Barangkali benar rasanya saya terperangah ketika menyimak orasi kebudayaan yang disampaikan Azhari Aiyub. Ada penggambaran yang begitu leluasa, rumit dan menggelisahkan, tak terkira sebelumnya. Uraian panjang tentang arus dialektika dalam novel Kura-kura Berjanggut, melampaui apa yang semula saya anggap sekadar fiksi berlatar masa lampau. Karena nyatanya, di balik karyanya Azhari menyimpan latar yang jauh lebih ‘meresahkan’.
Sebelumnya, saya sadar, tak berhak mengurai apapun tentang pandangan sastrawan kelahiran 5 Oktober 1981 itu. Siapalah saya, pembaca awam yang tak punya wawasan untuk mengkritisi sastra dan pandangan si pengarangnya, selain hanya penikmat lembar demi lembar karyanya dan kemudian merenung saja. Tapi, rasa bersalah jauh lebih besar jika saya melupakan perhelatan pada Selasa, 15 Januari 2019, di Gedung AAC Dayan Dawood itu tanpa membubuhi kesan sama sekali.
Dalam orasi kebudayaan itu, Azhari menjamah pikiran hadirin untuk sejenak berpetualang, bergelut dalam keresahan demi keresahan sang sastrawan yang merasuk begitu dalam. Kami yang menyimak setiap kalimatnya seakan larut melintasi rentang sejarah kelam yang mungkin bagi sepenggal generasi, tak dapat merasakannya dengan utuh. Kesadaran saya yang lain menyanggah Mirek, tokoh rekaan Milan Kundera pada 1971, tentang ungkapan “melawan lupa”, karena bagaimana kita lupa, sementara sejarah itu bahkan tak pernah (atau memang tidak boleh) kita dengar.
Mungkin di sinilah titik di mana keprihatinan Azhari dimulai. Orasinya menyibak ruang debat imajiner yang coba saya lalui perlahan.
Lewat tajuk Sejarah, Janggut, Bayang, dan Bunyi Aceh, Azhari mencurahkan renungannya itu. Sejak awal, meluap kekecewaan yang tampak begitu lama terpendam dalam larik sastra yang digubahnya selama ini. Utamanya, keresahan yang menyasar Orde Baru.
Bagi Azhari, masa Orba tak hanya bicara tentang perampasan hak hidup secara keji, yang kerap dipertontonkan sebagai arena penyingkiran terhadap mereka yang membangkang pada rezim berusia 32 tahun itu. Namun jauh lebih membahayakan, ketika dalam penyingkiran itu tersingkap perampasan narasi sejarah yang terus bertahan sampai sekarang, yakni perlawanan yang beralih rupa menjadi kepatuhan total sehingga mengaburkan cara pandang kita terhadap sejarah itu sendiri dan bertanya, apakah yang kita baca selama ini propaganda atau ilmu pengetahuan?
Kita patut mengernyitkan dahi, lebih-lebih ketika Azhari menyeret kaum cendikiawan, mereka yang berada dalam kondisi ‘terpaksa maupun tidak’ merangkak ke barisan penguasa demi menyelamatkan nasibnya dari penyingkiran yang masif kala itu. Apalagi propaganda berjejalan setiap saat guna melanggengkan kuasa, dan ironis, mentalnya diwariskan ke gerakan perlawanan terhadap rezim itu sendiri.
Setidaknya warisan itu, mengutip Hiroyuki dalam Keadilan Transisi yang Terabaikan, berpaut pada watak yang sama, yakni ketika pelaku bersama mereka yang mengatasnamakan korban kejahatan sepakat menjalani apa yang disebut sebagai pacted transition (transisi paket). Di sini, proses peralihan terjalin sebagai hasil kompromi di antara keduanya, yang kemudian melebur dalam laku tawar-menawar politik yang sesaat bisa memupuskan tanggung jawab mereka terhadap tragedi itu sendiri.
Warisan mental berupa realitas semu tentang kepatuhan total ini, berujung pada langgengnya narasi kekuasaan kharismatik. Hiroyuki mengatakan, ”ini akibat pengaruh elit rezim lama yang masih cukup besar”. Sehingga melalui kompromi tadi, keduanya memilih bungkam. Tampaknya benar, mereka bergeming hari ini.
“Gerakan-gerakan perlawanan yang berakar pada separatisme mulanya sangat menjanjikan, tapi pada akhirnya memperlihatkan watak yang kurang lebih sama, menerapkan taktik kekuasaan kharismatik dalam merebut dan mempertahankan kontrol atas emosi massa,” sesalnya. Menurut saya, watak inilah yang tersimpul dari keseluruhan naskah orasi Azhari.
Takluk pada Realitas Semu
Saya tergelak saat Azhari mengaku betapa gamangnya dihampiri banyak penanya soal kebenaran sejarah yang ditulisnya dalam Kura-kura Berjanggut. Saya kira ia benar-benar galau, sampai-sampai menyebut diri telah gagal menghentikan pertanyaan itu dari benak pembaca novelnya. Kendati telah berusaha menjaga karya itu dari jebakan didaktis, namun memang, Azhari tak bisa lari dari jangkauan pembaca yang kadung punya konstruk sejarah yang diwarisi turun-temurun, dan mungkin merasa ‘terganggu’ dengan fiksi Azhari.
“Ternyata pembaca tak membiarkan si pengarang mati,” sesalnya menyangkal pakar semiotika, Roland Barthes.
Namun, tak lama, prasangka itu membuat saya malu sendiri. Karena dengan ikut mempertanyakan kebenaran itu pula, nalar ini serasa ‘disungkur’. Apalagi saya keliru ketika menyimak Azhari yang menyebut upayanya melabrak rekayasa Orba–dengan sebisa mungkin melarutkan antara sejarah dan fiksi versinya, berakhir tragis. Karena ia bilang, sulit meruntuhkan fiksi Orba yang terlalu kokoh itu.
Sebab berikutnya (pada bab Janggut), kedudukan fiksi itu semakin terkuak pelan. Fiksi yang berarti ‘membuat sesuatu’, menggolongkan hoaks, propaganda, bahkan laporan penelitian dan jurnalistik sebagai fiksi (seni membuat). Sesederhana itukah?
‘Membuat’, berarti ada proses ‘menjadikan dan menghasilkan sesuatu’. Dalam risalahnya, Azhari dengan gamblang mencontohkan rekaan filsuf Umberto Eco dalam karyanya The Prague Cemetery. Atau lebih dekat lagi, saat ia memaki jurnalisme perang dalam masa Darurat Militer di Aceh sebagai sampah propaganda.
“Fiksi sebagai bagian dari serial embedded journalism yang penuh teror. Para wartawan menulis tentang kebenaran dari operasi tersebut dengan cara berlindung di balik rompi anti peluru yang diberikan oleh Penguasa Darurat Militer,” tulisnya.
Ulasan ini membawa ingatan saya pada konstruktivisme yang dikembangkan Jesse Delia, tentang realitas sebagai hasil tafsiran seseorang. Dalam teori ini, manusia menggambarkan dunia melalui sistem dari gagasan atau apa yang ia pikirkan sendiri. Realitas sampai kepada kita dengan campuran berbagai hal, bukan seutuhnya tiruan tanpa penyimpangan sama sekali. Di sini lah bahasa, tegas Azhari, memegang peranan penting dalam proses dialektis –menerima dan mengungkapnya kembali.
Melalui bahasa, realitas merupakan hasil dari pembingkaian semata. Konsekuensi bahasa adalah terbentur dengan batasan-batasan. Sehingga kita tak akan pernah mampu mengungkap secara utuh setiap realitas yang kita terima. Pembaca novel pun tak mungkin beranjak dari ruang hampa untuk menafsir. Karena bagi mereka, nama seperti Nuruddin, Fansur, Lamuri, dan beberapa lainnya dalam novel Azhari itu sudah terkonstruksi sedemikian rupa dalam sejarah yang mereka baca sebelumnya.
Lantas, apa yang paling telak? Tentu, klaim sejarah sebagai sebuah kebenaran itu sendiri.
Kepada siapapun orang-orang bisa menyandarkan pengetahuannya, entah itu ke tukang teluh, sejarawan, jurnalis, sastrawan…yang semuanya bergelut dalam kompleksitas dan pondasi pertahanannya di masing-masing zaman, demi menjadi otoritas yang eksis dalam waktu yang lebih lama. Tapi, kurang apa Azhari mengumbar aib otoritas ini dengan mengatakan, “Tidak lain, (fiksi yang membangun kebenaran itu) untuk membuat manusia lain tunduk dan percaya tanpa syarat.” Atau saat ia menyesalkan tragedi bencana alam yang ditafsir secara takhayul sebagai “hasil kerja para demagog yang malas tapi angkuhnya luar biasa”.
Sisi lainnya, saya coba meletakkan kedudukan fiksi ke era Paska Kebenaran (post truth). Hingga…berbaurlah ia di bagian paling akhir dari rangkaian teks Azhari, tentang Bayang dan Bunyi.
Trio Kurniawan dalam Membunuh Hoaks: Rekonstruksi Nalar Manusia Era Post Truth menyebutkan, banalitas kebohongan yang tercipta di era digital terus memburu ruang-ruang informasi, nyaris tak dapat dibendung. Di tiap titik ia akan menemukan ‘jodohnya’, manusia mana yang tak selera mereguk segala hal yang memuaskan emosional. Dalam keadaan ini pula, kita mudah diseret sebagai objek berita bohong dan ujaran kebencian. Ditularkan kesedihan dari satu tempat ke tempat lainnya, mereguknya begitu saja tanpa menalar sejauh mana keterkaitannya pada konteks keberadaan kita sendiri saat ini.
Singkat kata, fiksi-fiksi ketakutan diciptakan dengan mengobarkan semangat, “persetan dengan konteks!”
Tapi, sepertinya kita tahu bahwa fiksi seperti ini bukanlah barang baru. Bukankah peristiwa 65, konflik di Aceh, Timor Leste, Papua dan sederet pemusnahan lainnya yang jadi bahan baku pilar-pilar kokoh rezim indoktrinasi itu, didorong oleh fiksi? Persis seperti yang dikatakan John Roosa (2006) saat mengutip filsuf Alain Badiou, mengenai adanya “kesetiaan pada simulacrum/citra khayali”. Sejarah pembasmian yang dilakukan sebuah rezim kerap kali didasari pada realitas semu.
“Ia (simulakra), meniru sebuah proses kebenaran yang aktual, namun memutarbalikkan aspirasi universal tentang ‘kebenaran’ yang sejati. Ia hanya mengakui sekumpulan orang tertentu sebagai peserta dalam kebenarannya itu, lalu menciptakan perang dan pembantaian sebagai upaya membasmi siapa pun yang berada di luar kumpulan yang telah diakui tersebut,” terang Roosa.
Biasnya politikus saat menyebut terorisme, separatisme, gerombolan, atau kelompok kriminal bersenjata, semua berkisar bagaimana ketakutan terhadap perlawanan dikemas lalu ditautkan di benak orang-orang untuk menarik dukungan. Sehingga ketika bias itu berkelindan menjadi realitas semu (lewat corong media) –bahwa mereka adalah murni penjahat, berbahaya, dan tidak boleh diajak dialog dan jangan diampuni—maka tindakan represif bisa diambil. Tragedi genosida 800 ribu jiwa etnis Tutsi di Rwanda pada 1994 yang sempat diceritakan dalam buku Meretas jurnalisme damai di Aceh (2007), juga dipicu oleh munculnya realitas semu yang diidap penguasa bersama etnis mayoritas di masa itu.
Simulakra tak ubahnya fiksi, karena (jika mengacu konstruktivisme) ia juga berangkat dari proses menginternalisasikan realitas di luar diri, mencampuradukkannya dengan kerangka pengalaman diri yang telah ada sebelumnya, lalu menghasilkan perpaduan berupa realitas eksternal. Meski keduanya (konstruktivis dan simulakra) saling berbeda soal definisi ‘peristiwa’ –di mana konstruktivis tidak meyakini realitas yang utuh atau kebenaran, berbeda dengan Alain Badiou yang tetap berpijak pada ‘kebenaran sejati’ untuk menjelaskan adanya citra khayali sebagai hasil dari pemutarbalikan fakta— namun saya rasa tak jadi soal, karena yang penting di sini, keduanya sama-sama bergulat pada proses ‘membuat sesuatu’.
Setelah menyingkap pertarungan realitas tadi, apakah Azhari membiarkan kita bimbang? Tentu tidak, pada akhirnya. Ada jarak yang disebutnya sebagai menang dan kalah.
Era Reformasi sejatinya membuka peluang untuk mengembalikan narasi keadilan yang telah terkubur puluhan tahun. Suara dan cahaya berpendar, menggeser ‘fiksi akbar’ tentang kepatuhan total yang dipelihara sang diktator, disokong peluh ratusan ribu mahasiswa di Senayan. Dari suara dan cahaya itu pula, muncul bunyi dan bayang tentang semangat menata kebaruan dan harapan-harapan baik.
Namun bayang dan bunyi terlampau liar memancar. Kita tak lupa bahwa kekuasaan dekat dengan kenikmatan dan kehormatan. Tak ubahnya seperti ambisi politik mercusuar di tengah-tengah rakyat yang kurus kering, bayang dan bunyi kenikmatan itu tetap diwariskan di masa berikutnya. Maka, “Ketika basis moral membusuk akibat korupsi dan kemunafikan elite penguasa, sementara universitas sebagai benteng terakhir tempat akal sehat bernaung runtuh dan para intelektual publiknya dirampas oleh partai politik, maka jawabannya adalah mundur ke belakang mencari basis moral baru, tidak peduli sejauh apa pun masa lalu itu berasal, asalkan kepastian, kenyamanan, dan perlindungan dapat ditawarkan,” tutur Azhari, seraya meminta kita untuk melihat realitas hari ini.
Sepekan sudah orasi kebudayaan ini dibacakan. Tapi keresahan Azhari masih terngiang. Terlepas dari siapa saja yang memilih berada dalam dekapan bayang dan bunyi yang berasal dari kharisma sang pengarangnya, ada segelintir manusia yang masih tegar meraba dengan caranya yang lain, meski tanpa cahaya, tanpa suara.
Mungkin, raut Adi Rukun yang menyiratkan ‘senyap’ saat menagih sesal pembantai saudaranya di tragedi 65, atau badan tegak Sumarsih yang kian renta di depan istana negara tiap Kamis petang, atau bahkan, rintik air mata penyintas kekerasan yang bersaksi di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh tempo hari, adalah upaya menyingkap bayang dan bunyi lain.
Atau, mereka tengah menjaga nurani dari busa mulut para demagog yang rajin berdebat di panggung dengan sorotan tajam kamera, yang menebar cahaya dan suara berisi dagelan yang sangat memalukan…
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )