Khitanan dan Cerita Horor Warisan

ilustrasi bocah freepik

~ Proses penceriteraan pengupasan kulit kelamin ini tidak dianjurkan untuk dibaca

Topik soal proses sunat a.k.a khitan agak tabu untuk diceritakan ke khalayak. Terlebih menjelang pilpres begini, bisa runyam dan memecah-belah bangsa. Berbeda dengan sunatan massal oleh lembaga tertentu yang boleh-boleh saja masuk pers release lalu dikirim ke media dengan harapan dimuat agar mereka terlihat melakukan kegiatan kemanusiaan.

Sunat, bagaimana pun tak terlepas dari tumbuh kembangnya seorang lelaki. Lepas dari bayang-bayang ejekan dan proses menuju maskulinitas atau sebaliknya. Sunat juga yang memberikan efek suara lebih berat sesudahnya diiringi pertumbuhan jakun secara sempurna. Termasuk bulu-bulu di beberapa bagian tubuh?

Kapan Anda (pertama kali) disunat? Pertanyaan yang tak perlu dijawab sebenarnya.

Sebagai anak kampung yang tumbuh di masa DOM, semula bayangan disunat bagi saya sama seperti dikerumuni dan dibentak delapan serdadu. Kenapa harus delapan? Saya suka saja sama angka ini.

Jauh-jauh hari sebelum disunat, para senior di kampung saya dengan fasih menceritakan cerita-cerita horor terkait khitan. Ada yang berdarah-darahlah, gunting patah, hingga cerita kulup tumbuh lagi selepas ditebas. Bahkan ada juga peringatan bagi barang siapa yang merokok sebelum disunat, dijamin kulit “barangnya” akan keras dan hanya mempan dipotong dengan kapak. Mau lebih sempurna horornya? Disunat dengan bilah kulit rumbia lalu diteteskan cairan jeruk nipis. Khitanan berbau penyiksaan?

Gimana kalau disunatnya tidak sendiri, minimal berdua?

Percaya tidak percaya, cerita-cerita itu masuk sempurna ke otak saya dan sempat menyisakan mimpi buruk. Anehnya, kisah itu cuma bermodalkan katanya. Zaman now orang bilang hoax. Tak ada yang mampu menunjukkan bukti. Para senior dengan antengnya bercerita kepada para junior yang dalam waktu dekat bakal ditebas ‘itunya’. Kami pun dengan muka lugu-lugu adem percaya saja akan cerita turun-temurun itu.

Akibat hal-hal tersebut, saya selalu menghindari cerita sunat. Di rumah, ketika orang tua menceritakan anak tetangga yang sebaya saya sudah disunat, saya berpura-pura amnesia. Topik itu saya hindari betul. Saya sudah trauma duluan karena tidak ada yang menjelaskan secara harfiah bagaimana disunat itu. Prosesnya kok begitu tabu diceritakan. Okelah, yang dipotong apanya? Tidak ada yang bilang cuma kulit luar. Sementara saya sudah terlanjur membayangkan alat yang saban hari dipakai untuk pipis itu bakal ada bagiannya yang dipotong. Sempat pula terpikir yang dipotong semuanya, mak jang.

Hingga suatu hari, ayah lewat kewibaannya yang sempurna dibangun bertahun-tahun berkata datar: “Sudah waktunya”. Saat itu, saya yang sedang melahap indomie kuah dengan syahdunya mendadak berkeringat dingin. Lutut gemetar bukan main dan seketika letoy. Saya paham apa makna sudah waktunya. Beberapa hari sebelumnya saya sempat menguping pembicaraan mereka bahwa saya bakal disunat pekan depan. Saat itu saya berpikir untuk kabur dari rumah tapi diurungkan karena tak punya duit di kantong.

Setelah mendengar kata sudah waktunya, saya mencoba membujuk Mak agar menunda khitanan. Tahun depan saja. “Tahun depan udah besar, nggak malu dilihat sama mantri?” FYI, waktu itu di kampung kami dokter masih langka tak seperti sekarang. Mungkin mereka masih belum tamat kuliah.

Saya bimbang mendengar kata besar. Maksudnya usia yang bertambah.

Ketakutan setengah mati saya mencari cara. “Gimana kalau disunatnya tidak sendiri, minimal berdua?”. Saya ajukan opsi sekaligus dalih agar khitanan batal. Satu sisi, ngeri-ngeri sedap jika saya harus berdarah-darah sendirian. Minimal ada kawanlah, kira-kira begitu. Siapa? Mak pun selidik ke sana kemari. Nihil. Tidak ada anak tetangga yang sudah waktunya sunat. Rata-rata masih kelas lima atau enam SD. Mereka itu kalau mandi di sungai masih telanjang; pamer burung sama meuruwa, bieng pho, dan burung sungguhan.

Dua hari berlalu, Mak belum juga mendapatkan partner saya. Saya kian cemas, bayangan mati muda sendirian bergelimang darah gara-gara disunat kian rajin menghiasi benak.

Di tengah-tengah kekalutan itu, datang kabar mengagetkan, menyejukkan sekaligus bikin sebal. Ada salah satu Abang sepupu saya belum sunat dan ia bakal jadi partner. Usia kami beda setahun. Saya geli ketika tahu dia belum disunat. Padahal tempo hari ia bilang sudah disunat. Hmm, rupanya ia bohong. Ketika kami berdua disunat, saya ledek dia habis-habisan. “Kalau sudah sekali, apalagi yang bakal dipotong? Can nggak ada sisa tu.” Ia cuma diam seribu bahasa.

Hari H saat eksekusi, Abang saya datang mengenakan sarung sambil mengusung tampang tak berdosa. Saat disunat, sarung memang jadi bawahan yang wajib. Rautnya agak lemas. Usut punya usut rupanya ia juga takut disunat. Sementara saya belum bersalin, masih bercelana bola.

Lewat tengah hari, batang hidung mantri sunat tampak di pagar rumah. Setelah mengucapkan salam dengan syahdu ia masuk ke ruang tamu yang bakal berubah jadi tempat penjagalan. Di situ, kami berdua yang sedang selonjoran di atas tikar mendadak tegang. Saya mendadak ingin kabur sejauh-jauhnya tapi tak mungkin. Di pintu ada Ayah yang berdiri siaga seolah kiper menunggu eksekusi penalti. Tidak ada orang lain di ruang tamu kecuali kami berempat. Adik-adik perempuan saya dan saudara-saudara yang lain diungsikan ke luar rumah. Ruang tamu mendadak begitu sakral.

Setelah mengecek alat-alat seperti gunting, jarum dan botol-botol obat, Kami disuruh berbaring dan mengucap doa-doa. Doa apa saja. Kalau doa makan gimana? Si Mantri mengajak bicara, tanya sekolah kelas berapa dan sebagainya yang tentu saja tak ada yang menjawab. Di pintu, Ayah masih siaga sekaligus terharu menyaksikan putranya naik ke jenjang akil balig sebentar lagi.

Giliran pertama yang ditebas adalah Abang saya. Ini bentuk penghargaan kepada senior. Begitu kata mantri yang mencoba melawak tapi saat itu tak terlihat lucu bagi saya.

Perlahan sarungnya disibak. Eng-ing-eng. Ia menoleh kepada saya dengan tatapan pasrah. Saya balas dengan mendelik karena ingin menakutinya. Ketika mantri mengeluarkan jarum suntik saya memberikan kode jari menebas leher kepadanya ditambah mimik muka kesakitan. Teror itu berhasil. Mukanya kian cemas dan ia memilih menutup mata. Rasakan pembalasanku, Ki Sanak.

Aduuuhh! Cuma rintihan itu yang kemudian terdengar dari mulutnya. Ia menahan diri untuk menangis. Mungkin gengsi. Setelah itu prosesi berjalan lancar. Antara jijik dan takut saya tak mau melihat proses ia dikhitan. Saya menutup mata saja.

Beberapa menit setelah itu sarung saya seperti terangkat. Tiba-tiba beberapa benda bersentuhan dengan kelamin saya. Sialan! Jika ini bukan sunatan tentu wujudnya adalah pelecehan. Lalu, kata ‘aduh’ yang sama juga saya ucapkan saat sebuah benda runcing melesak masuk melewati kulit membran. Di titik itu saya pasrah ketika rasa kebas membuat hidup seolah bergerak lambat.

Setelah obat bius bekerja saya nyaris tak merasakan apa-apa. Saya tak tahu berapa cc darah keluar. Bagaimana Pak Mantri menyelimuti perban ke alat vital saya. Semuanya terasa gelap. Jelas saja karena saya menutup mata sepanjang prosesi.

Walaupun khitanan berjalan lancar, hari-hari setelahnya adalah penderitaan tiada akhir. Mirip anak tiri dalam sinetron yang teraniaya sepanjang episode. Kemana-mana harus memakai sarung. Langkah kaki dijaga betul-betul supaya ‘si kecil’ aman. Kami agak mirip sedikit dengan santri-santri yang baru mudik dari dayah. Bedanya, kami harus memegang bagian depan sarung sekadar mengurangi gesekan-gesekan tak perlu.

Sisi baiknya, kami serasa seperti raja sesaat. Bebas dari kewajiban anak-anak kampung seperti mencuci piring, memasak dan mencuci bahkan mencangkul. Mau ini tinggal minta, perlu itu tinggal nyuruh.

Selain itu harus pilih-pilih makanan. Tidak semua jenis makanan boleh di-mamam. Kami disuruh menghindari makanan-makanan ‘tajam’. Contohnya, udang. Kata orang tua kampung, dagingnya bisa bikin gatal. Entah sejak kapan daging udang yang lembut itu menjadi tajam bagi pasien sunat. Mungkin cuma kareng yang boleh jadi lauk wajib. Sebagai cuco yang baik, kami pun menurut. Namun, namanya selera susah ditahan. Suatu kali saya ditraktir mi udang oleh kawan. Saya embat saja tanpa mikir apa-apa. Malamnya saya susah tidur karena gatal-gatal menerjang. Kualat saya.

Setelah berhari-hari dalam suka duka itu, si anu pulih seperti sediakala. Kami akhirnya kembali seperti manusia normal pada umumnya. Satu rintangan hidup nan tabu telah terlewati.

Kini kami menuju fase selanjutnya, berproses dewasa dan menunggu jerawat muncul satu demi satu. Dagu pun sudah mulai bisa ditekuk ke atas sebagai bentuk kepongahan telah disunat. Setelah itu giliran junior siap-siap mendengar cerita horor warisan tersebut. Terkadang, balas dendam begitu nikmat.

Diperbarui pada ( 7 Januari 2022 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *