“Adek….,” suara Bang Tareq sangat halus. Mendengar halusnya suara abangnya, Dinda merasa otot-otot punggungnya menegang. Rasanya seperti mau meloncat, pikir Dinda. Mungkin begini yang dirasakan harimau saat akan menerkam. Waspada. Bersiap.
“Bunda sudah dua tahun nggak ada, dek,” kata Bang Tareq. “Selama dua tahun itu, Abang belum pernah melihat Ayah tertawa. Mungkin Adek nggak pernah lihat Ayah menangis, tapi Abang beberapa kali memergokinya. Bukan cuma kita yang kehilangan Bunda, Dek. Ayah juga. Abang pikir, rasa kehilangan Ayah lebih besar lagi. Adek ingat nggak, lama sekali Ayah nggak ke kantor, nggak menulis, nggak ngapa-ngapain kecuali duduk melamun di kursi Bunda…?”
“Lalu kenapa?” tukas Dinda. “Ya wajar saja Ayah begitu. Bunda kan istrinya. Ayah memang harus begitu.”
“Tepat sekali. Ayah dan Bunda suami istri, Abang yakin mereka menikah karena saling cinta. Tapi Bunda sudah pergi, Dek. Bunda nggak akan bisa kembali lagi. Sedangkan Ayah masih harus menjalani hari-harinya. Masih harus mendidik kita bertiga. Masih harus menyelesaikan banyak hal. Dan itu nggak mungkin dilakukannya dengan kondisi sedih parah seperti itu.”
“Maksud Abang apa sih!” bentak Dinda. “Ayah kan laki-laki dewasa. Selama ini juga Ayah sudah berhasil survive kan? Abang nggak usah cari alasan mendukung cewek itu deketin Ayah! Seenaknya aja dia, pagi-pagi banget ke sini buat sarapan. Kafe kita baru buka jam sembilan, memangnya siapa dia berani-beraninya bikin Ayah sibuk masak, padahal kafe kita belum buka??”
Bang Tareq menghela nafas panjang.
“Sampai sekarang Ayah masih tidur berselimut pashmina Bunda, Dek,” katanya. “Please, Dek. Jangan buat Ayah sedih lagi. Ayah perlu dukungan kita semua.”
Dinda diam. Bayangan Ayah meringkuk mengenakan pashmina Bunda seperti air dingin mengguyur hatinya yang panas.
Bang Tareq bangkit.
“Sarapanlah dulu Dek. Habis itu, tolong bantu di kafe ya.”
Dinda tidak menjawab. Menunduk menyerok-nyerok nasinya. Menunggu Bang Tareq menuruni tangga. Baru menyuap lagi sedikit.
Nasi goreng yang enak. Entah bagaimana Ayah membuat bumbunya. Dinda merenung. Memikirkan kata-kata Bang Tareq. Abangnya itu benar. Ayah tidak pernah lagi tertawa lepas. Dinda ingat suara tawa Ayah dulu. Besar dan lantang, seolah keluar dari dalam perut. Dulu Dinda sangat senang kalau Ayah tertawa. Hati Dinda jadi terasa hangat, bahagia mendengarnya. Sekarang ini, paling bagus Ayah hanya tersenyum. Tapi, Bang Tareq bilang tadi, beberapa hari lalu Ayah tertawa. Kalau itu benar, artinya berteman dengan ilmuwan-ilmuwan itu efeknya bagus buat Ayah.
Tapi aku nggak suka cewek itu, pikir Dinda. Ayah boleh berteman dengan siapa saja. Tapi nggak boleh mengganti Bunda dengan cewek itu.
Dengan jengkel Dinda terpaksa mengakui, bibi si Serigala itu menarik. Dia jangkung, sepertinya di atas rata-rata perempuan Indonesia. Matanya tajam. Ekspresinya percaya diri. Dinda sangat kenal Ayah. Kalau Ayah harus suka pada perempuan lain selain Bunda, maka profil bibi Razak itu yang paling masuk akal.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Lima Belas
Dinda masih menikmati lezat kopinya ketika sesuatu bergetar dalam saku bajunya. Diikuti rekaman nyanyian siamang nan lantang. Dinda cepat meraba saku. Itu ponselnya. Ada panggilan masuk. Nama Nana berpendar di layar ponsel.
“Hai, Na!” gembira, Dinda menyahuti panggilan. Suara Nana di seberang sana juga terdengar gembira.
“Lagi ngapain, Din? Jalan-jalan yuk?”
Seperti batere ponsel sukses dicharge, mood Dinda langsung naik seratus persen.
“Ayok! Ke mana?”
“Ke mana aja. Sebentar lagi aku jemput kau ke rumah, ya?”
“Eh—aku nggak tidur di rumah. Di kafe—”
“Hah?”
“Ayahku ada kafe. Aku juga baru tahu pas pulang dari Asrama kemaren…. Nah, aku di kafe sekarang. Kau jemput ke sini ya?”
“Sip. Kafe kamu di mana?”
“Pante Keutapang. Nggak susah mencarinya. Dari simpang utama Pante Keutapang itu ke kanan, ke arah pelabuhan. Kafenya yang ada lantai duanya. Namanya Zach’s Place.”
“Oh, yayaya aku tahu kafe dua lantai itu. Dulu aku, Mama dan Ayah sering makan mi atau minum kelapa di situ. Dulu yang punya, kawan sekolah Ayah. Oke sip, sebentar lagi aku ke situ yaa.”
Sekitar dua puluh menit, Dinda mendengar suara sepeda motor berhenti di halaman kafe. Lalu suara Nana, memberi salam pada Bang Mulkan. Dinda bergegas menuruni tangga menyongsong Nana. Kawannya itu melambai penuh semangat saat melihatnya.
“Haaai!” sepasang tangan Nana heboh bergerak, satu telunjuk teracung pada motor matik hitam yang terparkir di halaman. “Aku dibolehkan bawa motor Mama hari ini!”
Dinda girang. Prospek berjalan-jalan seharian berkeliling kota menyegarkan pikirannya.
“Aku bantu-bantu dulu di kafe sebentar ya, Na. Habis itu kita pergi,” katanya. Nana membulatkan telunjuk dan jempol, mengisyaratkan “oke”.
Dinda bergegas ke dapur. Ternyata hampir semua pekerjaan sudah selesai. Tinggal menyapu saja. Tak sampai lima menit, Dinda sudah kembali berada di halaman kafe. Nana duduk di meja dekat bibi Razak—siapa namanya… Dian? Cangkir kopi perempuan itu sudah diisi ulang. Ada sebuah cangkir juga di depan Nana. Ketika Dinda mendekat, Bibi Razak sedang menunjukkan sesuatu dalam laptopnya pada Nana.
“Din, you gotta see this!” seru Nana bersemangat saat melihat Dinda. Dinda monyong sedikit. Tapi tak urung melangkah lebih dekat. Laptop Bibi Razak miring sedemikian rupa hingga Dinda dapat mengintai layarnya. Nampak citra belasan bayi hiu martil kepala renda berenang berbondong dalam sebuah kolam jaring.
“Tante Dian ini mengembangbiakkan hiu di Pulau Gurita!” kata Nana. Nyaris berteriak. Ketara benar bahwa fakta itu membuat Nana super bersemangat.
“Lalu kenapa?” gumam Dinda tawar.
“Kamu tahu bahwa hiu martil kepala renda itu sudah terancam punah? Mereka selalu berkembang biak di satu tempat yang sama. Di sini, di pantai Barat Selatan ini, mereka memilih Teluk Sigupai sebagai tempat berkembang biak!” ujar Nana berapi-api. Dinda heran menatap temannya. Ia belum pernah melihat Nana begitu bersemangat.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Enam Belas
“Kami menemukan dua titik tempat berkembang biak alamiah mereka di seputar Teluk Sigupai,” kata Tante Dian. “Tempat itu harus dijaga agar tidak diketahui orang. Sebab kalau tidak begitu, bisa habis bayi-bayi hiu itu ditangkap nelayan.”
“Memangnya kenapa? Nelayan kan harus hidup, mereka punya keluarga yang harus dibiayai. Di sini, orang suka masak gulai daging hiu. Karena itu hiu laku keras di pasar. Dan harganya mahal. Cukup untuk beli beras, gula, kopi, dan macam-macam lagi keperluan sehari-hari. Aku, sih, lebih memilih membela manusia daripada hiu,” tukas Dinda dingin.
Nana tergugu. Matanya membeliak menatap Dinda. Seperti tak percaya bahwa kata-kata itu bisa keluar dari mulut sang sahabat.
“Hiu itu penting buat ekostem laut, lho. Mereka menjaga keseimbangan populasi ikan. Dan ekosistem yang seimbang itu penting buat manusia,” ujar Nana. Hati-hati.
“Lebih penting menjaga kesejahteraan sesama manusia,” potong Dinda. Dengan berani ditentangnya tatapan Tante Dian. Nana terdiam sejurus. Ia tidak mengerti mengapa Dinda bersikap judes pada perempuan empunya laptop ini. Nana sendiri merasa, perempuan itu menarik. Penjelasannya tentang kehidupan laut asyik untuk didengarkan. Tapi Nana gadis yang peka. Ia tahu, pasti ada sebabnya Dinda bersikap buruk pada Tante Dian. Sebab yang tidak diketahuinya.
“Hmmm….,” Nana bangkit, mengguncangkan kunci motor hingga berbunyi berdencing. “Kita pergi sekarang, Din?”
“Ayo,” Dinda langsung berbalik, pergi. Nana berpamitan pada Tante Dian, mengucapkan terima kasih atas penjelasannya yang mencerahkan. Lalu bergegas menyusul Dinda.
“Ada apa sih, Din?” tanya Nana ketika kedua gadis itu mulai meluncur di atas motor, meninggalkan kafe.
“Ada apa apanya?” Dinda pura-pura tak paham.
“Tante itu tadi. Kenapa kamu judes sekali pada dia? Menurutku dia baik. Dan agaknya pandai juga. Gayanya keren,” ujar Nana. Angin membuat Nana harus menaikkan suara agar Dinda di boncengan motor bisa mendengarnya.
Dinda mendengus.
“Ya sudah, kau saja yang berteman dengannya. Aku sih malas,” tukasnya.
“Eh… Kenapa? Memangnya dia buat salah apa?”
“Dia—” Dinda terdiam. Pertanyaan Nana seperti memantik sebuah tuas kecil di otaknya. Ya, apa ya, kesalahannya? Pertama, dia mencoba mencuri perhatian Ayah. Menyebalkan. Dia mau mencuri Ayah dari Bunda. Tapi… kalau dipikir lagi, sikap perempuan itu biasa saja. Dia tidak ketawa genit atau bercanda norak dengan Ayah. Sebenarnya, bibi Razak itu bahkan hampir selalu serius. Kalau tertawa, ia tertawa dengan nada rendah. Tidak cekikikan.
“Ah. Dia mencoba bikin ayahku jatuh cinta padanya,” akhirnya terlompat dari mulut Dinda.
“Oh—”
(Bersambung ke Bagian Delapan Belas)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )