I’m Still Here — Chapter 1

Novela Misteri I'm Still Here Breedie

Denada Putroe Koto, mahasiswi, terpaksa pindah kosan karena orangtuanya mengalami kesulitan ekonomi. Tengah bingung mencari kosan yang sesuai budget, sahabatnya, Eri, menawarkan sebuah paviliun yang boleh dipakainya secara gratis. Katanya, pemilik rumah itu, Tante Hanum, hanya ingin paviliun itu ditempati supaya tidak rusak oleh cuaca dan kelembaban.

Masalahnya, konon rumah itu berhantu. Ada sekeluarga bangsa Belanda yang dibantai orang di sana. Selain itu, ada sepasang kekasih yang mendadak hilang dari paviliun itu, yang tengah mereka sewa. Tapi, Denada memutuskan untuk tetap menempati paviliun itu….

Novela bergenre misteri ini tayang setiap malam Jumat di breedie.com! Pantau terus, Bree…

Tiga tahun mukim di tempat sama, Nada mantap mencari pondokan baru. Kontrakan lamanya, yang dia share bersama Arlin dan Desi, sebetulnya super nyaman. Apalagi dapurnya. Kulkas raksasa yang ditinggalkan Bu Sundani, pemilik rumah, betul-betul menambah suasana homy. Tetapi rumah itu memang agak jauh dari kampus.

Agustus ini Nada akan menempuh mata kuliah Perancangan Studio 471, perencanaan fasilitas umum. Jelas beban kerjanya di studio akan bertambah. Ia pasti akan sering pulang malam. Jadi, diperlukan kosan yang dekat dengan kampus, agar ia bisa pulang pergi dengan cepat.

Itu alasan yang dikatakannya pada kedua mitra kontraknya. Alasan sebenarnya disimpannya rapat. Hanya diungkapkan kepada Eri. Sahabatnya yang paling karib.

Suara Bunda malam itu di telepon tidak begitu jelas. Yang bisa Nada tangkap hanya kecemasan: pohon-pohon pala di kebun Ayah rusak oleh hama penggerek batang. Batang pala hancur tanpa ampun. Remah seperti kena gergaji mesin, tapi yang dihantamkan dari bagian dalam.

“Ke—kenapa bisa begitu, Bun?”

“Tidak ada lagi cicem pala. Hama itu tidak ada yang melawan.”

“Tidak ada cicem pala?” cicem pala atau ceumpala kuneng, burung mungil bersuara lantang, penghuni khas lampoh (hutan kebun) pala. Orang kampungnya memesrai nyanyian burung itu sebagai musik pengiring musim memetik pala. Kini burung itu mulai menghilang dari hutan seiring lenyapnya riam-riam sungai.

Kata Ayah, cicem pala jantan memerlukan suara gemercik riam sungai untuk memantik keinginannya kawin. Seperti semacam dondang pengantar upacara akad nikah. Tanpa suara riam sungai, kelenjar penghasil hormon seksual cicem pala jantan sangat lambat berproduksi. Membuatnya tak menaruh minat untuk kawin. Tak ada pernikahan, tak ada bayi burung. Tak ada burung, hama pala tak ada pemangsa. Pohon pala jadi korban.

Tapi pohon yang pernah menjadi ratu komoditi Aceh Barat-Selatan itu bukan korban terakhir. Setahu Nada, selama empat tahun ia kuliah, batang-batang pala di lampoh Ayah masih berbuah lebat. Ditambah panen padi, durian serta hasil tangkapan bot tuna milik Ayah, kedua orangtuanya dengan ringan mengisi rekening Nada setiap bulan. Mudah saja mengongkosi membuat cetak biru dan membeli tinta rapido atau cat poster di Pasar Balubur. Di akhir bulan, Nada juga masih bisa jajan batagor dan novel dari uang makan yang tersisa. Tentunya sekarang tak bisa lagi seperti itu.

Baca Juga: Bau Busuk dan Cekikikan Perempuan di Malam Penuh Horor

“Bisakah kau cari tempat kos lain, nak?” kata Bunda, tekanan suaranya meminta maaf.

Nada mengerti.

Kontrakan lamanya terletak di daerah elit. Dekat kompleks Dosen, di ujung utara kota. Semua kawannya satu kontrakan anak orang mampu. Ayah Arlin direktur di sebuah BUMN. Desi berorangtuakan dokter spesialis. Dulu, dengan kebun pala dan bot tuna Ayah, ia sendiri termasuk anak orang berada. Share biaya kontrak sepuluh juta setahun, hanya seharga setengah kali panen semusim pala bagi ayahnya. Tapi kini semua berubah.

Pembalakan liar rimba Kawasan Ekosistem Leuser di sekitar kampung telah mengeringkan semua mata air sumber riam sungai. Akibatnya, cicem pala tak punya musik pengiring kawin. Gara-gara cicem pala tak berkembang biak, pohon pala dirusak hama. Dan sekarang, gara-gara ulat putih yang dipijit jempol pun mejret, Nada terpaksa harus keluar dari kontrakan yang sudah kadung dicintainya itu. Bahkan mungkin terpaksa putus kuliah. Padahal langkahnya tinggal setahun lagi.

Tuhan memang suka bikin kejutan, pikir Nada. Siapa mengira, penggundulan hutan dapat berakibat langsung pada studinya. Tapi itulah yang terjadi!

Seminggu penuh Nada kelimpungan. Mencari-cari kamar kos yang harganya terjangkau. Ia sudah menemukan dua lokasi yang memenuhi salah satu kriteria: jarak ke kampus. Namun harga selalu susah cocok. Yang dekat ke kampus terlalu mahal. Yang kira-kira terjangkau, di ujung dunia sana letaknya.

Nada sudah hampir putus asa dan berniat akan mengambil saja kamar kos yang terakhir ditinjaunya. Nyaris saja dibayarnya uang muka untuk kamar itu, ketika mendadak Eri membawa kabar surga.

“Nad, kau sudah bayar kamar di Pasar Simpang itu?” Eri mencocok-cocok irisan kedondong dengan garpu. Menyapu bumbu rujak yang tersisa di piringnya. “Jangan dulu! Kalau kau mau, ada satu tempat yang bisa kau tempati. Gratis. Tak usah bayar apa-apa kecuali listrik dan air.”

Nada membeliak.

“Yang bener, Er!” geramnya, tak percaya. ”Gratis? Sekarang ini?? Di kota ini?? Jangan becanda ah.”

Eri mengangkat bahu. “Yah…terserah kau mau percaya atau nggak.”

Nada menatapnya.

“Jangan-jangan ini kamar bocor dua kali dua meter di atas gudang pupuk, ya?” ketawanya.

Eri tersenyum. “Bukan. Ini paviliun berkamar dua, lengkap dengan ruang tamu, kamar mandi sendiri, dapur plus sepetak halaman belakang yang terpisah dari rumah induk.”

“Ah! Tahayul!!” Nada membeliak.

“Aku nggak bohong. Tapi, Nad…”

“Nah kan, ada tapinya,” tawa Nada tersembur. ”Tapi apa? Berhantu, langganan kebanjiran, letaknya di peternakan sapi di ujung Jalan Sersan Bajuri, Lembang sana?”

“Bukaaaan!!” Eri ketawa juga. “Tempatnya cukup dekat dari sini. Pastinya bebas banjir. Daerah tua, bekas lokasi elit bangsa Belanda. Tapi kau benar—rumahnya berhantu.”

“Ah.” Nada mengangkat alis.”Hantu, ya?”

“Hantu,” angguk Eri, mukanya yang bulat dan tenang itu tak menggambarkan apa pun. ”Begini. Kau kenal Hana kan….?”

Nada mengangguk. Hana anak Teknik Sipil. Pacarnya, Tegar, senior Nada di Liga Film Mahasiswa. Salah satu unit kegiatan mahasiswa di Kampus. Hana pernah satu kosan dengan Eri.

Baca Juga: Sahur Stories: Sumur Tua

“Nah. Pemilik rumah itu kawan sekolah ibunya. Rumah kolonial. Besar. Aku pernah lewat di gang depannya. Rumahnya sih cantik. Kamu yang tukang bangunan ini pasti jatuh cinta. Tapi ya itu… kata Hana, ada hantunya. Tetangga sekitar rumah katanya suka mendengar jeritan dan tangisan dari arah rumah itu…tapi kalau dicari, nggak ada apa-apa. Katanya juga, kadang-kadang ada bayangan putih lewat di teras rumah yang berhubungan dengan paviliun. Konon, keluarga Belanda pengusaha perkebunan, pemilik asli rumah itu, dibantai seseorang. Menggunakan pisau besar. Pembunuhnya tak pernah ditemukan. Para pembantu yang bekerja di rumah itu, semua melarikan diri karena takut dipersalahkan. Polisi baru tahu bahwa keluarga itu sudah tewas setelah tetangga melapor tak melihat mereka selama lebih dari sebulan.”

Yikes. Sudah… anu, dong, jasadnya?”

“Tepat.” Eri tersenyum. Sok misterius. Nada berpikir sebentar.

“Hmm…. pembunuhan itu bukan di paviliunnya, kan.” kata Nada. Suaranya tidak bertanya. Tapi menegaskan. “Yang mau dipinjamkan paviliunnya, kan?”

Eri menyeringai.

“Di paviliun…. lain lagi. Katanya dulu pernah ada sepasang lelaki dan perempuan menyewa tempat itu—“

“Maksudmu suami istri?”

“Bukan. Justru ini titik beratnya. Mereka nggak menikah, si lelaki punya anak dan istri di luar negeri. Konon, suatu hari ada jeritan dan tangis anak-anak dari arah paviliun, yang segera hilang. Padahal si wanita tak punya anak. Hamil pun tidak—kelihatannya. Tak ada yang bisa memastikan… Seminggu kemudian, sepasang lelaki dan perempuan itu lenyap. Si empunya rumah memutuskan untuk menunggu lebih dulu karena siapa tahu kedua penyewanya itu hanya pergi keluar kota tanpa pamit.”

“Tetapi setelah seminggu lewat dan tak ada tanda-tanda, akhirnya mereka memutuskan untuk masuk ke paviliun. Ternyata tampaknya keadaan di situ nggak berubah. Barang-barang masih ada di tempatnya. Di dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan bahkan masih ada piring-piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi. Makanan itu baru disentuh sedikit, begitu juga gelas-gelas teh manis yang penuh semut. Seolah-olah sepasang kekasih itu baru saja hendak duduk untuk sarapan ketika tiba-tiba sesuatu—sesuatu yang misterius—mengisap mereka ke dalam udara tipis, lenyap begitu saja.” Eri menyelesaikan ceritanya dan menatap Nada. Nada balas menatap.

Sepi. Mamang tukang rujak mengambil piring-piring yang ditinggalkan pelanggan lain, membawanya ke bak cuci piring. Eri menyeruput minumannya. Lalu Nada mendehem.

“Katamu aku nggak usah bayar apa-apa untuk menempati paviliun itu?”

“Nggak sesen pun. Kata Hana, teman ibunya hanya ingin paviliun itu dihuni, supaya nggak dirusak jamur dan kelembaban. Tadinya paviliun itu ditawarkan pada Hana. Tapi kata Hana dia sudah kepalang membayar uang kos setahun pada induk semangnya yang sekarang. Selama ini paviliun itu juga sudah ditawar-tawarkan terus, tapi tak ada yang mau tinggal di sana. Reputasinya kayak gitu, sih.”

“Hmm.” Nada terdiam sejurus. Di benaknya terbayang wajah Ayah. Terakhir bertemu, rambut lelaki itu sudah meriah dihiasi warna kelabu. Gerak geriknya yang dulu begitu gesit dan kuat, mulai melambat. Ayah mulai sering harus duduk beristirahat. Celana kerjanya berganti setelan baju koko, pada jam-jam sembahyang ia lebih cepat berada di Masjid. Uang yang dihemat Nada dengan tak usah membayar kontrakan, pasti akan memberi lebih banyak lagi kesempatan bagi Ayah untuk istirahat, dan bergabung dengan jamaah di Masjid.

Kemudian Nada berlagak menyedot hidung, menggosok alisnya dan berkata:

“Jadi kapan aku bisa melihat tempat itu?”

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

2 thoughts on “I’m Still Here — Chapter 1

  1. Jujur ketika baca ini Ada tentany cicem pala, jadi teringat kebun pala kami. Ayah Dan umak Saya sangat rajin bercerita ttg cicem pala di kebun pala. Sayangnya sekarang tidak terdenyar lagi suaranya, padahal fidaerah kecamatan Saya dia tidak diburu tapi entah kenapa bisa tidak Ada lagi. Ortu Saya selalu mengaitkan “nakdo murai du, Palo awak kanai musibah sakik buah Palo” artinya : tidak Ada lagi cicem pala, maka pala terkena musibah, penyakit pada buahnya Dan pohonnya mati.
    Terimakasih penulis Dian guci sudah menceritakan cicem pala dalam cerita ini😍😘😘

  2. Wah. Terima kasih kembali, senang bahwa apa yang saya tulis sudah membangkitkan kenangan masa silam yang–pastinya–indah.
    Dan terima kasih banyak banyak karena sudah memberikan kesaksian kuat yang mendukung tulisan saya, bahwa pohon-pohon pala Aceh banyak musnah karena tidak ada lagi cicem pala yang bisa memangsa hama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *