Eri benar. Rumah itu cantik. Letaknya di sebuah jalan yang tersembunyi di balik lindungan sederet rumah-kantor. Untuk mencapai rumah, kita harus masuk halaman kompleks rukan alias rumah kantor dulu. Lalu melalui semacam gang sepanjang sekitar sepuluh meter. Nantinya gang itu bercabang ke kiri. Menuju permukiman penduduk. Tepat di kelokan ujung gang itulah gerbang rumah itu berada. Dari besi berukir, tinggi. Di puncak tiang beton di kiri kanan gerbang ada patung gryffon. Rajawali bertubuh singa.
Dulu daerah sekitar rumah itu tentunya pernah tenang dan asri, dengan pepohonan besar serta taman-taman terpelihara. Namun kini, bila sore tiba deretan bangunan komersial di depan menghalangi sinar matahari masuk ke sebagian halaman rumah sebelah kanan. Udara di situ terasa lebih dingin daripada di tempat lain. Bangunan rukan juga menyaring suara dari jalan besar, sehingga suasana rumah itu terasa sangat tenang. Senyap. Seperti masuk ke dunia lain.
Kemarin Nada sudah sempat datang. Diantar Hana, mereka tidak bertemu pemilik rumah. Pintu dibuka seorang gadis yang mengaku bernama Rina. Hana tidak mengenalnya.
Gadis itu mengatakan bahwa Tante Hanum sedang keluar. Nada berjanji akan datang kembali keesokan harinya. Itu artinya hari ini. Sayangnya, Hana tidak bisa mengantar karena ada kuliah. Maka kini Nada berdiri sendirian di depan gerbang besi berukir itu. Mendorongnya sampai terbuka. Berat bukan main. Motornya dituntunnya masuk, diparkir di samping beranda yang dilingkungi tembok rendah.
Pekarangan rumahnya sangat luas. Berbagai pohon dan tanaman tumbuh subur. Mulai dari pohon kihujan tua setinggi hampir delapan meter hingga kemboja dan beberapa pakis haji. Namun yang paling menyolok adalah batang-batang bunga matahari kuning menyala. Mereka tumbuh di mana-mana kecuali di bagian halaman yang digelapi dinding rukan dan pepohonan.
Bunga-bunga itulah yang rupanya memberi nama pada rumah itu. De Zonnen, matahari. Atau sebenarnya, banyak matahari. Nama itu diukirkan dengan huruf timbul di atas pintu rumah. Siang hari seperti sekarang, semua tangkai bunga matahari itu menghadap ke bawah. Seperti siswa sekolah yang merasa bersalah ketahuan menyontek.
Rumah bergaya kolonial kontinental itu atapnya terbuat dari sirap. Bentuknya menyungkup seluruh lantai dua, menyisakan tempat bagi jendela-jendela yang dicat putih, kosen jendelanya coklat hitam dengan terali belah ketupat. Jalanan semen menghubungkan gerbang dengan serambi utama. Pintu rumah berupa pintu ganda. Ada teras tertutup di kiri, penuh jendela yang bisa dibuka lebar untuk memasukkan udara segar. Kini jendela-jendela itu terkatup, memantulkan bayang-bayang pakis haji dan kemboja, yang berderet di tepi pagar. Bunganya wangi menusuk hidung. Di tengah halaman tumbuh pohon kihujan yang jelas sudah berusia puluhan tahun.
Saat Nada tiba, selintas matanya seperti melihat sesosok bayangan pada jendela di sebelah kiri. Tak begitu jelas, tapi Nada masih sempat melihat bahwa sosok itu jangkung. Melebihi tinggi orang Indonesia umumnya. Kurus bagai kerangka, ceruk matanya sangat dalam sehingga biji matanya tak nampak.
Hanya sekejap. Cepat sekali, detik berikutnya sudah tak nampak. Nada mulanya mengira makhluk itu hanya ada dalam pikirannya saja. Ia tertegun sejenak. Memandang jendela di kiri. Tapi yang nampak hanya tirai tipis. Bayangan itu sudah lenyap.
Sedetik Nada berdiri, ragu-ragu. Tapi kemudian diputuskannya menekan bel.
Bunyi dentang nyaring menggema dalam rumah. Sepi sejenak. Lalu terdengar langkah bergegas, dan pintu pun terbuka.
Pemilik rumah, seorang perempuan yang masih menarik dalam usianya yang nampaknya sudah menginjak tujuhpuluhan, menerima Nada di ruang depan. Gadis yang menemui Nada kemarin hadir juga, berdiri sedikit di belakangnya. Dia kira-kira lebih tua empat-lima tahun daripada Nada. Rambut gadis itu lemas halus, terurai seperti sarang laba-laba di seputar wajahnya. Ia sebenarnya manis, asalkan ekspresinya tidak selalu muram. Gadis itu mengenakan kardigan. Dalam rumah memang terasa dingin, padahal cuaca saat itu sedang panas-panasnya.
“Oh, terima kasih karena bersedia tinggal di sini!” seru perempuan pemilik rumah, Tante Hanum, berseri-seri. ”Mungkin nanti kau bisa mengajak satu-dua teman untuk tinggal sama-sama. Supaya anggapan orang sekitar sini bahwa rumah ini berhantu, hilang.”
“Aah.” Nada tak tahu harus berkata apa. Matanya melirik dua cermin berukir yang digantungkan berhadapan, di samping rak besar yang tertanam ke dinding. Cermin itu menangkap dan memantulkan kembali cahaya dengan cara aneh, sehingga memperkaya gerakan bayangan yang memenuhi rumah itu.
Rumah itu memang seperti penuh bayangan yang bergerak-gerak. Dari ruang depan itu terlihat tangga kayu hitam ke lantai dua, melintir ke kiri kemudian lenyap di balik langit-langit. Lukisan cat minyak tergantung di mana-mana. Kebanyakan obyeknya adalah pepohonan. Lalu tatapan Nada terhenti pada lukisan di dinding sempit di atas tangga. Lukisan itu lain sekali dari lukisan selebihnya. Terutama karena obyeknya manusia. Kepala gadis dalam lukisan itu mengenakan semacam syal lebar. Sebelah tangannya mengangkat kain itu, menutupi wajah. Sehingga hanya matanya yang nampak. Mata itu seperti hidup. Bersinar. Memperhatikan gerak gerik Nada.
Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 1
Saat itu ada kucing tiga warna muncul entah dari mana. Dia berjalan dengan langkah menyelinap, melompat naik ke meja panjang di sisi ruang depan itu. Di sana ia duduk mendekam, matanya yang kuning lurus menatap Nada. Nada membalas tatapannya.
Begitu tatapan mereka beradu, seketika itu juga Nada terkesiap. Dia merinding. Ada aliran dingin tahu-tahu turun dari langit-langit, menyergap tengkuknya. Jantung Nada mencelos. Aliran dingin itu begitu nyata. Seperti ada tangan dengan jari-jari sedingin es, meraba seluruh bagian belakang tubuhnya.
Nada terperanjat, mendongak, berharap melihat sesuatu. Tapi yang tertangkap matanya hanya langit-langit putih setinggi empat meter. Kosong. Saat kepalanya kembali menunduk, Nada lagi-lagi merinding. Kucing tadi masih menatapnya. Tajam.
Tatapan mata mereka bersirobok lagi. Pelan-pelan kucing itu menyipit. Lantas mulutnya perlahan membuka. Suatu desisan keji keluar dari celah taringnya. Desisan itu begitu penuh kebencian hingga Nada terpaku kaku. Berbareng, di ujung ruangan dilihatnya mata gadis di lukisan mengedip dua kali. Seolah tengah tersenyum di balik kain syalnya.
Tepat pada saat itu Tante Hanum mengatakan sesuatu. Nada bergidik. Buru-buru berusaha memfokuskan pandang. Ia merasa seperti baru saja lepas dari suatu sihir jahat. Kucing tadi menyelinap, hilang.
“Eh…ya, Tante? Apa?” Nada menggeragap.
“Kataku tadi, aku akan mengantarmu melihat-lihat.” Tante Hanum tersenyum. Dijejalkannya serenceng kunci ke saku celana panjangnya. “Yuk, kita ke paviliun sekarang.”
Nada mengikuti Tante Hanum. Rina yang berdiri di belakang Tante Hanum, meski agak cemberut, juga beranjak, mengikuti mereka.
Mereka melintasi pekarangan ke arah samping. Paviliun yang akan ditempati Nada ada dalam bayangan gedung rukan di depan. Teras paviliun itu terlindungi tanaman merambat berbunga putih. Pintu gandanya dari kaca. Tante Hanum berjalan di depan. Nada di belakangnya, bersama si gadis rambut panjang, Rina. Selagi menelusuri jalan semen retak-retak yang membelah halaman menuju paviliun, Rina menoleh.
“Kau keturunan Jepang?” katanya. Suaranya yang lirih itu diwarnai nada masam dan ironi yang disengaja. Nada mengangkat alis.
“Bukan.”
“Tapi namamu seperti nama orang sana.”
Jadi kenapa hal itu mesti membuatmu begitu kecut, Nona Asam Cuka, pikir Nada, setengah geli setengah kesal. ”Namaku yang mana? Denada? Putroe? Koto? Bukan Jepang. Itu nama Sumatera,” ujarnya.
“Oh. Nama aneh.” Rina membungkuk mengambil setangkai kemboja jatuh, menyelipkannya di atas telinga. Nada menatap punggung gadis itu, yang berjalan perlahan-lahan di atas semen licin oleh hujan pagi tadi. Karena pekarangan bagian situ tak tersentuh matahari, genangan air tak menguap.
Kau sendiri yang aneh, batin Nada. Kalian semua aneh. Kucing kalian aneh. Lukisan tadi juga aneh. Bagaimana mungkin gadis lukisan bisa mengedip?? Rumah ini bukan Hogwarts dan pastinya objek lukisan di sini tidak bisa mengedip. Tapi Nada yakin mata gadis di lukisan itu tadi mengedip. Atau apakah itu cuma halusinasinya, karena suasana remang dalam rumah itu?
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )