Dini yang sejak tadi diam saja, ikut bicara.
“Kita coba ke Asrama Gelap Nyawang yuk Nad,” katanya, merujuk nama asrama putri yang terletak satu jalan saja dari kampus mereka. “Kalau memang ada kamar kosong, Eri sama Yasmin juga bisa tinggal di situ.”
Nada diam. Seperti ada sesuatu yang terperas-peras di dalam perutnya.
“Aku nggak bisa,” katanya pelan. “Maksudku…. kalau aku pindah dari paviliun, itu artinya aku kalah.” Nada memejam. “Aku nggak suka kalah. Aku nggak mau.”
“Ini demi keselamatanmu Nad,” kata Eri.
“It’s okay Er,” Nada menarik nafas panjang. Sifat keras kepalanya muncul. “Kau dan Yayas nampaknya memang lebih baik pindah. Kecoak mati, pashmina dikoyak dan Laila serta Majnun—“ Nada berhenti sebentar. “Aku paham yang namanya ancaman ketika aku melihatnya. Aku setuju, Eri dan Yayas memang harus pindah. Din, kau juga sebaiknya pindah, karena walau pun sampai sekarang kau tidak diganggu, lebih baik nggak ambil resiko. Tapi aku, aku nggak bakalan kenapa-kenapa. Yayas sendiri juga tadi bilang, sepertinya sesuatu itu suka padaku.”
Dini batuk kecil.
“Masih ingat bola karet merah yang ngglundung sendiri ke kakiku?” dia tertawa sumbang. “Kayaknya aku ga kepingin tahu, apalagi yang bisa dilakukan oleh…. entah siapa yang menggulirkan bola itu dan mencoba mengajakku main.” Lantas ia menarik nafas panjang.
“Nad, sebenarnya, selesai ujian terakhir Jumat depan ini, aku mau ke bandara. Ummi menyuruhku pulang. Abangku mau melamar pacarnya,” katanya. Wajah Eri berubah. Seperti teringat sesuatu.
“Yaa Allah…. Aku hampir lupa…. Nad, Jumat itu juga aku harus ke Jakarta. Sepupuku yang di Pondok Labu kawin… Nad, please, kau harus keluar dari paviliun itu. Setidaknya selama libur tengah semester ini. Sampai kami kembali.”
“Dan setelah itu aku mau pindah,” Yasmin menyedot hidung. Nada meliriknya. Ia paham mengapa Yasmin berkeras seperti itu. Tapi tak urung hatinya terasa sakit.
“Aku nggak akan kenapa-kenapa guys. Insyaa Allah,” ujarnya. “Aku bisa menunggu sampai kalian balik lagi. Sekalian menjaga barang-barang kita. Setelah itu…” Nada menelengkan kepala. “Baiklah, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk pindah. Kita lihat saja.”
“Alhamdulillah,” Eri langsung memeluk dan menciumi pipi Nada. “Aku senang mendengarnya, Nad.”
Yasmin dan Dini tak mengatakan apa-apa. Tapi mereka tersenyum berseri-seri.
…
Dini naik taksi online ke bandara pada Jumat siang. Ia hanya membawa travel bag kecil, berjanji pada Nada bahwa pulangnya ia akan membawa kopi banyak-banyak. Yasmin telah lebih dulu pergi, naik pick up bersama rombongan pencari adrenalinnya. Ia berpesan agar Nada berhati-hati. Nada tertawa, meyakinkan Yasmin bahwa ia tak apa-apa.
Sewaktu Daud menjemput Eri untuk mengantarnya ke terminal mobil travel, Nada tidak merasa cemas. Ia keluar juga hari itu, ke toko buku. Dan ia merasa tenang. Tenang saja dipacunya motor, menyusuri jalan-jalan ramai bagian utara kota. Ia tidak cemas ketika membeli nasi kapau di warung langganannya, dekat simpang jalan rukan menuju De Zonnen. Lalu pulang. Juga tidak cemas ketika mandi, makan lalu nonton teve, sendirian di paviliun. Tapi ketika malam turun dan ia harus menyalakan lampu-lampu teras depan dan belakang, bulu kuduknya mulai berdiri.
Ia tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tengah mengawasinya. Lubang-lubang angin yang memanjang di dinding tinggi di atas rak buku di ruang tengah, menambah perasaan tak nyaman itu. Berkali-kali saat menonton teve, Nada mengerling ke sana. Perasaan itu bertahan terus, hingga akhirnya Nada menyerah. Ia ke dapur, mengambil pisau dari laci, lalu masuk kamar, mengunci pintu dua kali dan mengaitkan empat selot yang ditambahkan di situ.
Dipandanginya kamar itu. Ranjangnya ditempatkan agak dekat ke jendela, terhalang nakas. Ranjang Eri di seberangnya. Di antara ranjang Eri dan dinding ada ruangan selebar sekitar satu meter, yang digunakan Eri untuk meletakkan rak buku kecil miliknya. Ruang di tengah kedua ranjang mereka diisi meja tulis yang dibawa Eri.
Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 16
Nada duduk di ranjangnya. Radio disetel pelan, hanya terdengar telinganya sendiri. Penyiar mengumumkan bahwa saat itu pukul dua puluh tiga lewat sepuluh menit.
Lalu pintu kamar berderak. Nada terlompat. Dilihatnya tuas pintu bergerak. Pelan-pelan. Seolah ada sesuatu di luar kamar yang mencoba masuk tanpa diketahui.
Seluruh bulu roma Nada bangun. Didengarnya ketukan dari arah pintu. Tiga kali. Lalu berhenti. Agak lama. Nada mulai merasa lega, mengira bahwa gangguan sudah berakhir. Kemudian darahnya mendadak jadi dingin rasanya. Ada ketukan di jendela kamar. Mula-mula di kosen. Lalu di kaca. Suaranya tajam. Seperti diketuk dengan kuku yang panjang.
Dengan jantung seperti mau meledak Nada turun dari ranjangnya, secepat mungkin merayap menjauhi jendela. Digesernya rak buku kecil Eri agak ke depan. Ruang yang tercipta antara rak, ranjang dan dinding cukup baginya untuk duduk bersila. Di benteng sempit itulah Nada duduk, menggenggam pisau dapur di tangannya erat-erat.
Ketukan di kaca masih berlangsung. Tik-tik-tik, berhenti. Lalu: tik-tik-tik, kali ini di jendela yang lain. Nada gemetar. Perutnya terasa bagai ditusuk. Ketukan di jendela berhenti. Tak lama, terdengar kembali di pintu kamar, lebih keras kini.
Nada menggigit bibir. Hatinya sibuk memanjatkan doa, matanya tak lepas mengawasi pintu dan jendela. Apa pun yang ada di luar itu, ia tak menyerah begitu saja. Ketukan-ketukan datang lagi. Berpindah, seakan menyusuri dinding kamar Nada, berbelok di sudut, menuju kamar mandi. Kemudian berhenti. Mulai lagi setelah beberapa saat.
Telepon genggam Nada ada di ranjang. Ia lupa membawanya tadi, karena sibuk menyengkeram pisau. Kini ia tak berani mengambilnya, yakin bahwa kalau ia bergerak maka sesuatu di luar itu akan mendengarnya.
Air mata Nada mengembang. Mengalir sunyi ke pipi.
…
Suara-suara ketukan berhenti setelah azan Subuh berkumandang. Akhirnya Nada berhasil menguatkan diri untuk mengambil teleponnya dari atas ranjang. Lalu diteleponnya Ronggur, yang tak lama segera muncul di paviliun.
“Lebih baik kamu menginap di rumah salah satu kawanmu dulu, Nis,” kata Ronggur. Mereka duduk di lantai teras depan, karena Nada berkeras tak mau duduk di mana pun di dalam paviliun. Ronggur memeluknya. Nada gemetar seperti daun kering ditiup angin.
Ronggur meletakkan dagunya di puncak kepala Nada. “Ke rumah Ade, misalnya. Dia orang sini kan? Coba telepon dia. Mestinya dia ada di rumah. Tidak mudik atau semacamnya.”
Nada menggeleng lemah.
“Aku nggak mau,” katanya. “Nggak mau bikin repot orang.”
“Hanya sebentar. Sampai kawan-kawan serumahmu pulang,” kata Ronggur.
“Nggak.” Nada keras kepala.
“Oke…”
Saat itu pukul setengah tujuh. Ronggur mendengar-dengarkan burung-burung kecil ribut di puncak pohon kihujan. Bunga-bunga matahari yang baru mekar berbau pahit tapi segar dalam angin lembut. Pagi itu sangat indah.
“Kepalaku pusing,” keluh Nada. Ronggur mengangkat tangan mengurut kepala gadis itu, yang tersandar di dadanya.
“Ya pastinya. Kamu nggak tidur semalaman,” katanya. Nada diam saja. Membiarkan kepalanya dibarut-barut. “Kenapa sih kamu nggak cerita dari awal. Supaya nggak berlarut-larut begini.”
“Aku takut Abang akan suruh aku pindah,” sahut Nada pelan. “I can’t afford to move right now.”
“Aku kan bukan diktator Nis. Kalau kamu cerita, minimal aku bisa bantu carikan solusi win-win,” ujar Ronggur. “Tapi, idemu mengajak Eri dan kawan-kawan lain tinggal di sini, sudah bagus, sih.”
“Cuma… gara-gara aku, Laila dan Majnun terbunuh,” Nada mendengus. Air mata mulai mengalir lagi, di mata dan di dalam hidungnya.
“Sst. Mana kamu tahu bahwa—ahem—si pengganggu itu akan membunuh mereka. Lagipula, kamu tidak memaksa Yasmin untuk tinggal di sini. Itu pilihannya sendiri.”
“Memang,” kata Nada. “Tapi tetap saja aku merasa bersalah banget….”
“Aku ngerti. Tapi walau kamu pelihara terus perasaan itu sampai meletus, burung-burung itu nggak bakal hidup lagi, kan,” ujar Ronggur. “Yang harus kamu lakukan adalah menghentikan si pengganggu.”
“Aku nggak sanggup,” tukas Nada. “Mendengar suara kuku di kaca itu saja bikin tulang punggungku jadi es.” Nada bergidik. Ronggur menekapkan kepala Nada ke dadanya, lalu menciumnya.
“Kalau begitu, mulai malam ini aku tidur di sini,” ujar Ronggur. “Di ruang tengah. Supaya aku bisa pergoki dan tangkap makhluk yang mengganggu kalian itu. Kalau Eri sudah pulang nanti aku balik ke pondokanku.”
“Tangkap? Bang, bagaimana kalau dia bisa berubah jadi asap, lalu menghilang?”
“Kita lihat saja.” Ronggur mengangkat bahu. “Bukan tanpa alasan Amang memberiku nama Darimangambat¹,” ia menyeringai.
¹ Menghadang/melindungi dari bahaya (bahasa Batak)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )