Aceh.
Dengan semangat pantang kendor, teman saya, seorang ahli konservasi yang juga pengusaha kedai es krim sukses, mengungkapkan pendapatnya.
“Bro, ada baca koran kemaren? Masalah konflik gajah dan manusia. Kasusnya makin tinggi sekarang. Menurut aku, solusinya tu kita harus membuat satu kawasan konservasi untuk gajah. Ya, kawasan yang nggak boleh dimasuki manusia gitu.”
“Oh, gitu, ya?”
“Iya, biar gajah terhindar dari konflik dengan manusia dan tidak terancam sama aktivitas manusia. Intinya, gajahnya terlindungi. Selama ini kan gajah hidupnya bukan di kawasan konservasi.”
Baca Juga: Yang Terabaikan dalam Taktik Meredam Konflik Gajah dengan Manusia di Aceh
Saya hanya terdiam. Tapi, bukan berarti otak saya tidak bekerja. Saya berusaha mencerna kata-kata yang meluncur dari mulut teman saya bersama semburan air liurnya.
Kenapa, sih, wacana membuat kawasan konservasi baru yang menjadi solusinya? Apakah kawasan konservasi baru menjadi resep termudah untuk menjawab permasalahan konflik gajah dan manusia?
Jujur, saya menghargai apa yang ingin dilakukan oleh teman saya untuk melindungi gajah. Dan juga, saya tidak bisa menyalahkan teman saya dengan solusinya itu. Sebab, selama ini, yang namanya kawasan konservasi (suaka margasatwa, cagar alam dan taman nasional) sudah menjadi salah satu strategi konservasi yang penting dalam melindungi satwa. Jadi, sungguh wajar solusi tersebut tebersit di pikirannya.
Cuma, ya, entah mengapa, otak saya mengajak untuk berpikir yang beda. Kenapa teman saya tidak langsung saja berpikir tentang solusi konflik gajah dan manusia di kawasan yang tidak didesain sebagai kawasan konservasi?
Karena, satu contoh kecil saja, andaikata kawasan konservasi dibuat, siapa yang berani menjamin pola pergerakan gajah akan selalu berada di dalam kawasan konservasi. Pola pergerakan gajah kan tidak bisa ditebak pasti. Bisa saja bergerak ke luar kawasan. Toh, pada akhirnya, diperlukan juga solusi konflik gajah dan manusia pada kawasan yang tidak didesain sebagai kawasan konservasi. Atau, apakah nanti akan dibuat kawasan konservasi baru yang lain lagi?
Kelihatannya, di sepanjang karirnya, teman saya ini terlalu terpaku dengan ide membuat kawasan konservasi baru dan manajemen kawasan-kawasan konservasi yang sudah ada sebelumnya di Aceh. Sehingga ia lupa dan mengabaikan manajemen kawasan-kawasan yang tidak didesain sebagai kawasan konservasi.
“Heh, kok diam? Mikirin apa?” tanya teman saya tiba-tiba. “Udah, kalau kau bingung dengan apa yang aku omongin, sekalian promosi, nih. Kau datang aja ke kedai es krim aku. Di setiap produk es krim yang aku jual, aku potong sedikit duit hasil penjualannya untuk perlindungan gajah. Nah, kalau misalnya kau beli, nih, setidaknya kau udah punya andil dalam perlindungan gajah.”
Kali ini, mendengar perkataannya, otak saya bekerjanya mulai tidak kalem. Imajinasi-imajinasi yang sebelumnya agak tandus, kini mulai bersemi dan tumbuh dengan liarnya. Saya seketika teringat dengan kalimat-kalimat di buku “Searching for Sustainability: Interdisciplinary Essays in the Philosophy of Conservation Biology” yang ditulis Bryan G. Norton. Kalimat-kalimatnya adalah: Ada dua jawaban agak berbeda yang mungkin diperoleh apabila kita menanyakan “What is the value of biodiversity?” kepada responden.
Pertama, beberapa jawaban yang umumnya bersifat ekonomi, yang menekankan penggunaan potensial dan aktual dari spesies yang hidup. Untuk kelompok ini, value dari biodiversity akan dinyatakan dalam bentuk kuantitatif. Pendekatan ini sifatnya utilitarian dan antroposentrik, yang mengukur value sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan manusia. Dan juga, sifatnya itu “reductionistic”, yang berarti semua value dan penggunaan yang berbeda dari spesies liar direduksi ke dalam bentuk dollar. Reduksionis mendiskusikan value dari biodiversity dengan mencoba menempatkan harga yang adil dalam penggunaannya. Ya, lebih nyamannya dengan bahasa umum, neoclassical microeconomics. Objek alami hanyalah “resources” untuk penggunaan dan kenikmatan manusia.
Baca Juga: Konflik Gajah & Manusia di Aceh: Sebuah Saran yang (mungkin) Brilian
Kedua, pendekatan jawabannya menggunakan terminologi moral dan menuntut bahwa kita mempunyai kewajiban untuk melindungi semua spesies, kewajiban yang melampaui penalaran ekonomi dan mengalahkan kepentingan kita dalam menggunakan alam untuk kesejahteraan kita sendiri. Para moralis ini membatasi aktivitas manusia menggunakan alam dengan pertimbangan kewajiban-kewajiban yang bebas dari kesejahteraan manusia. Moralis tidak percaya kewajiban-kewajiban kita untuk melindungi alam dapat dipertukarkan dengan kewajiban-kewajiban lain. Bahasa mereka kadang-kadang teologis.
Hmm, jika seandainya saya ubah sedikit pertanyaannya, saya akan menanyakan “What is the value of elephants?” kepada teman ini. Kira-kira, jawabannya akan mengarah ke yang pertama atau kedua, ya? Saya rasa, jawabannya akan mengarah ke yang pertama; jawaban yang bersifat ekonomi. Sebab, gajah sudah berkontribusi terhadap kesejahteraan teman saya. Dengan promosi bisa mempunyai andil dalam perlindungan gajah, jika ada satu produk es krim yang terjual, sedikit duit untuk perlindungan gajah, selebihnya untuk kesejahteraan teman saya. Uhuk!
Waduh, gawat ini. Haha. Harus segera dihentikan segala kerumunan rama-rama di otak saya. Bisa melebar kemana-mana nanti imajinasinya. Diam menyimak dengan otak membeku akan lebih berwibawa, sepertinya.
Dan ceramah teman saya pun tetap berlanjut. Bla bla bla bla bla….
Cupa IN
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )