Nada kembali ke ruang tengah. Mengembalikan stoples-stoples ke lemari kabinet, mencuci cangkir-cangkir bekas kopi. Bak cuci piring menghadap jendela yang membuka ke halaman belakang. Tak ada tirai di jendela itu. Nada bisa melihat bagian atas bangunan di bagian belakang halaman rumah induk.
Pada masanya, bangunan yang memanjang itu adalah dapur, kamar-kamar serta kamar mandi sopir dan pelayan. Kini ada sebuah lampu di teras bangunan itu yang menyala, menerangi sebagian daun pohon rambutan yang tumbuh dekat ke arah pagar paviliun. Ada sebuah pintu di sudut pagar situ, terbuat dari besi cor hitam melengkung-lengkung indah. Subuh, matahari selalu naik dari belakang pohon rambutan, cahayanya menghangatkan dapur Nada mulai pukul enam. Malam ini pohon itu nampak sebagai silhuet kehitaman dalam siraman lampu teras bangunan pojok. Lamat-lamat terdengar suara siaran teve, mengapung dari bangunan itu ke arah paviliun.
Nada membilas cangkir-cangkir kopi. Matanya asyik mengamati jatuhnya air ke permukaan porselen cangkir, suaranya gemericik. Lalu hidungnya mengendus sesuatu. Seperti bau asap tembakau. Nada mengangkat muka. Celingukan, mencari sumber bau. Dia sendirian di situ. Siapa yang merokok?
Bau tembakau semakin kuat. Nada mendengus-dengus. Mungkinkah dari luar? Tapi baunya tak jauh. Seperti di dapur ini. Mendadak Nada merasa seperti sedang diawasi. Seiring dengan perasaan itu, tiba-tiba saja dapur itu terasa dingin. Sangat dingin. Seolah Nada sedang berdiri di hadapan kulkas raksasa. Bau tembakau semakin kuat, kini dibarengi bau rempah. Bau parfum pria.
Badan Nada menegang. Seperti membeku kaku. Punggungnya serasa mengkerut. Kulit kepalanya bagai dirayapi ribuan semut api. Ingin menoleh, tapi tak kuat menghadapi kemungkinan, apa yang akan dilihatnya.
Lalu Nada mendengar suara bisikan. Dekat sekali. Seolah ada yang berbisik tepat di telinganya: “Ik ben hier ook…” aku juga masih di sini.
Suaranya berat. Garau. Suara laki-laki.
Nada berusaha keras mengendalikan tangannya yang gemetar, meletakkan cangkir di sisi bak cuci. Lalu dengan langkah yang dipaksakan agar terlihat santai, masuk kamar dan mengunci pintunya.
…
“Duh, mukamu pucat sekali, Nad,” Eri menelengkan kepala, memperhatikan wajah Nada. Saat itu dia dan Nada tengah mencari buku bekas di Jalan Citarum.
Lebih dari seminggu Nada sulit tidur. Ia juga tak pernah sarapan, karena selalu menghindar untuk masuk dapur. Selesai salat Subuh ia cepat-cepat mandi, bersiap, lantas pergi ke kampus. Pulangnya langsung ke kantor, dan baru pulang menjelang magrib. Sejujurnya, Nada merasa tak nyaman sendirian terlalu lama di paviliun. Tidak semenjak…. bisikan itu.
Sepagian ini Nada merasa pusing dan mual. Tapi ditahannya saja, berusaha bersikap biasa. Ia berharap kondisinya akan membaik dengan sendirinya. Tapi ternyata, saat menyusuri tumpukan buku bekas yang berderet-deret, Nada merasakan keringat dingin meluncur berkali-kali membasahi punggungnya.
“Aku capek sekali,” Nada menghembuskan nafas. Tanpa malu-malu duduk numprah di trotoar, di hadapan setumpuk majalah National Geographic bekas yang tersusun rapi. Si mamang pemilik lapak kelihatan khawatir, menghampiri: “Kunaon Néng? Teu damang? Calik di ditu atuh¹,” katanya sambil menunjuk. Dalam bayang-bayang gedung tua tempatnya melapak, nampak tikar terbentang. Ada gelas kopi dan dua bungkus rokok tergeletak di atasnya.
“Hatur nuhun Mang,” Eri yang menjawab. “Nad, ayo. Pindah. Panas sekali di sini.” Dibantunya Nada bangkit, terhuyung ke keteduhan bayang-bayang gedung. Sampai ke tikar si mamang yang meruapkan bau obat nyamuk bakar, Nada setengah membantingkan diri, kembali terduduk. Matanya terpejam.
“Aduh,” Eri mendesis. “Nad…. Apa yang terasa?”
“Pusing,” Nada terengah. “Dan mual,” ditekannya ulu hatinya. “Sial, sakit nih, Er…. Mungkin maag-ku kambuh.”
“Wah,” Eri menggigit bibir. “Aku telepon Bang Ronggur,” diambilnya telepon dari tas. Mencari nomor sebentar, lalu menekan. Tak lama ia sudah bicara dengan Ronggur.
“Kita tunggu di sini saja. Bang Ronggur sebentar lagi datang,” Eri duduk di samping Nada, di atas tikar. Si mamang pemilik lapak berdiri di dekat situ, masih nampak kuatir.
“Kasih minum yang hangat Néng,” katanya. Tanpa menunggu persetujuan Eri, si Mamang melesat pergi, dan kembali membawa segelas teh manis hangat. Diberikannya pada Eri, yang langsung membantu Nada meminumnya. Nada menyeruput sedikit, lalu kembali memejamkan mata. Teh hangat itu baik pengaruhnya. Nada merasa agak mendingan.
“Alhamdulillah,” batinnya. Merasa terharu oleh kebaikan si Mamang.
Terasa sangat lama bagi Nada, walau sebenarnya hanya lima belas menit, ketika didengarnya suara Ronggur: “Nis.”
Nada membuka mata.
“Hai, Thor,” ia meringis.
“Lupa makan lagi, ya?”
Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 7
“Nggak…. Nggak lupa. Memang aku lagi nggak selera makan aja.”
“Eesh.” Ronggur menghela nafas. “Bisa jalan? Mobil kuparkir di depan sana.”
“Mobil?”
“Pastinya kamu nggak kuat lagi naik motor kan,” suara Ronggur lunak. Dengan sekali gerak, dibantunya Nada berdiri. Sambil bersandar pada Ronggur, Nada mencoba bicara.
“Bang, tolong…. Ambilkan National Geographic itu. Aku mau beli. Mamangnya baik sekali tadi. Aku mau beli. Lima, ya,” bisiknya. Ronggur berhenti sejenak. Eri yang sedari tadi mendengarkan, dengan gesit meraup lima majalah dari tumpukan di trotoar. Ronggur cepat merogoh saku, membayar. Lalu dibopongnya Nada. Eri yang kecil badannya setengah lari di belakang Ronggur, membawa majalah-majalah Nada. Si Mamang tukang buku berseru-seru mengacungkan uang kembalian, yang dijawab Ronggur dengan anggukan, “Untuk Mamang. Nuhun, nya, Mang!”
“Langsung ke paviliun, nih, Bang?” tanya Eri saat ketiganya sampai di mobil.
“Ke IGD,” Ronggur menyebut nama instalasi gawat darurat Rumah Sakit besar yang terletak di seputar kawasan tempat tinggal Nada.
“Oke,” Eri membuka pintu penumpang belakang, meletakkan majalah dan ransel Nada di bangku. “Aku bawa motor. Nanti ketemu di IGD saja ya Bang.”
“Maaf ngerepotin, Er!” Nada berseru lemah.
“Apaan sih,” Eri mengebaskan tangan. “Aku ambil motor dulu,” gadis itu menghilang ke parkiran motor. Ronggur memasangkan sabuk pengaman di seputar pinggang Nada.
“Aku nggak mau ke IGD,” kata Nada. “Nggak tahan bau antiseptiknya.”
Ronggur pura-pura tak mendengar. Ia tahu, bukan itu alasan yang menyebabkan Nada tak mau ke Rumah Sakit. Gadis itu takut jarum suntik.
“Bang, jangan ke IGD,” ulang Nada.
“Salam dari Pak Pri. Cepat sembuh, katanya.” Ronggur mengalihkan pembicaraan.
“Oh… terima kasih….”
Pak Pri Ketua Prodi Geologi. Ia dan Ronggur sedang mengerjakan survei di Riau Kepulauan. Nada jadi paham satu hal. Mobil yang mereka tumpangi ini adalah milik beliau.
Walau takut setengah mati, saat tiba di IGD Rumah Sakit itu Nada tak bisa menolak lagi. Eri ternyata sudah di sana juga. Matanya yang besar dan jeli nampak semakin besar diberati kecemasan ketika ia buru-buru mendorong sebuah kursi roda, menyongsong Ronggur yang membopong Nada. Tak lama, Nada sudah menggeletak di ranjang observasi dengan selang intravena tersambung ke pembuluhnya.
“Gastritis kronis. Lumayan tuh,” Ronggur masuk bilik tempat Nada terbaring, membawa bungkusan obat, sebotol air dan sebungkus crackers. Dikupasnya dua jenis obat, disodorkan pada Nada bersama botol air. “Artinya kamu sudah lama mengabaikan lambungmu, Nis. Harus istirahat seminggu. Ini suratnya,” Ronggur melambaikan sehelai kertas bercap logo Rumah Sakit.
Nada mengerang.
“Seminggu??”
“Yap. Dan makan bubuuurrrrrr,” Ronggur terbahak melihat wajah Nada. Gadis itu langsung nampak super sengsara mendengar kata ‘bubur’. Eri ikut ketawa.
“Nggak apa-apa Nad, biar aku masakin,” katanya.
“Yaa…. tapiiii…. Bubuur….” Nada merintih. Eri ketawa lagi.
“Dasar orang Aceh. Nggak bisa ya, makan tanpa cabe dan asam sunti!” kata Eri. Dirapikannya selimut biru yang menutupi kaki Nada. “Nanti aku nginap di paviliun. Pokoknya kau harus nurut aturanku seminggu ini, ya.”
Nada tidak bisa menolak. Sebab terasa sekali betapa sang sahabat sangat sayang dan memperhatikannya.
¹ Ada apa Neng? Sakit? Ayo duduk di sana saja (bahasa Sunda)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )